Eksistensi
Sebagai Sebuah Agama dan Tradisi
Beberapa
hal yang terjadi di sekeliling kita sebenarnya merupakan refleksi dari senuah
ketidak sesuaian antara tujuan dan kenyataan. Adanya himpitan aturan aturan
yang terlalu memaksa, nilai nilai kolot yang terus d reproduksi membuat
sebagian orang jemu dan muak terhadap lingkungan di sekitarnya. Ada yang
memulai dengan tindakan yindakan anti sosial seperti corat coret, gravity,
mural dsb, sampai dengan tindakan tindakan protes anarkhis seperti demonstrasi,
kerusuhan sampai dengan tindakan tindakan yang tidak bermoral seperti kekerasan
fisik maupun psikis. Munculnya tindakan tindakan tersebut pada akhirnya justru
malah menimbulkan persepsi yang salah kaparah mengenai hak hal seperti itu.
Tindakan tindakan yang muncul dianggap menyimpang dari apa yang kita kenal
dengan nilai dan moral yang ada di tengah masyarakat kita. Tindakan tindakan
tersebut di nilai sebagai sampah masyarakat yang harus di berantas dan di buang
jauh jauh.
Di sisi lain, masyarakat yang kita kenal sebagai masyarakat multicultural ternyata hanya sebagai formalitas belaka. Masyarakatkita sebenarnya berisikan kumpulan orang orang yang tertekan, orang orang terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, sampi tidak sadar bahwa mereka sedang diperbudak oleh keadaan. Mereka adalah kumpulan orang orang yang tidak mengert adanya perbedaan pendapat, mereka hanya tahu bagaimana hidup ini di jalankan seperti layaknya sekumpulan ternak yang akan selalu menurut tanpa mengerti maksud dari itu semua.
Orang seni biasanya menyebutnya sebagai orang orang mainstream ( umum ). Orang orang tersebut hanya menjalankan kehidupan tanpa pernah mau merubah keadaan, tanpa pernha berpikir bahwa hidup ini memiliki banyak sekali jalan, banyak sekali pilihan tanpa harus terpacu pada satu pilihan mutlak yang menurut mereka akan sama artinya ketika berhadapan dengan agama dan Tuhan. Ada hal lain yang juga agaknya menjadi agama baru di sekitar kita, hal tersebut yaitu eksistensi dan trend.
Ya………hal tersebut memang tidak bisa lepas dari lingkungan sekitar kita, ketika seseorang mulai sadar dan fanatic terhadap keadaan diri mereka. Mereka mulai berlomba lomba mempromosikan diri mereka tanpa sadar bahwa tindakan tersebut hanyalah sia sia dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Remaja, siapa yang tak kenal dengan nama itu, jika kita membicarakan eksistensim maka remaja dan eksistensi tersebut sangatlah erat hubungannnya, lebih erat daripada hubungan mereka dengan Tuhan mereka.
Hal tersebut dapat kita lihat ketika banyak bermuncuan model model premature yang tumbuh subur di sekitar kita, d setiap tempat, di setiap waktu mereka dan mereka selalu dengan riangnya memotret diri mereka agar orang lain tahu bahwa mereka patut untuk di “hargai”. Tak hanya itu, di facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya kita dapat menjumpai hal hal serupa, bahkan lebih parah kadaanya ketika anak anak kecil juga mulai di ajarkan hal serupa tanpa sadar. Kedaaan seperti ini kita tidak ahu persis kapan mulainya, akan tetapai yang jelas bahwa hal hal seperti ini sebenarnya merupakan cerminan dari masyarakat yang tertekan, seperti yang kita bahas di atas tadi. Tujuan tujuan tanpa akhir kerap kita lakukan tnapa mengerti bagaimana hal ini dapat terjadi, bagaimana hal ini dapat menghegemoni pikiran dan nurani kita agar terus senantiasa diperbudak oleh keadaan.
Eksistensi memang penting bagi seseorang, dan sekiranya akan terjaci secara alami hal hal tersebut. namun di sini muncul permasalahan bahwa kita tidak sadar dan tidak akan pernah sadar terhadap keadaan di sekitar kita yang terus menerus berubah. Kita hanya menjadi “pengikut” di setiap genenrasi yang ingin menunjukkan eksistensi mereka. Di sisi lain, generasi muda kita saat ini juga di hinggapi virus baru yang tidak lain yaitu trend. Kodrat remaja di daerah manapun sebenarya sama yaitu labil, labil dari segi emosi, regulasi, ambisi, dan sekali lagi eksistensi. Trend di sekitar kita menjadi wdah tersendiri bagi mereka yang ingin terus memproduksi eksistensi mereka sampai mereka mati dan hancur oleh eksistensi mereka. Di era modern seperti sekarang ini bnyak sekali hal hal yang menjadikan kita dapat terkenal secara “permatur”. Ketika agen agen komersialisasi bekerja, mereka mulai merekrut jiwa jiwa labil untuk di jadikan sebagai kaum proletar terdidik yang siap di peras kapanpun mereka suka hanya sekedar untuk meinngkatkan eksistensi dan prestige.
Mulai dari music, hobi sampai agama mereka jadikan topeng untuk memainkan sandiwara tolol mereka. Sewaktu aku SMA, saya menjumpai fakta menarik yaitu bahwa setiap remaja akan lebih tertarik untuk mengikuti ajaran ajaran “baru” mereka daripada mengikuti himbauan dan aturan orang tua mereka atau agama yang sebenarnya jauh lebih penting dan bermanfaat daripada mempertahankan eksistensi. Ketika seseorang tidak lagi merasa bahwa diri mereka ada dalam suatu komunitas yang dulunya eksis, mereka kemudian akan mencari dan mulai merasuk di komunitas baru demi tujuan tersebut. mereka akan rela melakukan hal apapun agar memiliki kapasitas yang setara dengan orang orang yang ada di komunitas tersebut. sebagai contoh ketika demam blackberry sedang akut akutnya banayak remaja remaja kita yang rela menjual harga diri mereka demi memiliki smartphone tersebut.
hal itu mereka lakukan agar mereka dapat terus di anggap “teman” di kalangan mereka. Karena jika tidak mereka kemudian akan teralienasi secara frontal maupun tidak langsung oleh orang orang yang mereka anggap sebagai teman, sahabat, sobat, bolo dan lain lain. Di samping itu, sebagai seseorang yang sangat hobi terhadap music metal, saya juga melihat fenomena yang aneh di kalangan komunitas underground tersebut. seperti yang kita tahu, jika kita membicarakan komunitas metal, underground kita pasti akan menjumpai orang orang kritis, orang orang cerdas dan orang orang idealis yang sangat independen terhadap hal hal yang mereka lakukan. Apakah itu benar, ya benar……namun tidak sepenuhnya.
Orang orang idealis hanyalah orang orang yang 100% terjun ke dunia yang orang lain menyebutnya jurang kegelapan, selebihnya ya hanyalah kumpulan orang orang labil yang hanya suka ikut ikutan dengan konsdisi sekitarnya. Lagi lagi mereka melakukan hal tersebut juga karena trend. Sedikit demi sedikit mereka mulai melirik teman teman mereka yang mulai menjamah dunia hitam tersebut dan kemudian mereka mengikuitnya dari belakang. Di kalangan metal sendiri, orang orang itu, merek sebut sebagai fake, atau poser. Orang orang tersebut memang seorang metalhead tapi hanya sebatas topeng belaka. Mereka tidak tahu bagaimana seharusnya menjadi seorang metalhead, bagaimana menyikapi persoalan di sektar mereka. Orang orang tersebut sebenarnya tidak memiliki acuan pasti dalam menjalani hidup. Walaupun kemunitas yang mereka ikuti bukanlah komunitas yang mainstream, namun tindakan dan perilaku yang mereka lakukan merupakan symbol bahwa mereka belum sepenuhnya tahu bagaimana mengartikan perbedaan itu.
Mereka masih sama dengan diri mereka yang dulu yaitu monoton, labil dan tidak memiliki attitude. Sampai kapan mereka akan terus seperti itu, sedangkan di sini hal tersebut tidak lagi dilakukan oleh para remaja namun juga di kalangan lain termasuk kalangan terdidik kita (mahasiswa ). Mahasiswa yang sejatinya merupakan ujung tombak perubahan, kini tak lebih hanya menjadi “budak dunia” seperti para remaja tersebut. mahasiswa yang seharusnya memiliki atmosfer sendiri malah melebur dan parktis tidak memiliki identitas dan idealism sama sekali. Beberapa waktu lalu di kelas saya menemui sebuah peristiwa yang menurut saya sangat penting, bagaimana sesungguhnya kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa saat ini cenderung pragmatis, oportunis terhadap hal hal yang mempertaruhkan hidup mereka. Mereka rela menggadaikan idealism mereka agar tidak kehilangan komunitas mereka (teman). Mereka dengan sadar atau tidak telah membutakan diri mereka dari kebenaran.
Mereka dengan tololnya menuruti perkataan orang lain tanpa tahu flashback yang akan mereka terima nantinya. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan gambaran kepada saya, bahwa pada saat ini mahasiswa sudah punah seperti idealisme mereka. Eksistensi saat ini tidak hanya menjadi suatu hal yang wajar, namun memang menjadi sebuah hal yang disengaja oleh msyarakat. Memang eksistensi penting bagi kita, eksistensi merupakan refleksi dari kapasitas dan kualitas diri kita. Akan tetapi saat ini hal itu tidak berlaku lagi, eksistensi bukan lagi symbol dari kulaitas diri, melainkan hanyalah sebagai trend di mata masyarakat. mereka hanya mengikuti apa yang orang lain lakukan tanpa sadar apakah tindakan itu berdampak positif bagi mereka atau malah berdampak negative.
Di sisi lain masyarakat kita ternyata juga masih premature ketika membicarakan soal identitas diri. Masyarakat terdiri dari beragam budaya ternyata dapat hancur oleh hal sepele seperti ini. Masyarakat kita ibarat debu yang dengan sesuka hati akan terbawa kemanapun angin pergi. Melihat hal seperti ini kita harus banyak banyak bertanya pada diri kita. Apa yang sebenarnya kita lakukan selama ini secara tidak langsung telah mengingkari eksistensi lainnya yaitu agama dan Tuhan. Terhanyut oleh derasnya arus globalisasi menjadikan kita lupa terhadap eksistensi yang seharusnya kita pertahankan dan yakini sepenuhnya. Mengikuti arus globalisasi hanya menjadikan kita semakin jauh dari Tuhan kita. Kita lebih sering melanggar aturan dan perintah Nya, kita cenderung bersikap skeptis terhadap agama.
Jika seperti ini masihkan kita berlaku seperti ini. Mengikuti arus tanpa sadar kita sudah jauh melangkah dari apa yang diharapkan oleh Tuhan. Mengikuti perkembagan globalisasi adalah suatu keharusan, namun perlu di garis bawahi kita juga harus memiliki acuan tetap yang harus kita pertahankan untuk menjalani hidup ini, agar apa yang kita lakukan akan selalu sejalan dengan perintah Tuhan. Tindakan tindakan yang berujung pada motif mempertebal eksistensi hanya berakhir pada hancurnya prinsip perbedaan dan multicultural ketika setiap hal di dunia ini di paksa dan di kontruksi untuk selalu sama dan seragam tanpa mengetahui tujuan pasti. Masyarakat kita sudah terlampu jauh dalam keserakahan sebuah eksistensi. Setiap orang mendambakan ingin selalau diakui oelh orang lain tanpa mengerti bagaimana sesungguhnya hakikat eksistensi tersebut.
Di sisi lain, masyarakat yang kita kenal sebagai masyarakat multicultural ternyata hanya sebagai formalitas belaka. Masyarakatkita sebenarnya berisikan kumpulan orang orang yang tertekan, orang orang terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri, sampi tidak sadar bahwa mereka sedang diperbudak oleh keadaan. Mereka adalah kumpulan orang orang yang tidak mengert adanya perbedaan pendapat, mereka hanya tahu bagaimana hidup ini di jalankan seperti layaknya sekumpulan ternak yang akan selalu menurut tanpa mengerti maksud dari itu semua.
Orang seni biasanya menyebutnya sebagai orang orang mainstream ( umum ). Orang orang tersebut hanya menjalankan kehidupan tanpa pernah mau merubah keadaan, tanpa pernha berpikir bahwa hidup ini memiliki banyak sekali jalan, banyak sekali pilihan tanpa harus terpacu pada satu pilihan mutlak yang menurut mereka akan sama artinya ketika berhadapan dengan agama dan Tuhan. Ada hal lain yang juga agaknya menjadi agama baru di sekitar kita, hal tersebut yaitu eksistensi dan trend.
Ya………hal tersebut memang tidak bisa lepas dari lingkungan sekitar kita, ketika seseorang mulai sadar dan fanatic terhadap keadaan diri mereka. Mereka mulai berlomba lomba mempromosikan diri mereka tanpa sadar bahwa tindakan tersebut hanyalah sia sia dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Remaja, siapa yang tak kenal dengan nama itu, jika kita membicarakan eksistensim maka remaja dan eksistensi tersebut sangatlah erat hubungannnya, lebih erat daripada hubungan mereka dengan Tuhan mereka.
Hal tersebut dapat kita lihat ketika banyak bermuncuan model model premature yang tumbuh subur di sekitar kita, d setiap tempat, di setiap waktu mereka dan mereka selalu dengan riangnya memotret diri mereka agar orang lain tahu bahwa mereka patut untuk di “hargai”. Tak hanya itu, di facebook, twitter dan jejaring sosial lainnya kita dapat menjumpai hal hal serupa, bahkan lebih parah kadaanya ketika anak anak kecil juga mulai di ajarkan hal serupa tanpa sadar. Kedaaan seperti ini kita tidak ahu persis kapan mulainya, akan tetapai yang jelas bahwa hal hal seperti ini sebenarnya merupakan cerminan dari masyarakat yang tertekan, seperti yang kita bahas di atas tadi. Tujuan tujuan tanpa akhir kerap kita lakukan tnapa mengerti bagaimana hal ini dapat terjadi, bagaimana hal ini dapat menghegemoni pikiran dan nurani kita agar terus senantiasa diperbudak oleh keadaan.
Eksistensi memang penting bagi seseorang, dan sekiranya akan terjaci secara alami hal hal tersebut. namun di sini muncul permasalahan bahwa kita tidak sadar dan tidak akan pernah sadar terhadap keadaan di sekitar kita yang terus menerus berubah. Kita hanya menjadi “pengikut” di setiap genenrasi yang ingin menunjukkan eksistensi mereka. Di sisi lain, generasi muda kita saat ini juga di hinggapi virus baru yang tidak lain yaitu trend. Kodrat remaja di daerah manapun sebenarya sama yaitu labil, labil dari segi emosi, regulasi, ambisi, dan sekali lagi eksistensi. Trend di sekitar kita menjadi wdah tersendiri bagi mereka yang ingin terus memproduksi eksistensi mereka sampai mereka mati dan hancur oleh eksistensi mereka. Di era modern seperti sekarang ini bnyak sekali hal hal yang menjadikan kita dapat terkenal secara “permatur”. Ketika agen agen komersialisasi bekerja, mereka mulai merekrut jiwa jiwa labil untuk di jadikan sebagai kaum proletar terdidik yang siap di peras kapanpun mereka suka hanya sekedar untuk meinngkatkan eksistensi dan prestige.
Mulai dari music, hobi sampai agama mereka jadikan topeng untuk memainkan sandiwara tolol mereka. Sewaktu aku SMA, saya menjumpai fakta menarik yaitu bahwa setiap remaja akan lebih tertarik untuk mengikuti ajaran ajaran “baru” mereka daripada mengikuti himbauan dan aturan orang tua mereka atau agama yang sebenarnya jauh lebih penting dan bermanfaat daripada mempertahankan eksistensi. Ketika seseorang tidak lagi merasa bahwa diri mereka ada dalam suatu komunitas yang dulunya eksis, mereka kemudian akan mencari dan mulai merasuk di komunitas baru demi tujuan tersebut. mereka akan rela melakukan hal apapun agar memiliki kapasitas yang setara dengan orang orang yang ada di komunitas tersebut. sebagai contoh ketika demam blackberry sedang akut akutnya banayak remaja remaja kita yang rela menjual harga diri mereka demi memiliki smartphone tersebut.
hal itu mereka lakukan agar mereka dapat terus di anggap “teman” di kalangan mereka. Karena jika tidak mereka kemudian akan teralienasi secara frontal maupun tidak langsung oleh orang orang yang mereka anggap sebagai teman, sahabat, sobat, bolo dan lain lain. Di samping itu, sebagai seseorang yang sangat hobi terhadap music metal, saya juga melihat fenomena yang aneh di kalangan komunitas underground tersebut. seperti yang kita tahu, jika kita membicarakan komunitas metal, underground kita pasti akan menjumpai orang orang kritis, orang orang cerdas dan orang orang idealis yang sangat independen terhadap hal hal yang mereka lakukan. Apakah itu benar, ya benar……namun tidak sepenuhnya.
Orang orang idealis hanyalah orang orang yang 100% terjun ke dunia yang orang lain menyebutnya jurang kegelapan, selebihnya ya hanyalah kumpulan orang orang labil yang hanya suka ikut ikutan dengan konsdisi sekitarnya. Lagi lagi mereka melakukan hal tersebut juga karena trend. Sedikit demi sedikit mereka mulai melirik teman teman mereka yang mulai menjamah dunia hitam tersebut dan kemudian mereka mengikuitnya dari belakang. Di kalangan metal sendiri, orang orang itu, merek sebut sebagai fake, atau poser. Orang orang tersebut memang seorang metalhead tapi hanya sebatas topeng belaka. Mereka tidak tahu bagaimana seharusnya menjadi seorang metalhead, bagaimana menyikapi persoalan di sektar mereka. Orang orang tersebut sebenarnya tidak memiliki acuan pasti dalam menjalani hidup. Walaupun kemunitas yang mereka ikuti bukanlah komunitas yang mainstream, namun tindakan dan perilaku yang mereka lakukan merupakan symbol bahwa mereka belum sepenuhnya tahu bagaimana mengartikan perbedaan itu.
Mereka masih sama dengan diri mereka yang dulu yaitu monoton, labil dan tidak memiliki attitude. Sampai kapan mereka akan terus seperti itu, sedangkan di sini hal tersebut tidak lagi dilakukan oleh para remaja namun juga di kalangan lain termasuk kalangan terdidik kita (mahasiswa ). Mahasiswa yang sejatinya merupakan ujung tombak perubahan, kini tak lebih hanya menjadi “budak dunia” seperti para remaja tersebut. mahasiswa yang seharusnya memiliki atmosfer sendiri malah melebur dan parktis tidak memiliki identitas dan idealism sama sekali. Beberapa waktu lalu di kelas saya menemui sebuah peristiwa yang menurut saya sangat penting, bagaimana sesungguhnya kondisi mahasiswa saat ini. Mahasiswa saat ini cenderung pragmatis, oportunis terhadap hal hal yang mempertaruhkan hidup mereka. Mereka rela menggadaikan idealism mereka agar tidak kehilangan komunitas mereka (teman). Mereka dengan sadar atau tidak telah membutakan diri mereka dari kebenaran.
Mereka dengan tololnya menuruti perkataan orang lain tanpa tahu flashback yang akan mereka terima nantinya. Hal tersebut secara tidak langsung memberikan gambaran kepada saya, bahwa pada saat ini mahasiswa sudah punah seperti idealisme mereka. Eksistensi saat ini tidak hanya menjadi suatu hal yang wajar, namun memang menjadi sebuah hal yang disengaja oleh msyarakat. Memang eksistensi penting bagi kita, eksistensi merupakan refleksi dari kapasitas dan kualitas diri kita. Akan tetapi saat ini hal itu tidak berlaku lagi, eksistensi bukan lagi symbol dari kulaitas diri, melainkan hanyalah sebagai trend di mata masyarakat. mereka hanya mengikuti apa yang orang lain lakukan tanpa sadar apakah tindakan itu berdampak positif bagi mereka atau malah berdampak negative.
Di sisi lain masyarakat kita ternyata juga masih premature ketika membicarakan soal identitas diri. Masyarakat terdiri dari beragam budaya ternyata dapat hancur oleh hal sepele seperti ini. Masyarakat kita ibarat debu yang dengan sesuka hati akan terbawa kemanapun angin pergi. Melihat hal seperti ini kita harus banyak banyak bertanya pada diri kita. Apa yang sebenarnya kita lakukan selama ini secara tidak langsung telah mengingkari eksistensi lainnya yaitu agama dan Tuhan. Terhanyut oleh derasnya arus globalisasi menjadikan kita lupa terhadap eksistensi yang seharusnya kita pertahankan dan yakini sepenuhnya. Mengikuti arus globalisasi hanya menjadikan kita semakin jauh dari Tuhan kita. Kita lebih sering melanggar aturan dan perintah Nya, kita cenderung bersikap skeptis terhadap agama.
Jika seperti ini masihkan kita berlaku seperti ini. Mengikuti arus tanpa sadar kita sudah jauh melangkah dari apa yang diharapkan oleh Tuhan. Mengikuti perkembagan globalisasi adalah suatu keharusan, namun perlu di garis bawahi kita juga harus memiliki acuan tetap yang harus kita pertahankan untuk menjalani hidup ini, agar apa yang kita lakukan akan selalu sejalan dengan perintah Tuhan. Tindakan tindakan yang berujung pada motif mempertebal eksistensi hanya berakhir pada hancurnya prinsip perbedaan dan multicultural ketika setiap hal di dunia ini di paksa dan di kontruksi untuk selalu sama dan seragam tanpa mengetahui tujuan pasti. Masyarakat kita sudah terlampu jauh dalam keserakahan sebuah eksistensi. Setiap orang mendambakan ingin selalau diakui oelh orang lain tanpa mengerti bagaimana sesungguhnya hakikat eksistensi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar