Nenek
Moyangku Seorang Koruptor
Korupsi, kolusi nepotisme, siapa yang tidak kenal dengan istilah tersebut, bahkan istilah itu sepertinya sudah akrab sekali di telinga kita. Korupsi sepertinya sudah menjadi kewajiban bagi warga negara di samping menghormati bendera pusaka merah putih. Jika kita berbicara mengenai korupsi, apa sih yang ada dalam benak kita mengenai istilah itu, dan mengapa hal tersebut terus menerus diperdebatkan di berbagai forum baik itu di kampus maupun di forum forum public lainnya. Dan yang lebih mengagetkannya lagi, mungkin setiap orang yang ada di indonesia ini adalah koruptor dan bayi bayi yang akan lahir di indnesia adalah calon koruptor. Sebelum kita menjelajah lebih jauh mengenai korupsi, kita tengok sebentar bagaimana korupsi di indonesia ini tumbuh subur melebihi jumlah penduduknya. Mengenal sejarah korupsi di indonesia, ada beberapa tahap perkembangan korupsi di indonesia. Tahap pertama yaitu sebelum kolonialisme.
Budaya korupsi di indonesia sebenarnya di latarbelakangi oleh adanya motif kekuasaan kekayaan dan wanita. Era sebelum kolonialisme muncul di indonesia, neagara indonesia sendiri dulunya merupakan wilayah yang dulunya merupakan kumpulan kerajaan kerajaan yang bekasnya masih ada sampai sekarang. Pada masa dahulu di indonesia masih menganut sistem feudal yaitu penguasaan tanah oleh beberapa pihak. Kerajaan di indonesia dahulu di kenal memiliki kekuasaan yang besar yang salah satunya yaitu wilayah. Wilayah kekuasaan kerajaan kerajaan di indoensia ada yang sampai di muangtai, filiphina dll. Oleh karena itu, pada masa itu indonesia di kenal sangat kaya.
Namun, apakah kita tahu trik trik licik yang dilakukan oleh penguasa saat itu. Apakah kita tahu bagaimana sebenarnya gambaran para raja raja di jawa yang berkuasa saat itu. Saat ini kita mungkin lebih mengenal sosok raja raja di jawa yang sangat bijaksana, memiliki kesaktian yang tak tertandingi dan lain lain. Padahal itu semua hanyalah pencitraan yang di di buat oleh pujangga kerajaan. Pujangga kerajaan sendiri merupakan salah satu bawahan raja yang bertugas mencatatat seluruh kegiatan yang dilakukan oleh keluarga kerajaan. Oleh karena itu, untuk memperbaiki citra para raja mapun keluarga kerajaan, para pujangga kemudian hanya menulis mengenai sisi positif dari raja mapun keluarga raja. Karena dahulu menggunakan sistem feudal maka, control terhadap penguasa saat itu cenderung lemah bahkan tidak ada. Rakyat pada saat itu cenderung hanya diam dan menganggap hala hal yang di lakukan raja semua benar.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa karekater masyarakat jawa merupakan kareakter masyarakat yang ”nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun di sisi lain mereka ingin dihargai oleh sesama. Tidak seorang, suka menyembunyikan dan membicarakan persoalan di belakang “ngrasani” dan suka mengambil keuntungan ketika orang lain tidak menyadari. Padahal jika kita mau mengerti, bahwa raja raja pada saat itu cenderung korup. Mereka lebih memilih untuk meraup keuntungan pribadi dan keluarga kerajaan. Di sisi lain para raja raja tersebut lebih suka memungut upeti kepada rakyat rakyat mereka. Oleh karena itu, kehancuran kehancuran kerajaan di jawa maupun di wilayah lain di indonesia bukan disebakan karena adanya factor factor eksternal melainkan dari internal kerajaan itu sendiri. Para atasan dan bawahan raja saling bersaing untuk memperkaya dirinya sendiri daripada memperbaiki moral masyarakat.
Tumbuh suburnya budaya korupsi di kalangan raja raja pada waktu itu disadari betul oeh para colonial, oleh sebab itu para colonial tersebut dapat dengan mudah merasuk, mempengaruhi dan akhirnya menghancurkan kkerajaan kerajaan tersebut. Fase berikutnya yaitu fase kolonialisme. Pada fase ini, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang tidak lain merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu.
Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah.
Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsinya. Ibarat seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup.
Fase berikutnya adalah fase modern, seperti saat ini. Kita mulai saja dari seorang sosok tirani yang sangat terkenal sampai ke luar negeri yaitu Soeharto. Soeharto menurut saya adalah raja pada era modern yang perilakunya jauh lebih buruk daripada raja raja era modern. Kita sebenarnya dapat mengerti bagaimana proses awal beliau menjadi seorang tirani. Soeharto merupakan seorang yang memiliki latar belakang militer, sebelum menjadi presiden selama 35 tahun soeharto pernah melakukan sebuah kosnpirasi yang sampai saat ini banyak masyarakat yang bingung. Sebelum ia menerima surat perintah sebelas maret atau lebih di kenal sebagai supersemar, beliau berusaha menghasut dan mempengaruhi para anggota anggota PKI yang tergabung dalam resimen cakrabirawa, yang notabene adalah pasukan pengawal presiden. Soeharto dengan akal liciknya kemudian menyuruh mereka untuk membunuh jenderal jenderal yang dapat menghalangi rencanaya dangan dalih jenderal jeneral tersebut dapat mengancam kondisi presiden soekarno saat itu, dari sini sebenarnya kita menemui kejanggalan. Mengapa PKI tidak membunuh semua jenderal dan hanya menyisakan soeharto. Dari situlah awal mula pencitraan soeharto terjadi. Hal tersebut terus berlanjut ketika ia menerima supersemar.
Sebenarnya ketika ia menemrima surat perintah sebelas maret, ia tidak diperintah untuk menggantikan posisi sukarno sebagai presiden, melainkan hanya memperbaiki dan mengembalikan kondisi stabilitas politik pada saat itu. Namun, soeharto tetap bersih keras menyingkirkan soekarno secara perlahan sampai pada akhirnya ia menduduki posisi yang ia inginkan. Seperti yang kita tahu, bahwa pemerintahan soeharto merupakan pemerintahan yang sedikit menyimpang dari ideology yang kita yakini saat ini yaitu demokrasi. Pada saat itu, pemerintahan di idi oleh para bawahan bawahan soeharto yang tidak lain adalah anggota militer. Hal tersebut dilakukan guna memudahkan control terhadap bawahan bawahannya.
Soeharto memasukkan anggotanya sampai ke pemerintahan di level bawah. Pemerintahan inilah yang kita kenal dengan nama dwifungsi ABRI. Pada saat itu, pemerintahan soeharto sangat berorientasi pada hal hal yang berhubungan dengan pembangunan, tanpa memperhatikan kemajuan moral bangsa ( feudal modern). Samapai sampai pada masa pemerintahan soeharto kita mengalami swasembada beras, sebuah prestasi yang mengagumkan kedengarannya. Di samping itu, saya juga menyadari bagaiamana kondisi stabilitas politik pada waktu itu sangatlah stabil. Prestasi prestasi yang terus menerus di raih oleh soeharto menjadikan rakyat semakin terbuai dengan kenikmatan sementara ini. Rakyat pada saat itu juga tak ada bedanya pada masa kerajaan, yaitu lebih suka bersikap nrimo. Memang, pada waktu itu, segala hal yang berbau demokrasi, kritik terhadap pemerntah seakan akan sirna.
Ketidak percayaan rakyat kepada peemrintah baru muncul pada era 90an. Pada waktu itu, pemerintah sudah dirasa tidak dapat mensejahterakan rakyat lagi, di tambah lagi, ketika tahun 1997 indonesia mengalami krisis moneter menmbah beban pemerintah pada waktu itu. Reaksipun mencuat ke berbagai aspek. Para mahasiswa terus menerus turun ke jalan untuk menuntut akan perbaikan kondisi saat itu, tuntutan tersebut pada akhirnya berganti menjadi tuntutan agar soeharto turun dari jabatannya ebagai presiden. Pemerintahan yang pada saat itu sangat otoriter menjadikan demo mahasiswa semakin ricuh, karena oknum ABRI tersebut bertindak represif. Kerja keras para mahasiswapun membuahkan hasil, 1998 merupakan tahun terakhir soeharto menjadi presiden. Lengsernya soeharto menjadi pembuka akan bobroknya pemerintahanya selama 35 tahun. Satu persatu kecurangan dan korupsi soeharto terbongkar. Dan lebih parahnya lagi, idonesia harus menanggung hutang yang cukup banyak untuk diturunkan sampai ke anak cucu kita. Hal ini berlanjut ke pemerintahan pemerintahan selanjutnya.
Sebenarnya, jika kita sadar bahwa para pemimpin pemimpin negeri ini, baik yang duduk di kursi presiden maupun di bawahnya mayoritas memiliki latar belakang yang sama yaitu militer termasuk presiden yang saat ini memimpin kita Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di pemerintahan SBY saya rasa kondisi masyarakat kita semakin memburuk moralnya, mulai dari PNS yang suka membolos, kerja asal asalan, makan gaji buta, oknum polri suka melakukan pungli seenaknya dengan dalih pelanggaran lalilintas, dan d level bawah kita menjumpai para generasi penerus kita yang sedang sibuk membuat contekan, memanipulasi nilai, berfoya foya, dan berbagai macam aktivitas hedonism yang saat ini sedang giat giatnya di gencarkan.
Lantas, sampai kapan kita seperti ini. Seperti yang kita bahas di atas tadi, bahwa korupsi sebenarnya adalah salah satu kebudayaan lokal yang keberdaanya sudah diakui oleh dunia internasional. Oleh karena itu, sangat utopis jika kita ingin menghilangkan sub budaya kita yang satu ini. Saya dulu pernah mengalami sebuah peristiwa mungkin itu bagian dari suap. Ceritanya begini, saat itu saya pergi ke kelurahan untuk membuat kartu tanda penduduk (KTP). Kata pegawai keluarahan KTP saya akan jadi paling ceat 3 minggu, karena kebutuhan mendadak, saya tidak dapat berbuat apa lagi selain meminta pertolognan kepada petugas tadi, namun saat itu, petugas tersebut justru meminta saya membayar lebih besar daripada yang ditemtukan biasanya, dengan alasan biar cepat selesai. Anjuran ersebut akhirnya saya penuhi dan saya kembali pulang ke rumah.
Dari contoh kecil di atas, kita tahu bagaimana mental dari pejabat kita yang berkuasa di atas. Di level bawah saja sudah seperti itu, apalagi jika di level atas. Dan lebih parahnya lagi, hal hal kecil seperti itu, malag dianggap lumrah atau wajar di masyarakat. Otomatis, jika kita melakukan hal hal yang lebih besar dari itu, bisa jadi sudah menjadi keharusan. Contoh lain misal ketika seseorang guru honorer ingin menjadi PNS dia harus rela mengeluarkan uang sekian juta untuk menjadi seorang guru PNS. Oleh karena itu, para PNS tersebut berasumsi bahwa ketika mereka sudah menjadi PNS mereka harus secepat mungkin balik modal. Parahnya, agar modal mereka yang digunakan untuk melicinkan proses pelantikan cepat kembali mereka akhirnya menggunakan cara cara pintas salah satunya yang saya contohkan tadi.
Memang di era pemerintahan SBY ini, PNS merupakan salah satu program yang di prioritaskan oleh pemerintah. Oelh karenanya kemudian banyak orang yang kemudian tergoda untuk menyandang gelar PNS walaupun menggunakan cara cara yang tidak sah. Persoalan korupsi kolusi dan nepotisme di indonesia semakin kompleks ketika masyarakat kita tidak lagi menjunjung tinggi nilai nilai intergritas. Padahal intergritas merupakan kunci sukses yang utama. Bagaiaman kita dapat menumbuhkan budaya intergritas, sedangkan generasi generasi kita saja merupakan generasi muda yang penuh degan kebobrokan dan korup. Ambil contoh misal, ketika seorang anak ingin masuk ke sekolah favorit, orang tua mereka harus rela membayar sejumlah uang agar anak mereka dapat duduk di bangku sekolah itu. Kebiasaan tersebut terus berlanjut dan menjadikan anak anak tersebut menjadi berperilaku curang. Mencontek saat ulangan, menyogok guru agar naik kelas, dsb.
Di level mahasiswa, kita menjumpai para mahasiswa yang gemar memplagiat tugas temannya, mencontek saat UK dsb. Alhasil generasi muda kita adalah generasi yan penuh dengan apatisme, oportunis, pragmatis, hedonis, dan skeptis. Para remaja kita lebih gemar hedon daripada menuntut ilmu. Saat mencari kerja, yang terjadi ya seperti calon calon PNS tadi. Anak anak tersebut sebenarnya tidak akan melakukan tindakan tindakan tersebut, jika orang tua mereka dulunya tidak bertindak demikian. Dari sini dapat diktakan bahwa korupsi di indoensia telah sah mejadi sebuah kebudayaan baru yang keberadaanya sangat sulit sekali untuk di hancurkan. Entah karena terlalu melekat di masyarkat atau Karena mental masyarakat kita yang memang sulit untuk di rubah atau orang bilang kolot. Selain oportunis, masyarakat jawa memang dikenal tidak suka bekerja keras. Mereka lebih suka mencari eknaknya saja tanpa memperhatikan proses.
Saya sebagai etnis jawa sendiri agak tersinggung dengan tulisan yang saya buat, namun yan memang inilah realitasnya yang sedang terjadi. Kita tidak dapat lari dari realitas ini, kita tidak dapat membohongi identitas kita sendiri yang sejak dulunya memang sudah rusak. Namun, dari hal ini kita bisa belajar banyak hal bahwa kita masih bisa berubah. Kita masih bisa menjadi masyarakat yang menjunjung nilai nilai intergritas, transparansi, sportivitas, agar kita bukan menjadi bangsa yang rusak, rusak karena nilai nilai masyarakat kolot yang masih kita pegang teguh dan menjadi seseuatu yang “lumrah” kalo orang jawa bilang. Akhir akhir ini sebenarnya kita sudah memiliki lembaga yang bertugas memberantas korupsi di indonesia, katanya. Lembaga itu ialah KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi). Berdirinya KPK diharapkan dapat merubah wajah masyarakat kita menjadi masyarakat yang bersih, dan jauh dari korupsi. Apakah berhasil?.
Memang, munculnya KPK sedikit membatasi ruang gerak para koruptor tersebut untuk melancarkan tujuannya, namun di sisi lain kinerja KPK dirasa belum maksimal. Di samping itu di tubuh internal KPK juga pernah mengalami permasalahan. Akibatnya mereka tidak focus dalam memberantas korupsi. Yang lebih mengagetkan lagi, lembaga yang harusnya 100% independent kini di tunggangi oleh pemerintah. Akibatnya yang sudah bisa diprediksi, lembaga tersebut hanya berfungsi melindungi elite elit yang berkuasa dari rival rivalnya. Memang benar, bahwa segala sesuatu jika sudah bercampur dengan aroma politik, maka hal tersebut tidak akan berjalan dengan semestinya, dan tinggal menunggu waktu saja, KPK tak lama lagi akan hancur. Melihat fakta seperti itu ya kita hanya bisa berdoa kepada Allah SWT agar kita di beri pencenrahan atas smua yang kita lakukan. Karena segala sesuatunya akan kembali ke diri kita sendiri, apakh kita ingin berubah atau nyaman dengan keadaan kita yang sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar