Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 22 November 2014

Paradok Demokrasi Di Tengah Isu Wacana Kebebasan





“Sebebas bebasnya seorang manusia, tidak ada yang lebih bebas dari ikan ikan di lautan”……
Hmmm, mungkin itu sepenggal pribahasa yang menunjukkan bahwa manusia sampai kapanpun tidak akan mendapatkan suatu kebebasan yang hakiki. Hal itulah yang juga mendorong ku untuk menulis sebuah artikel ini. kebebasan menjadi sebuah perbincangan yang menarik bagi kita sebagai manusia. ya, sejak kecil dan sampai dewasa, tua bahkan meninggal dunia kita selalu dihantui bagaimana menjadi seorang yang bebas dan tidak terpenjara baik fisik, hati dan pikirannya oleh hal hal yang ada di sekitarnya. Menjadi bebas, mungkin suatu hal yang utopis atau hanya rekaan belaka.
            Sebagai manusia kita sudah dilahirkan dalam suatu kondisi yang menuntut kita untuk patuh dan taat. Patuh dan taat juga merupakan konstruksi pikiran yang kemudian di jejalkan pada manusia, walaupun manusia itu belum sepenuhnya paham apa hakikat mengikuti hal tersebut. sampai saat ini mungkin kita juga bertanya tanya mengapa kita harus melakukan ini, itu tanpa pemahaman yang mendalam. Dalam prosesnya, manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan sebagaimana mestinya. Manusia terlahir sangat berbeda dengan mahkluk lainnya, karena memiliki naluri sekaligus akal budi sebagai pondasi ketika ia ingin memulai suatu hal, baik berbicara, berpikir, bertindak. Naluri sebagai anugerah terbesar Tuhan yang ditujukan kepada kita manusia, membuat kita berusaha terus menerus merenung dan berpikir atas segala hal yang ada di sekitar kita. dan tak jarang kita juga sering mendobrak, melanggar norma norma atau aturan bahkan doktrin yang sudah sekian lama kita percayai hanya karena ingin mendapatkan suatu yang lebih.
            Berpikir tentang kebebassan, berarti berpikir bagaimana tidak ada satupun suatu hal yang memenjara, mengatur, dan mengendalikan diri kita. lantas bagaimanakah kita memperoleh suatu kebebasab itu. terkadang, manusia memiliki pendapat yang berbeda dalam memaknai suatu kebebasan. Misal seperti ada seorang remaja yang menganggap bahwa pacaran adalah suatu hal yang wajib bagi remaja layaknya dia. Padahal, pacaran sebenarnya adalah suatu kontruksi sosial yang dengan mudahnya diikuti oleh seseorang tanpa pertimbangan yang jelas. di samping itu, pacaran juga di maknais sebagai suatu aktivitas ideal bagi remaja. dengan adanya seseorang yang memandang pacaran sebagai suatu hal yang wajib bagi dirinya, berarti dengan secara langsung maupun tidak langsung dia telah memenjarakan akal dan nalurinya untuk mengikuti konstrusi tersebut dan pada akhirnya konstruksi konstruksi tersebut berakhir menjadi sebuah doktrin. Sebagaimana yang kita pelajari pada waktu SD, kebebasan adalah suatu hak asasi yang mutlak didapatkan oleh setiap warga negara Indonesia, baik itu kebebasan dalam berpendapat, berpikir, berargument, berorganisasi sampai kebebasan dalam memaknai arti kebebasab itu sendiri.
            Membicarakan soal kebebasan, tentunya negara ini punya cerita sendiri. negeri yang dulunya adalah komunitas feodal terbesar yang pernah ada, secara mendadak berubah menjadi negara jajahan kolonialisme dengan rentang waktu yang cukup lama bahkan bangsa kita sendiri betul betul menikmatinya dengan sejuta kesadaran. Berusaha untuk melewati siksaan, cercaan, dan makian yang tak habis henti hentinya dirasakan oleh bangsa ini, membuat kita menjadi muak dan jenuh atas apa yang menimpa diri kita sebagai bangsa yang besar konon katanya. Di kemudian hari di sela sela keputs asaan, bangsa ini berambisi untuk bangkit dan menjadi bangsa yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. 17 Agustus 1945 menjadi saksi bisu ketika bangsa ini dapat menghirup udara bebas setelah sekian lama berada dalam penjara colonial.  Menjadi bangsa yang bebas berarti tidak ada lagi kata terjajah, colonial, bahkan perbudakan. Menjadi bangsa yang merdeka member arti bahwa kita bebas menentukan bagaiamana bangsa ini tumbuh menjadi ‘super power’ seperti sedia kala.                                                                                                
            Di sela sela kemerdekaan ini, bangsa ini ternyata masih bingung dalam menentukan kiblat, apakah berideologi kiri, atau kanan atau tengah. Melihat kondisi bangsa yang sangat multicultural tidak mudah dalam menentukan hal itu. Karena bangsa ini telah bersabda bahwa akan menjunjung tinggi akan kebebasan yang hakiki maka, nilai nilai koletivitas sangat diutamakan di negeri ini. Oleh karena itu, untuk mengurangi berbagai intervensi, tuntutan dan hegemoni atas berbagai suku, ras, dan agama maka negeri ini berimprovisasi dengan membuat suatu ‘tatanan’ sendiri yang kita kenal dengan istilah Pancasila. Pancasila sebagai pilar negara terkandung berbagai nilai nilai dan pandangan bangsa ini. oleh sebab itu disebut sebagai pancasila. Sampai saat ini implementasi ideology Pancasila menurut saya masih bias alias semu.
            Bangsa ini seolah olah menjadi bangsa yang hebat dengan menciptakan suatu ideology sendiri, padahal kenyataannya Pancasila hanyalah sebuah ideology yang masih berkiblat pada Demokrasi. Ya, tidak heran para GodFather negeri ini menyebutnya sebagai demokrasi pancasila. Lantas, apakah yang membedakan Demokrasi dengan Demokrasi Pancasila. Mungkin menurut pandangan saya demokrasi pancasila adalah salh satu sub genre atau sub culture dari berbagai jenis demokrasi yang ada. Dan sangat dimungkinkan juga ada demokrasi demokrasi lain yang juga muncul seperti demokrasi sosialis, demokrasi komunis, bahkan demokrasi kalifah. Kebebasan seperti yang kita singgung di atas tadi memang menjadi jiwa dari demokrasi itu sendiri. tidak heran, saat ini banyak sekali negara negara yang mulai tergerus idealismenya dan beralih ke demokrasi. Fenomena fenomena yang ada tentu menjadi pertanyaan besar seberapa baik kah demokrasi tersebut. demokrasi sendiri lahir di saat masyarakat sudah bosan dengan segala macam kediktatoran yang lahir dari sebuah tirani.
            Demokrasi muncul ketika aspirasi dan pendapat rakyat tidak lagi di dengar bahkan cenderung diremehkan. Oleh sebab itu kemudian muncul istilah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat benarkah begitu. Sistem demokrasi sekali lagi sangat menghendaki adanya kebebasan hakikioleh setiap individunya. Seorang individu dengan bebas dapat mengekspresikan apa yang mereka suka dan tidak suka. Secara langsung maupun tidak langsung argument ini mengindikasikan bahwa tidak ada unsur paksaan dan tekanan sekecil apapun yang dpat ditujukan kepada pemetintah.
            Waooo, sangat  ideal sekali sistem ini. kenyataannya, sampai detik ini hakikat kebebasan tersebut malah justru menjadi penjara. Setiap pergantian pemimpin, baik itu dalam skala walikota, gubernur, dan presiden pemilu menjadi satu satunya pilihan untuk menyemarakkan pesta demokrasi tersebut. yang menjadi permasalahan adalah ketika proses pemilu tersebut di maknai sebagai doktrin tetap dalam memilih suatu pemimpin yang mayoritas masyarakatnya terbukti bias dalam menyikapinya. Seperti halnya kontes modeling, kandidat pemimpin tidak di pertimbangkan berdasarkan bagaimana tokoh tersebut dapat berguna bagi rakyat, malah sebaliknya pemimpin adalah artis idola rakyat. Artinya, pemimpin bukan merupakan amanat terbesar rakyat melainkan bintang porno yang setiap melihatnya ingin bermasturbasi.
            Di sisi lain, ajang demokrasi menuntut kita untuk berpikir pendek. Bagaimana tidak seseorang yang tidak berpartisipasi dalam pemilu dianggap sebagai patologi akut di negeri ini. menjunjung tinggi demokrasi bukankah seperti halnya menjunjung tinggi kebebasan. Apakah bangsa ini sudah lupa akan makna kebebasan. Jika benar demikian adanya, maka kita tidak benar benar paham bagaimana cara berdemokrasi yang benar. Atau mungkin demokrasi hanya menjadi cap bagi bangsa ini agar terkesan lebih toleran. Dalam demokrasi kita ditakdirkan untuk melihat apapun hanya dari luarnya saja. Kita melihat banyak calon pemimpin pemimpin kita yang dipandang merakyat, atau apalh itu. padahal kita belum paham bagaimana background yang ada pada individu tersebut, kita juga belum tahu apa saja motifnya menjadi pemimpin.
            Rakyat sebenarnya juga tidak paham bagaimana menetukan pemimpin yang benar, menjadi pemimpin dirinya sendiri saja belum mampu apalagi memilih pemimpin bagi bangsa. Perhelatan demokrasi sebagai sistem yang ideal, kini perlu dipertanyakan kebenarannya. Dalam hal berpendapat kita juga masih dibatasi. Yang lebih parahnya lagi, seorang pemimmpin negeri ini lebih suka mendapat sanjungan atas pencitraan mereka, daripada di injak injak atan  nama kejujuran. Demokrasi melahirkan suatu masturbasi politik, di mana masyarakatknya belum mampu beradaptasi akan sistem tersebut. menjadi pemimpin bukan lagi di maknai sebagai sebuah panggilan nurani atas rasa tanggung jawab yang besar, tetapi di pandang hanya sebatas jabatan kosntitusional semata.
            Akibatnya bangsa ini tidak semakin merdeka, melainkan terpenjara oleh pemikirannya sendiri. mau tidak mau kita harus terus melanjutkan tradisi yang konyol ini, seperti memilih kucing dalam karung. Lantas bagaimana dengan aspirasi masyarakat yang memilihnya? Aspirasi masyarakat adalah hal wajib agar ‘sang idola’ menjadi artis, pertanyaan adalah apakah masyarakat akan merasakan buah dari ketenaran  sang ‘artis’ tersebut. saya rasa tidak, sang ‘artis’ tidak akan berpusing pusing ria memikirkan kebahagiaan para fansnya, yang ada hanya bagaimana caranya agar ia tetap berada di atas angin. Melihat hal hal seperti itu, kebebasan manakah yang masih kita pertahankan, apakah kebebasan yang membuat kita semakin di bodohi atau kebebasan yang membuat kita semakin terpenjara.
            Fenomena golput tidak dapat dipandang sebagai kesalahan masyarakat yang tidak paham akan politik, sebaliknya hal tersebut menjadi indikasi akan keabsahan dari sistem demokrasi yang kita percaya ini. beberapa orang percaya bahwa negara menjamin kebebasan rakyatnya dalam berpendapat dan peraspirasi, akan tetapi pada kenyataanya mereka diharuskan mengikuti sebbuah sistem yang dibuat oleh pemerintahnya sendiri tanpa paham bagaimana sistem tersebut berjalan dan apa konsekuensisnya di balik itu semua. Dalam demorasi kebebasan haruslah tetap dipertahankan dan menjadi orientasi, akan tetapi akan lebih bijak bagaimana kita menyikapi sebuah perbedaan tersebut sebagai cambuk motivasi dalam sistem yang sudah kita percaya.

0 komentar:

Posting Komentar