Baudrilard,
merupakan tokoh post modern yang menitikberatkan pada persoalan ekonomi. Di
perjalanan karirnya ia dikenal sebagai seorang Marxian, akan tetapi meskipun
Marx dan sebagaian besar Marxis tradisional memfokuskan pada faktor produksi, Baudrilard memfokuskan dirinya dengan
masalah kosumsi. Ketertarikannya
pada masalah-masalah kosumsi, menjadikan Amerika sebagai laboraturium sosiologi
terbesarnya.
Baudrilard memandang Amerika sebagai rumah masyarakat konsumsi atau konsumen,
sedangkan Eropa dianggap sebagai saksi mata suatu “trend berkenaan dengan model amerika
(Baudrilard dalam Poster, 1988: 11). Ia menganggap bahwa obyek konsumsi sebagai
sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi, atau dalam arti, kenyataanya
kebutuhan dan kosumsi adalah perluasan kekuatan produktif yang diorganisir.
Menurutnya, konsumsi bukanlah
tambahan kecil bagi perputaran capital, tetapi merupakan kekuatan produktif yang penting bagi
capital itu sendiri. Dia memandang sistem obyek konsumen dan sistem komunikasi pada dasar
periklanan sebagai pembentukan pemikiran (kode signifikansi) yang mengontrol obyek dan individu di tengah masyarakat.
Melalui obyek, setiap individu
dan setiap kelompok menemukan tempat masing-masing pada sebuah tatanan,
semuanya berusaha mendorong tatanan ini berdasarkan garis pribadi. Melalui
obyek masyarakat terstratifikasi agar setiap orang tetap berada dalam tempat mereka,
masyarakat (tingkat yang lebih luas) merupakan apa yang mereka konsumsi dan berbeda
dari tipe masyarakat lain berdasarkan atas obyek kosumsi. Mengkonsumsi obyek
tertentu menandakan (secara tidak sadar), bahwa kita sama dengan orang yang
mengkosumsi obyek tersebut dan kita berbeda dari siapa yang mengkonsumsi obyek
lain.
Inilah
yang kemudian disebut sebagai kode, mengontrol apa yang kita konsumsi dan apa yang tidak kita konsumsi. Dalam masyarakat, konsumen yang dikendalikan oleh kode, hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan dengan
obyek, terutama kosumsi obyek. Menurut Baudrillard, dalam masyarakat konsumsi
orang tidak hanya mengonsumsi barang, tetapi juga jasa dan hubungan
antarmanusia. Masyarakat konsumsi diidentikkan dengan masyarakat pertumbuhan
yang dalam prosesnya merupakan lingkaran setan pertumbuhan yang dihubungkan
dengan pemborosan.
Terkait konteks
tersebut, pandangan moral tentang pemborosan sebagai disfungsi diambil kembali
menurut fungsi-fungsi yang sebenarnya (Baudrillard, 2009: 31-33). Secara moral,
pemborosan adalah bentuk perbuatan kesia-siaan, namun dalam siklus pertumbuhan
masyarakat yang merupakan lingkaran setan, pemborosan menjadi logis, yaitu
sebagai penyeimbang kesenjangan sosial antara kelas dominan dengan kelas bawah.
Pemborosan dalam kaitannya dengan perilaku konsumen merupakan bagian dari gaya
hidup dan budaya konsumerisme yang dipicu oleh cepatnya pergantian mode dalam
berbagai barang dan kebutuhan hidup masyarakat konsumsi. Jika kita tarik kesimpulan, Baudrilard berangapan
bahwa ketika seseorang mengkosumsi maka yang dikosumsi sebenarnya bukan fungsi
barang, namun citra atau nilai yang terkandung dalam barang itu sendiri.
Komoditas
dibeli sebagai gaya ekspresi dan tanda, prestise, kemewahan, kekuasaan dan
sebagainya. Kosumsi berkaitan dengan kepuasan terhadap kebutuhan (obyek butuh,
subyek, begitu sebaliknya). Kita tidak membeli apa yang kita butuhkan, tetapi
membeli apa yang kode sampaikan pada kita tentang apa yang seharusnya dibeli ( Ritzer, 2010: 197).
Obyek adalah tanda (nilai tanda) dari nilai guna atau nilai tukar kita
dapat ambil contoh misal: BMW lebih baik daripada Hyundai, bukan karena ia
lebih berguna, tapi karena dalam sistem obyek mobil BMW memiliki status yang
lebih tinggi. Di samping itu, Baudrilard mengatakan bahwa konsumerisme
merupakan logika untuk memenuhi kepuasan hasrat. Konsumerisme bukan lagi
berdasarkan kebutuhan, tapi lebih kepada kepuasan nafsu.
Kapitalisme
memanfaatkan nafsu tersebut untuk terus membelenggu masyarakat dalam jerat
konsumerisme. Praktek konsumsi menjadi gaya hidup. Konsumsi menjadi cara
pandang baru masyarakat. barang konsumsi di sesuaikan dengan pengalaman dan
pandangan filosofi masyarakat setempat. Hal inilah yang membuat masyarakat terjebak
dalam budaya konsumerisme.
0 komentar:
Posting Komentar