“Sebebas
bebasnya seorang manusia, tidak ada yang lebih bebas dari ikan ikan di lautan”……
Hmmm, mungkin
itu sepenggal pribahasa yang menunjukkan bahwa manusia sampai kapanpun tidak
akan mendapatkan suatu kebebasan yang hakiki. Hal itulah yang juga mendorong ku
untuk menulis sebuah artikel ini. kebebasan menjadi sebuah perbincangan yang
menarik bagi kita sebagai manusia. ya, sejak kecil dan sampai dewasa, tua
bahkan meninggal dunia kita selalu dihantui bagaimana menjadi seorang yang
bebas dan tidak terpenjara baik fisik, hati dan pikirannya oleh hal hal yang
ada di sekitarnya. Menjadi bebas, mungkin suatu hal yang utopis atau hanya
rekaan belaka.
Sebagai manusia kita sudah
dilahirkan dalam suatu kondisi yang menuntut kita untuk patuh dan taat. Patuh
dan taat juga merupakan konstruksi pikiran yang kemudian di jejalkan pada
manusia, walaupun manusia itu belum sepenuhnya paham apa hakikat mengikuti hal
tersebut. sampai saat ini mungkin kita juga bertanya tanya mengapa kita harus
melakukan ini, itu tanpa pemahaman yang mendalam. Dalam prosesnya, manusia
telah ditakdirkan oleh Tuhan sebagaimana mestinya. Manusia terlahir sangat
berbeda dengan mahkluk lainnya, karena memiliki naluri sekaligus akal budi
sebagai pondasi ketika ia ingin memulai suatu hal, baik berbicara, berpikir,
bertindak. Naluri sebagai anugerah terbesar Tuhan yang ditujukan kepada kita
manusia, membuat kita berusaha terus menerus merenung dan berpikir atas segala
hal yang ada di sekitar kita. dan tak jarang kita juga sering mendobrak,
melanggar norma norma atau aturan bahkan doktrin yang sudah sekian lama kita
percayai hanya karena ingin mendapatkan suatu yang lebih.
Berpikir tentang kebebassan, berarti
berpikir bagaimana tidak ada satupun suatu hal yang memenjara, mengatur, dan
mengendalikan diri kita. lantas bagaimanakah kita memperoleh suatu kebebasab
itu. terkadang, manusia memiliki pendapat yang berbeda dalam memaknai suatu
kebebasan. Misal seperti ada seorang remaja yang menganggap bahwa pacaran
adalah suatu hal yang wajib bagi remaja layaknya dia. Padahal, pacaran
sebenarnya adalah suatu kontruksi sosial yang dengan mudahnya diikuti oleh
seseorang tanpa pertimbangan yang jelas. di samping itu, pacaran juga di
maknais sebagai suatu aktivitas ideal bagi remaja. dengan adanya seseorang yang
memandang pacaran sebagai suatu hal yang wajib bagi dirinya, berarti dengan
secara langsung maupun tidak langsung dia telah memenjarakan akal dan nalurinya
untuk mengikuti konstrusi tersebut dan pada akhirnya konstruksi konstruksi
tersebut berakhir menjadi sebuah doktrin. Sebagaimana yang kita pelajari pada
waktu SD, kebebasan adalah suatu hak asasi yang mutlak didapatkan oleh setiap
warga negara Indonesia, baik itu kebebasan dalam berpendapat, berpikir,
berargument, berorganisasi sampai kebebasan dalam memaknai arti kebebasab itu
sendiri.
Membicarakan soal kebebasan,
tentunya negara ini punya cerita sendiri. negeri yang dulunya adalah komunitas
feodal terbesar yang pernah ada, secara mendadak berubah menjadi negara jajahan
kolonialisme dengan rentang waktu yang cukup lama bahkan bangsa kita sendiri
betul betul menikmatinya dengan sejuta kesadaran. Berusaha untuk melewati
siksaan, cercaan, dan makian yang tak habis henti hentinya dirasakan oleh
bangsa ini, membuat kita menjadi muak dan jenuh atas apa yang menimpa diri kita
sebagai bangsa yang besar konon katanya. Di kemudian hari di sela sela keputs
asaan, bangsa ini berambisi untuk bangkit dan menjadi bangsa yang merdeka
berdaulat, adil dan makmur. 17 Agustus 1945 menjadi saksi bisu ketika bangsa
ini dapat menghirup udara bebas setelah sekian lama berada dalam penjara
colonial. Menjadi bangsa yang bebas
berarti tidak ada lagi kata terjajah, colonial, bahkan perbudakan. Menjadi
bangsa yang merdeka member arti bahwa kita bebas menentukan bagaiamana bangsa
ini tumbuh menjadi ‘super power’ seperti sedia kala.
Di sela sela kemerdekaan ini, bangsa
ini ternyata masih bingung dalam menentukan kiblat, apakah berideologi kiri,
atau kanan atau tengah. Melihat kondisi bangsa yang sangat multicultural tidak mudah
dalam menentukan hal itu. Karena bangsa ini telah bersabda bahwa akan
menjunjung tinggi akan kebebasan yang hakiki maka, nilai nilai koletivitas
sangat diutamakan di negeri ini. Oleh karena itu, untuk mengurangi berbagai
intervensi, tuntutan dan hegemoni atas berbagai suku, ras, dan agama maka
negeri ini berimprovisasi dengan membuat suatu ‘tatanan’ sendiri yang kita
kenal dengan istilah Pancasila. Pancasila sebagai pilar negara terkandung
berbagai nilai nilai dan pandangan bangsa ini. oleh sebab itu disebut sebagai
pancasila. Sampai saat ini implementasi ideology Pancasila menurut saya masih
bias alias semu.
Bangsa ini seolah olah menjadi
bangsa yang hebat dengan menciptakan suatu ideology sendiri, padahal
kenyataannya Pancasila hanyalah sebuah ideology yang masih berkiblat pada
Demokrasi. Ya, tidak heran para GodFather negeri ini menyebutnya sebagai
demokrasi pancasila. Lantas, apakah yang membedakan Demokrasi dengan Demokrasi
Pancasila. Mungkin menurut pandangan saya demokrasi pancasila adalah salh satu
sub genre atau sub culture dari berbagai jenis demokrasi yang ada. Dan sangat
dimungkinkan juga ada demokrasi demokrasi lain yang juga muncul seperti
demokrasi sosialis, demokrasi komunis, bahkan demokrasi kalifah. Kebebasan
seperti yang kita singgung di atas tadi memang menjadi jiwa dari demokrasi itu
sendiri. tidak heran, saat ini banyak sekali negara negara yang mulai tergerus
idealismenya dan beralih ke demokrasi. Fenomena fenomena yang ada tentu menjadi
pertanyaan besar seberapa baik kah demokrasi tersebut. demokrasi sendiri lahir
di saat masyarakat sudah bosan dengan segala macam kediktatoran yang lahir dari
sebuah tirani.
Demokrasi muncul ketika aspirasi dan
pendapat rakyat tidak lagi di dengar bahkan cenderung diremehkan. Oleh sebab
itu kemudian muncul istilah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat benarkah begitu. Sistem demokrasi sekali lagi sangat menghendaki adanya
kebebasan hakikioleh setiap individunya. Seorang individu dengan bebas dapat mengekspresikan
apa yang mereka suka dan tidak suka. Secara langsung maupun tidak langsung
argument ini mengindikasikan bahwa tidak ada unsur paksaan dan tekanan sekecil
apapun yang dpat ditujukan kepada pemetintah.
Waooo, sangat ideal sekali sistem ini. kenyataannya, sampai
detik ini hakikat kebebasan tersebut malah justru menjadi penjara. Setiap
pergantian pemimpin, baik itu dalam skala walikota, gubernur, dan presiden
pemilu menjadi satu satunya pilihan untuk menyemarakkan pesta demokrasi
tersebut. yang menjadi permasalahan adalah ketika proses pemilu tersebut di
maknai sebagai doktrin tetap dalam memilih suatu pemimpin yang mayoritas
masyarakatnya terbukti bias dalam menyikapinya. Seperti halnya kontes modeling,
kandidat pemimpin tidak di pertimbangkan berdasarkan bagaimana tokoh tersebut
dapat berguna bagi rakyat, malah sebaliknya pemimpin adalah artis idola rakyat.
Artinya, pemimpin bukan merupakan amanat terbesar rakyat melainkan bintang
porno yang setiap melihatnya ingin bermasturbasi.
Di sisi lain, ajang demokrasi
menuntut kita untuk berpikir pendek. Bagaimana tidak seseorang yang tidak
berpartisipasi dalam pemilu dianggap sebagai patologi akut di negeri ini.
menjunjung tinggi demokrasi bukankah seperti halnya menjunjung tinggi
kebebasan. Apakah bangsa ini sudah lupa akan makna kebebasan. Jika benar
demikian adanya, maka kita tidak benar benar paham bagaimana cara berdemokrasi
yang benar. Atau mungkin demokrasi hanya menjadi cap bagi bangsa ini agar
terkesan lebih toleran. Dalam demokrasi kita ditakdirkan untuk melihat apapun
hanya dari luarnya saja. Kita melihat banyak calon pemimpin pemimpin kita yang
dipandang merakyat, atau apalh itu. padahal kita belum paham bagaimana
background yang ada pada individu tersebut, kita juga belum tahu apa saja
motifnya menjadi pemimpin.
Rakyat sebenarnya juga tidak paham
bagaimana menetukan pemimpin yang benar, menjadi pemimpin dirinya sendiri saja
belum mampu apalagi memilih pemimpin bagi bangsa. Perhelatan demokrasi sebagai
sistem yang ideal, kini perlu dipertanyakan kebenarannya. Dalam hal berpendapat
kita juga masih dibatasi. Yang lebih parahnya lagi, seorang pemimmpin negeri
ini lebih suka mendapat sanjungan atas pencitraan mereka, daripada di injak
injak atan nama kejujuran. Demokrasi
melahirkan suatu masturbasi politik, di mana masyarakatknya belum mampu
beradaptasi akan sistem tersebut. menjadi pemimpin bukan lagi di maknai sebagai
sebuah panggilan nurani atas rasa tanggung jawab yang besar, tetapi di pandang
hanya sebatas jabatan kosntitusional semata.
Akibatnya bangsa ini tidak semakin
merdeka, melainkan terpenjara oleh pemikirannya sendiri. mau tidak mau kita
harus terus melanjutkan tradisi yang konyol ini, seperti memilih kucing dalam
karung. Lantas bagaimana dengan aspirasi masyarakat yang memilihnya? Aspirasi
masyarakat adalah hal wajib agar ‘sang idola’ menjadi artis, pertanyaan adalah
apakah masyarakat akan merasakan buah dari ketenaran sang ‘artis’ tersebut. saya rasa tidak, sang
‘artis’ tidak akan berpusing pusing ria memikirkan kebahagiaan para fansnya,
yang ada hanya bagaimana caranya agar ia tetap berada di atas angin. Melihat
hal hal seperti itu, kebebasan manakah yang masih kita pertahankan, apakah
kebebasan yang membuat kita semakin di bodohi atau kebebasan yang membuat kita
semakin terpenjara.
Fenomena golput tidak dapat
dipandang sebagai kesalahan masyarakat yang tidak paham akan politik,
sebaliknya hal tersebut menjadi indikasi akan keabsahan dari sistem demokrasi
yang kita percaya ini. beberapa orang percaya bahwa negara menjamin kebebasan
rakyatnya dalam berpendapat dan peraspirasi, akan tetapi pada kenyataanya
mereka diharuskan mengikuti sebbuah sistem yang dibuat oleh pemerintahnya
sendiri tanpa paham bagaimana sistem tersebut berjalan dan apa konsekuensisnya
di balik itu semua. Dalam demorasi kebebasan haruslah tetap dipertahankan dan
menjadi orientasi, akan tetapi akan lebih bijak bagaimana kita menyikapi sebuah
perbedaan tersebut sebagai cambuk motivasi dalam sistem yang sudah kita
percaya.
0 komentar:
Posting Komentar