Jeratan Feodalisme Pada Era Modernisasi di Indonesia
Negara Indonesia sejak lama memang dikenal memiliki banyak sekali ragam budaya dan adat istiadat serta memiliki banyak sekali etnis atau suku bangsa. Hal tersebut tentunya tidak dapat dipungkiri mengingat letak Indonesia yang berada pada posisi silang dunia antara dua benua dan samudra, selain itu Indonesia memiliki banyak sekali pulau pulau yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur kepulauan Indonesia. oleh karena itu, proses akulturasi dan asimilasi antara dua budaya yang berbeda dapat berlangsung secara mudah dan cepat. Bangsa Indonesia juga dikenal memiliki banyak sekali tradisi tradisi adat yang masih berkembang sampai saat ini. Dapat dikatakan berkembang, karena hal tersebut sudah berjalan sejak lama sekali yang diturunkan dari leluhur leluhur bangsa Indonesia sendiri. Akan tetapi, apakah berbagai jenis tradisi yang masih berkembang saat ini masih memberikan efek atau pengaruh positif bagi bangsa Indonesia itu sendiri, atau hanyalah sebagai sebuah simbol yang digunakan untuk menandakan bangsa yang multikultural ini.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris yang lahir dengan budaya feodal. Budaya feodal dan agraris sendiri memiliki corak yang kental dengan aroma animisme dinamisme dibalut oleh sistem monarki pada sistem pemerintahannya. Walaupun masyarakat Indonesia kini mayoritas beragama islam, akan tetapi mereka tidak melupakan sedikitpun kepercayaan yang dulu mereka anut, malah mereka mengakulturasikan budaya/ kepercayaan mereka dahulu dengan agama yang mereka anut saat ini yaitu agama islam. Tentunya jika melihat secara sepintas, kita akan menemukan sebuah kontradiksi yang sangat mencolok antara dua budaya/ kepercayaan ini.
Budaya animisme dan dinamisme yang dianut oleh masyarakat feodal pada zaman dahulu merupakan perkembangan budaya dari masyarakat megalitikum. Animisme dan dinamisme sangat kental dengan aroma mistis, magic, klenik dan hal hal yang berbau menyeramkan, tentunya hal ini berbeda dengan agama islam yang sangat menjunjung keesaan dari sang pencipta yaitu Allah SWT, tanpa disekutukan oleh mahkluk atau hal hal yang dipuja pada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Lantas, mengapa di Indonesia ini, kedua unsur agama yang berbeda tersebut dapat disatukan. Jawabanya kembali pada masyarakat feodal itu sendiri, masyarakat feodal sendiri telah menjadikan kepercayaan animisme dan dinamisme itu menjadi mendarah daging, artinya tradisi tersebut sampai kapanpun akan mereka turunkan pada generasi mereka selanjutnya, hal tersebut terjadi karena mereka sendiri tidak dapat meninggalkan kebiasaan itu begitu saja, karena jika mereka meninggalakan, mereka sama saja tidak menghargai budaya mereka. Oleh karena itu, budaya ataupaun agama agama baru seperti agama islam tidak dapat mereka terima secara mentah mentah, akan tetapi akan mereka sesuaikan dengan kepercayaan yang sebelumnya mereka anut. Oleh sebab itu masih banyak kita jumpai agama atau kepercayaan serupa, yang lebih kita kenal dengan istilah kejawen( hindhu jawa). Terlebih lagi, masih juga kita jumpai orang orang dengan pola pikir terbelakang, masih saja menyertakan tradisi tradisi kejawen ke dalam praktik agama islam.
Sebagai contoh kita dapat menemukan acara acara kenduri atau genduren dalam aktivitas keseharian masyarakat jawa, selain itu, kita menjumpai acara perayaan 7 hari, 40 hari sampai 1000 hari, yang dilakukan setelah ada seseorang yang meninggal. Memang, kebiasaan tersebut merupakan warisan dari leluhur kita, akan tetapi apakah masih relevan dengan agama (islam) kita saat ini. Bahkan tidak ada satu ayatpun dalam al quran yang menjelaskan dan mewajibkan kita untuk mengikuti kepercayaan itu. Dengan melihat hal hal tersebut, apakah tindakan tersebut juga dapat dikatakan sah oleh agama, mengingat budaya tersebut tidak mencirikan sama sekali agama islam. Ternyata, tradisi feodal pada masyarakat kita tidak hanya berpengaruh pada sendi agama, akan tetapi pada bidang bidang lainnya di struktur masyarakat kita ini, khususnya pada masyarakat jawa. Salah satunya yaitu pola pikir masyarakat kita yang cenderung lamban.
Masyarakat kita yang merupakan masyarakat agraris mayoritas tidak terlalu mengedepankan orientasi waktu. Oleh sebab itu, masyarakat kita terkenal malas untuk bekerja keras, dan menjunjung tinggi kedisiplinan, sebaliknya, masyarakat kita lebih suk dengan hal hal yang semu, enjoy artinya dalam menyikapi hidup ini mereka lebih suka bersantai dan tidak memilikirkannya secara serius. Masyarakat kita terutama masyarakat jawa, sangatlah memiliki prinsip yang lemah, tak hayal, mereka mudah berubah prinsip, karena hanya mengejar hal hal sesaat, dengan kata lain masyarakat ini lebih menganut prinsip pragmatis atau mengutamakan hal hal yang mereka butuhkan saat ini. Oleh karena itu, jika kita melihat, masyarakat kita lemah dalam hal erkompetisi, mereka lebh senang tergantung dengan orang lain hal itulah yang kemudian mereka tidak memliki daya saing.
Masyarakat jawa memang kita kenal memiliki tutur kata dan perilaku yang halus, sopan dan sangat menghargai orang lain yang berada di sekitarnya, akan tetapi sebenarnya hal tersebut hanyalah merupakan topeng dari perilaku mereka yang sebenarnya, perilaku, perkataan ataupun sikap yang selama ini mereka tunjukkan kepada orang lain hanyalah untuk menutupi kebusukan dan keburukan sikap mereka yang sebenarnya. Di samping itu, sikap sikap dan kepribadian masyarakat jawa yang kita kenal baik, hanyalah menjadi sebuah formalitas belaka dalam pergaulan keseharian aktivitas masyarakat tersebut. Misalnya kita dapat mengambil contoh ketika masyarakat muslim sedang merayakan hari raya Idul Fitri, hari raya idul fitri pada masyarakat kita sangat erat denga tradisi maaf maafan, atau istilah jawanya berarti sungkem. Dalam kegiatan ini pada umumnya orang yang lebih muda melakukan sungkem kepada orang yang lebih tua atau dituakan.
Namun, apakah maaf maafan tersebut dilakukan secara sungguh sungguh yang mengartikan bahwa yang meminta maaf adalah orang orang yang sadar dengan kesalahan mereka dan begitu sebaliknya, atau sungkem tersebut hanyalah sebagai pelengkap dari adanya perayaan Idul Fitri. Yang lebih memprihatinkan pada saat ini, tradisi sungkem tersebut beralih menjadi sebuah ucapan maaf yang dikirim lewat selembar kartu ucapan atau lewat media lain seperti telepon, HP, sms, dan media sosial lainnya. dengan mengetahui hal ini apakah masih dapat kita menganggap bahwa tradisi tersebut memiliki muatan religious kepada mereka yang melakukan. Tentunya kita tidak dapat mengetahui motif sebenarnya yang terjadi dari sebuah interaksi tersebut, akan tetapi yang lebih penting kita harus memberi muatan lebih terhadap tradisi sungkem tersebut yang terlihat seperti tradisi yang berbau formalitas saja.
Kondisi lain dari masyarakat jawa yang dapat di soroti yaitu mengenai sistem kekuasaan yang berjalan sampai sekarang ini. Tradisi feodal msyarakat jawa dahulu yang di bawa sampai sekarang, tidak hanya berpengaruh pada kondisi agama masyarakat jawa saat ini, akan tetapi juga berpengaruh pada sistem kekuasaan dan pemerintahan. Tak dapat dipungkiri, jika sistem pemerintahan kita masih mengadopsi sistem masyarakat feodal dahulu, yaitu monarki atau kerajaan. Hal ini dapat kita lihat saat ini, mayoritas penguasa saat ini merupakan pihak pihak yang memiliki kondisi strategis yang memungkinkan untuk berkuasa. Yang menjadi pejabat atau penguasa tentunya juga bukan dari golongan orang yang masih muda, akan tetapi, masyarakat Indonesia masih terbayang bayang oleh pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki karisma atau wibawa, dan bukan dari kalangan akdemis yang memiliki kapasitas dan pengalaman lebih daripada sekedar wibawa. Akan tetapi, harapan masyarakat Indonesia tersebut sesungguhnya menjadi boomerang sendiri bagi masyarakat kita.
Para pemimpin yang dianggap ‘dewasa’ dan mampu menjadi pemimpin kini hanyalah menjadi seorang yang merugikan bawahannya sendiri, akibat dari prinsip yang menganggap bahwa seorang pemimpin merupakan seseorang yang harus dihormati dan kebijakannya merupakan hal yang tidak bisa diganggu gugat, dalam hal ini berarti kepemimpinan yang dianut pada masyarakat kita merupakan kepemimpinan otoriter. Akibatnya pun dapat kita rasakan, tidak sedikit para pejabat pejabat kita yang bertindak melewati batas, seperti melakukan suap atau korupsi, yang sekarang ini sedang hangat hangatnya diperbincangkan. Di samping itu, tradisi memberikan upeti pada penguasa juga masih dilegalkan pada saat ini. Misal, ketika kita ingin dimudahkan menjalani sebuah proses dministrasi di salah satu lembaga pemerintah kita harus memberikan uang ‘pelicin’ agar proses tersebut dapat segera terselesaikan.
Hal tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal menjamurnya budaya korupsi di Indonesia ini. Dan lebih parahnya lagi, hal hal semacam ini telah merasuk pada sendi sendi masyarakat kita termasuk pada lingkungan akademis kita. Lantas masih dapatkah kita berkata bahwa budaya korupsi di negeri ini dapat luntur, jika kebiasaan kebiasaan sepele tersebut belumlah hilang dan bahkan menjadi sebuah hal yang dilegalkan. Dan perlu kita sadari, jika budaya suap menyuap telah kita lakukan sejak munculnya masyarakat feodal dan kerajaan di Indonesia.
Dengan menjamurnya budaya budaya suap tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa kita semakin terjerumus pada masalah yang lebih serius yaitu kapitalisme, yang semakin lama, semakin memperparah kondisi kehidupan di Indonesia. sehingga dapat kita simpulkan jika tradisi feodal yang selama ini kita pertahankan, telah sedikit banyak menimbulkan pengaruh pengaruh negatif pada masyarakat kita saat ini. Memang tidak salah jika kita melestarikan tradisi dan budaya kita, tetapi, akan lebih baik jika kita selektif terhadap tradisi tradisi yang kita anut, karena di khawatirkan tradisi tersebut akan berdampak negative bagi masyarakat itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar