Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Believe “It” Or Not??????????????????????????????.............................................


Terkadang memahami sesuatu tidaklah cukup jika hanya memakai akal sehat maupun pikiran. Di sisi lain, tidak akan cukup kita merasakan sesuatu hanya dengan menggunakan hati nurani serta naluri. Manusia memang dikaruniai keduanya, hal itulah mengapa yang kemudian membedakaannya dari mahkluk mahkluk lain ciptaan Allah SWT. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini hanya sebagian kecil saja yang dapat menyeimbangkan fungsi antara keduanya. Sehingga dapat diartikan ketika seseorang memahami atau merasakan sesuatu mereka tidak menggunakan hati dan pikiran mereka, akan tetapi mereka hanya menggunakan salah satu diantaranya. Oleh sebab itu, tak heran ketika manusia di sebut sebut sebagai mahkluk yang sempurna pada kenyataannya sangat jauh dari istilah tersebut. di samping itu, manusia yang hakikatnya sebagai mahkluk yang sempurna kini telah banyak menimbulkan kerusakan kerusakan dan berbagai jenis dosa dosa yang sebenarnya tidak pernah sekalipun mereka harapkan.  
                                                                                                                     
Yahh…..namun itulah manusia, tanpa dosa mereka tidak akan dapat menyandang gelar manusia, hehehehehe…….. . okee, tulisan saya kali ini terinspirasi oleh kejadian kuliah tadi pagi. Seperti biasa di senin pagi saya memulai kegiatan dengan mengikuti kuliah sosiologi agama. Sekilas tidak ada yang aneh dengan mata kuliah ini, begitu juga dengan dosen maupun para mahasiswanya. Perkuliahan pagi itu, di mulai dengan beberapa anak sedang mempresentasikan tentang teori teori yang kelak digunakan sebagai pisau analisis khusunya terhadap fenomena fenomena yang berkaitan dengan agama. Pada awalnya saya sempat ragu dalam mengikuti kuliah ini, karena saya menilai bahwa antara sosiologi dan agama merupakan dua hal yang sangat kontradiksi dan tidak mungkin untuk di gabung apa algi menjadi salah satu cabang ilmu sosial. Namun, ketika perkuliahan ini dimulai saya sadar, bahwa walau bagaimanapun sosiologi tetaplah sosiologi, ilmu sosial yang mencoba melihat berbagai fenomena sosial hanya dari “kulitnya” saja. Dan itulah yang saya dapatkan selama tiga tahun ini. meskipun begitu, dengan mempelajari sosiologi, saya dapat merasakan saya semakin peka dan kritis terhadap apa yang saya lihat dan rasakan terhadap berbagai macam peristiwa yang ada di sekitar saya.                              
Okeee.. back to topic, setelah beberapa mahasiswa tersebut selesai presentasi, maka di bukalah sesi pertanyaan dan inilah yang sebenarnya menjadi jiwa dari sebuah presentasi. Pertanyaan demi pertanyaan ternyata dapat dengan mudah di sanggah dan di jawab oleh para presentator, akan tetapi pada saat akhir sesi tanya jawab tersebut, terselip sebuah pertanyaan yang kemudian mengundang decak kagum serta heran para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan pagi itu. seorang mahasiswi tersebut bertanya, apakah agama agama yang kita yakini saat ini adalah produk masa kecil kita?, dan pertanyaan kedua ternyata lebih keren lagi, manakah yang anda percaya Tuhan atau Agama. Sekilas dua pertayaan yang ia ajukan kepada para mahasiswa presentator merupakan cermin bahwa dia condong skeptic terhadap agama yang ia anut, namun di sisi lain hati saya berpendapat berbeda, bahwa pertanyaan pertanyaan ini patut untuk di apresiasi dan tentunya mengetuk hati nurani para mahasiswa yang hadir pagi itu. di sini saya tidak membahas bagaiamana prang orang itu berpendapat, saya tidak akan membahas bagaimana mereka saling menimpali namun di sini saya akan mencoba mengungkapkan apa isi di otak si mahasiswa tersebut. berbicara mengenai agama, tentunya tidak hanya berbiacara mengenai apa itu doktrin, dogma, Tuhan, ritual atau apalah itu. lebih dari itu, jika kita membeicarakan agama, kita seperti membicarakan mengenai sejarah terbentuknya alam semesta ini atau mungkin lebih kompleks lagi. Membicarakan agama, juga menyangkut isu isu sensitive yang ada di sekeliling kita.                                                                                                                          

Oleh karena itu, dalam berbicara agama, lebih baik jika kita membicarakannya dengan orang orang yang seiman dengan kita. Kembali ke pertayaan tadi, apakah agama yang kita yakini adalah produk masa kecil kita, dan saya dengan tegas menjawab ya!. Mengapa demikian, sebelum saya membahas lebih jauh saya akan membahas bagaimana manusia hidup di bumi. Manusia lahir dari kedua manusia berlainan jenis yaitu laki laki dan perempuan dengan ikatan yang sah (pernikahan). Ketika manusia lahir, jiwa dan raga mereka masih murni seperti air yang keluar dari mata air. Ketika mereka lahir, mereka ada dalam suatu komunitas terkecil yang kita kenal sebagai keluarga. Dalam keluarga teersebut kita mulai sedikit demi sedikit tumbuh dan berkembang. Proses tersebut kita alami dari awal kita lahir di dunia dan berlanjut hingga kita mati. Dalam proses tersebut kita tidak hanya mengalami pertambahan dan perkembangan di bidang fisik namun juga hal hal lain. Dalam keluarga, kita dikenalkan dngan berbagai macam hal termasuk agama.                                                                                                                    
Apabila kita terlahir dalam keluarga muslim, kita akan beragama muslim, begitu juga ketika kita dilahirkan pada keluarga yang memiliki agama agama berbeda. Tentu, secara tidak langsung, agama menjadi sebuah konstruksi pada diri kita, dengan di tanamkannya nilai nilai agama kita secara langsung maupun tidak langsung memeluk agama tersebut. di sisi lain, di tanamknnya nilai nilai agama tersebut secara tidak langsung kita menganggap bahwa hal itu menjadi suatu kebenaran dalam diri kita. Yang menjadi permasalahan adalah dalam kehidupan manusia tidak hanya mengalami masa masa kecil, namun juga mengalami masa masa remaja dan dewasa. Pada masa masa itu, pertumbuhan dari fisik kita pada umumnya mulai berhenti, sedangkan kondisi psikis dan pola pikir kita akan terus bertamabah. Pada fase ini pikiran pikiran manusia tidak lagi dapat dikatakan polos, akan tetapi sangat penuh dengan berbagai persepsi seperti yang saya ungkapkan di atas tadi. Memang, pada saat kita masih kecil kita telah di ajarkan agama yang pada umunya sudah diyakini sebelumnya oleh orang tua kita sehingga kita menyakiniya, namun apa sebatas ituah kita belajar agama.                                                                 

Kita tidak hanya belajar bagaimana cara baca Al Quran yang benar, tidak hanya mempelajari cara sholat dan wudhu yang benar, namun kita juga akan dan pasti mencari tahu mengapa dan bagaimana agama ini berkembang dan berpengaruh pada kehidupan kita. Begitu juga dengan pertanyaan teman saya tadi, ya memang agama yang kita peluk dan yakini saat ini adalah hasil sosialisasi dan konstruksi pada masa kecil kita, akan tetapi apakah ketika anda menginjak masa remaja dan dewasa masih menganggap agama hanyalah produk dari masa kecil anda. Di sini, fungsi dari akal, dan hati nurani haruah seimbang, mengapa? Karena, jika tidak kita hanya menjadi orang yang bisa id bilang ikut ikutan tanap tahu arah. Jika tidak, maka yang terjadi adalah seperti teman saya, bingung dan skeptic. Memang, dalam menyikapi hal hal semacam ini kita harusnya lebih kristis tapi bukan berarti kemudian timbul sikap dan pikiran skeptic yang menyebabkan anda murtad secara tidak langsung.                                                                          

Di sisi lain, saya memandang, pertanyaan yang muncul tentunya ada bukan karena kebetulan namun lebih disebabkan karena beberapa factor. Salah satunya adalah kondisi lingkungan sosialnya. Menurut pengamatan saya, orang yang terlahir pada keluarga yang taat beragama, akan lebih memiliki kepribadian yang serupa di bandingkan dengan mereka yang terlahir dengan keluarga yang biasa biasa saja dalam beragama. Begitu juga dengan yang di alami oleh teman saya. Lantas bagaimana menyikapinya, apakah kita tergesa gesa menganggapnya sebagai sebuah sikap skeptic. Kita tentunya dapat melihat mengapa di Indonesia masih kita temui para perempuan perempuan muslimah yang tidak berhijab, dan mengapa kita masih menemuia banyak sekali penimpangan penyimpangan yang menunjukkan bahwa kita ragu dengan agama kita. Di Indonesia, tentunya berbeda dengan Arab Saudi dan juga berbeda jika kita membandingkan dengan Tibet. Indonesia adalah negara yang mengakui beberapa agama, sehingga kita di sini hidup bersosialisasi dan berdampingan dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.                                                                                                                                          
Hal itulah mengapa kita tidak dapat 100% menjadi islam karena jika kita menginginkan 100% islam maka tak dapat dihindarkan akan terjadi konflik besar yang berlatar belakang agama. Oleh karena itu, agar konflik tidak terjadi toleransi menjadi jalan satu satunya. Ngomongin soal toleransi, terdapat pendapat yang berbrda beda terkait dengan toleransi. Terlebih lagi toleransi menjadi modus beberapa pihak yang ingin mencampur adukan kepercayaan yang jelas jelas berbeda. Kita ambil contoh misal, ada beberapa warga muslim yang dnegan suka rela mengucapkan selamat kepada pemeluk agama lain yang pada saat itu sedang merayakan hari besar agamanya, tentu hal itu sangat di larang dalam agama islam. Namun, mereka tetap melakukannya atas dasar toleransi. Oleh karena itu, pertanyaan pertama tadi mungkin tidak akan muncul jika mahasiswa tadi sehari harinya bersosialisasi dan berteman dengan orang orang yang memiliki prosentase ketaatan beragama lebih tinggi dibandingkan dengan dia. Toleransi memnag perlu dan mungkin sangat diperlukaan, akan tetapi lebih baik jika kita paham akan batasan batasannya.                                                                                                                                          

Kemudian di pertanyaan kedua, di bertanya kembali, anda lebih percaya yang mana Tuhan atau Agama. Kembali ke perkataan saya tadi, bahwa ketika manusia di sebut sebagai mahkluk yang sempurna, maka sebenarnya manusia jauh dari hakikatnya tersebut. artinya, sepandai pandai, dan secerdas cerdasnya manusia, akal dan kemampuannya dalam memahami sesuatu pasti memiliki batasan. Jika kita jeli dalam melihat dan merasakan, kita akan mendapati bahwa kejadian kejadian yang ada di sekitar kita merupakan peristiwa yang sangat sulit untuk di cerna dengan nalar kita. Membahas tentang Tuhan dan Agama, sebenarnya kita harus mempercayai keduanya. Namun, timbul pertanyaan lagi, manakah yang pertama anda kenal, Tuhan atau Agama. Hehehehe……..sulit memang, akan tetapi yang saya rasakan kita tidak akan mengenal istilah Tuhan tanpa kita tahu Agama. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa agama dapat diartikan sebagai jembatan antara kita dengan Allah SWT. Oelh karena itu, dalam agama kita dijelaskan bagaimana kita menyembah Tuhan, bagaimana cara kita beribadah, bagaimana cara kita memohon dsb. sehingga jika ada lagi yang bertanya manakah yang lebih anda percaya Agama atau Tuhan maka jawablah saya mempercayai keduanya dengan catatan kita tidak dapat mengenal Tuhan jika kita tidak mengenal Agamanya.

0 komentar:

Posting Komentar