MAKALAH
Di susun oleh:
Hardika Nandra Krisdiyanto
D0311034
Jurusan Sosiologi
Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
Universitas Sebelas Maret
SURAKARTA
2011
Kata Pengantar
Assalamualaikum.wr.wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
limpahan dan berkatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah sosiologi
sistem sosial budaya indonesia ini dengan baik Makalah ini di susun sebagai
salah satu tugas mata kuliah sosiologi sistem sosial budaya indonesia.Makalah
ini di susun untuk lebih menjelaskan mengenai pengaruh individualisme terhadap
budaya korupsi di indonesia ini dengan bahasa yang lebih mudah untuk di
mengerti dan di pahami.
Akhir kata,mungkin dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran sangat kami harapkan demi
perbaika dan kesempurnaan.akhirnya penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini,sehingga makalah ini dapat terselesaikan
Wassalamualaikum
wr.wb.
Penulis
Hardika nandra krisdiyanto
Pendahuluan
Sosiologi
merupakan ilmu yang mempelajari berbagai aktivitas,fakta,tindakan,perubahan
sosial maupun fenomena serta fakta sosial yang terjadi pada ruang lingkup
manusia .Manusia pada hakekatnya merupakan mahkluk zoon politicon(mahkluk
sosial:aristoteles)yaitu mahkluk yang pada dasarnya selalu memiliki keinginan
atau naluri untuk bergaul,oleh karena itu manusia disebut sebagai mahkluk
sosial.Selain di kenal sebagai mahkluk sosial,manusia juga di kenal juga
sebagai mahkluk individu,kata individu sendiri berasal dari kata in dan
devided,dalam bahasa inggris kata in berarti tidak,sedangkan kata devided
memiliki makna tidak terbagi.Kata individu mengartikan sebagai kesatuan yang
terbatas,kata individu bukan berarti sebagai manusia yang tidak dapat di bagi.Dalam
pengertian ini individu disebut sebagai kesatuan terbatas yaitu seseorang.Dalam
konteks ini manusia/seseorang sebagai mahkluk individu tidak lagi disebut
sebagai mahkluk sosial,yang selau membutuhkan orang lain,tetapi lebih
menekankan pada suatu proses yaitu proses peningkatan ciri ciri individualitas
pada seseorang,yang disebut aktualisasi diri.Manusia disebut sebagai mahkluk
individu jika pola tingkah lakunya sudah
bersifat spesifik dalam dirinya dan tidak lagi menuruti pola tingkah
laku umum(sebagai mahkluk sosial).
Saat
menjadi seorang individu,terkadang manusia mengenyampingkan urusan atau bahkan
kepentingan masyarakat atau kelompok untuk memperkuat identitasnya.Oleh karena
itu,tak jarang tindakan manusia sebagai seorang individu,mengarah dan
menjerumus menuju hal hal yang negativ,seperti korupsi,kolusi dan nepotisme
serta tindakan negatif yang berorientasi pada kepentingan diri sendiri(vested
interest).Tentunya jika hal hal seperti ini dibiarkan maka akan merubah tatanan
sosial budaya pada suatu negara,seperti indonesia yang merupakan negara
multikultural terbesar di dunia.
Untuk
itulah makalah ini mendiskusikan pertanyaan pertanyaan sebagai berikut:
Ø
Bagaimana awal perkembangan kasus
korupsi di indonesia hingga menjadi
suatu budaya yang menghancurkan
bangsa ini sendiri?
Ø
Faktor faktor apa sajakah yang
menyebabkan korupsi di indonesia semakin marak ?
Ø
Bagaimana hubungan antara budaya
korupsi di indonesia dengan multikulturalisme di indonesia saat ini?
Ø
Bagaimana cara pencegahan budaya
koruspsi ini agar tidak terus berkembang dan merugikan bangsa indonesia?
Sejarah awal perkembangan budaya korupsi di Indonesia
Secara
garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga)
fase sejarah, yakni : zaman kerajaan(feodal),
zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini.budaya korupsi di
indonesia ini pada prinsipnya di latar belakangi oleh adanya kepentingan
pribadi untuk memperkaya diri sendiri maupun secara bersama serta keinginan
memiliki kekuasaan secara penuh. Literatur
sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno,
seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan
kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya
diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran
kerajaan-kerajaan tersebut.Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan (foedal)
ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu
contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal
dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung
selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula
yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga
memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan
negara indonesia dikemudian hari.
Fase kedua yaitu Fase Zaman Penjajahan(kolonial).
Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam
sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh
para penjajah kolonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi
ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan budak
politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu,
misalnya demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan
pejabat-pejabat lainnya yang tidak lain merupakan orang-orang suruhan penjajah
Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang
diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari
rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan merampas
hak dan kehidupan rakyat Indonesia.
Fase ketiga yaitu Fase Zaman Modern.
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini
sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.
Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta
lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat
pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya
semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga
saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter,
anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi
dimana-mana semakin terbuka.Hal itulah yang menyababkan tumbuh suburnya tindak
korupsi di negara Indonesia.
Faktor faktor peyebab berkembangnya budaya korupsi di Indonesia
Ø Aspek Prilaku individu
Apabila
dilihat dari segi pelaku korupsi, sebab-sebab seseorang melakukan korupsi dapat
berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai
keinginan, niat, atau kesadaran untuk melakukan. Sebab-sebab manusia terdorong
untuk melakukan korupsi antara lain : sifat tamak manusia, moral yang kurang
kuat menghadapi godaan, penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang
wajar, kebutuhan hiduop yang mendesak,
gaya hidup konsumtif, tidak mau bekerja keras, ajaran-ajaraan agama kurang
diterapkan secara benar.
Ø Aspek Organisasi Kepemerintahan
Organisasi
dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, termasuk sistem
pengorganisasian lingkungan masyarakat. Organisasi yang menjadi korban korupsi
atau dimana korupsi terjadi biasanya memberi andil atau peran terjadinya korupsi
karena membuka peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi. Bilamana
organisasi tersebut tidak membuka peluang sedikitpun bagi seseorang untuk
melakukan korupsi, maka korupsi tidak akan terjadi. Aspek-aspek penyebab
terjadinya korupsi dari sudut pandang organisasi ini meliputi: kurang adanya
teladan dari pimpinan,tidak adanya kultur organisasi yang benar, sistem
akuntabilitas di instansi (lembaga) pemerintah kurang memadai,manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Ø Aspek Peraturan Perundang-Undangan
Tindakan korupsi mudah
timbul karena ada kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan, yang dapat
mencakup: adanya peraturan perundang-undangan yang monolistik yang hanya
menguntungkan kerabat dan “konco-konco”(pendukung) presiden, kualitas peraturan
perundang-undangan kurang memadai, peraturan kurang disosialisasikan, sanksi
yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,
lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan. Beberapa ide
strategis untuk menanggulangi kelemahan ini telah dibentuk oleh pemerintah
diantaranya dengan mendorong para pembuat undang-undang untuk melakukan
evaluasi atas efektivitas suatu undang-undang
Ø Aspek Pengawasan
Pengawasan yang
dilakukan instansi terkait (KPK) kurang bisa efektif karena beberapa faktor,
diantaranya : adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi
(lembaga),kurangnya profesionalisme pengawas, kurang adanya koordinasi antar
pengawas, kurangnya kepatuhan terhadap etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas
sendiri. Hal ini sering kali para pengawas tersebut terlibat dalam praktik
korupsi. belum lagi berkaitan dengan pengawasan ekternal yang dilakukan
masyarakat dan media juga lemah, dengan demikian menambah deretan citra buruk
pengawasan APBD yang sarat dengan korupsi. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Baswir (1996) yang
mengemukakan bahwa negara kita yang merupakan birokrasi patrimonial dan negara
hegemonik tersebut menyebabkan lemahnya fungsi pengawasan, sehingga merebaklah
budaya korupsi itu.
Semua faktor-faktor itu sangat
mempengaruhi diri individu untuk melakukan kejahatan korupsi. Hal ini
disebabkan kurangnya rasa kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi
mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan
sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran seseorang dan mengembalikan
rasa tanggung jawab moralnya adalah salah satu cara yang paling ampuh untuk
mencegah dan menghentikan korupsi di negeri ini. Pendidikan agama dan aksi
memperkuat iman adalah metode yang mesti ditingkatkan demi mendapatkan
orang-orang yang memiliki hati nurani bersih dan mau bekerja demi kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat.
Keterkaitan antara perilaku
individualisme dengan budaya korupsi di Indonesia
Berkembangnya
budaya korupsi di indonesia tak lepas dari beberapa permasalahan lama yaitu
sejarah,indonesia di kenal luas karena sejarahnya,pada masa kerajaan hindu
buddha,praktek korupsi sudah mulai muncul pada lingkungan kerajaan.Pada masa
itu para raja,bangsawan maupun bawahan raja melakukan korupsi untuk
meningkatkan kekeayaan serta kekuasaannya saat memerintah,hal ini berlanjut
pada saat indonesia berada pada masa kolonial atau masa penjajahan .Pada masa
tersebut tindakan korupsi tidak lagi dilakukan oleh para pejabat pemerintah
kolonial sendiri,tetapi di lakukan oleh
para tokoh tokoh lokal seperti tumenggung(pejabat setingkat kabupaten atau
provinsi) dengan cara menarik upeti dari rakyat yang kemudian akan diserahkan
kepada pejabat kolonial tersebut.
Setelah
indonesia lepas dari jeratan belenggu penjajahan,praktek korupsi semakin
banyak,khususnya pada masa pemerintahan soekarno (demokrasi terpimpin) serta
pada masa pemerintahan soeharto (orde baru).Pola pemerintahan yang otoriter
serta anti demokrasi(anti kritik mengkritik) akan menjadikan budaya korupsi
semakin berkembang.Apalagi dengan tingkat multikultural yang sangat tinggi di
indonesia budaya korupsi ini seakan akan sulit untuk di cegah karena sudah
menjadi sebuah akar dari kegiatan politik dan pemerintahan di indonesia yang
akan merusak dan bahkan dapat menghancurkan negara itu sendiri jika praktek
korupsi terus saja merajalela tanpa di sikapi secara serius.
Pada masa
sekarang pemerintah sedang gencar gencarnya melakukan suatu tindakan dalam
menyikapi tindak dan perilaku korupsi di indonesia yang samakin bertambah,namun
apadaya pemerintah yang terkesan lamban dalam berkompromi,serta bertindak tidak
dapat cepat memberantas korupsi dan malah memperumit masalah karena terjadi
kekisruhan dalam tubuh pemerintah sendiri,akibatnya pemerintah kurang fokus
terhadap perilaku perilaku korupsi tersebut dan malah terkesan menutup mata
terhadap hal tersebut. Di tambah lagi dengan kurang berlakunya hukum di negara
indonesia yang terkesan mudah untuk di manipulasi,sehingga pelaku korup
tersebut bebas melakukan aksinya,sedangkan masyarakat/rakyat biasa malah dijadikan
sebagai kambing hitam atas peristiwa tersebut.
Selain itu, secara sosiologis dapat kita analisis
bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat
umum, juga tidak lepas dari pemikiran yang dipraktekkan oleh Orde Baru saat
pemerintahan Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terpengaruh oleh
lingkungan sosial yang terbentuk dari kekuasaan yang otoriter tersebut. Wajar
kemudian ketika sebagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat
daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun
sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh
kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat pemerintah
lokalpun, tak segan untuk menggunakan kekuasaanya demi memperkaya diri sendiri
dengan menghisap serta menindas masyarakat. Dan pada akhirnya, masyarakat
terkesan diam dan tak berani bertanya
apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya,munculah
budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung (apatis) acuh tak
acuh. Misalnya banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati
atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya
dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa
jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa
nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat
menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk. Korupsi
sebenarnya merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur
sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral
semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya.
Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan
praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas
dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah
korupsi ini. Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang
dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa
tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran
Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi
menjadi berubah dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat
harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggi ini
berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan
tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung
dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini,
adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara demi
kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat
dipaksa untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya.
Banyak
kasus korupsi yang sampai sekarang tidak diketahui ujung pangkalnya. Salah
satunya adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh seorang pegawai pajak golongan
IIIA, yang sempat menggegerkan Mabes Polri, Gayus Tambunan. Keterkejutan semua
orang terhadap apa yang telah dilakukan oleh Gayus Tambunan adalah suatu hal
yang wajar. Karena apabila kita melihat dari statusnya yang hanyalah seorang
pegawai negeri biasa, tetapi memiliki tabungan yang begitu banyak, senilai Rp.
25 Miliar, tentu saja hal ini mengundang tanya. Apalagi kalau bukan korupsi?
Padahal, pekerjaan Gayus sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak
(banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Mengingat
gaji pegawai pajak setingkat golongan IIIA hanyalah berkisar antara Rp
1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan, Hal ini menegaskan bahwa seorang Gayus
Tambunan pasti telah melakukan kecurangan yang dapat merugikan Negara dan
masyarakat banyak. Perkembangan terkini dari penanganan kasus korupsi Gayus
Tambunan semakin membuat masyarakat jengah. Gayus Tambunan sebagai tersangka
korupsi seolah-olah memiliki kuasa sahingga dia selalu mendapatkan perlakuan
istimewa.
Terakhir,
dia kembali mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum, yaitu kepolisian
hanya menjeratnya dengan pasal gratifikasi, di mana dia hanya dapat dihukum
maksimal 3 tahun penjara. Dalam berbagai perkara yang pernah ada, seseorang
yang terjerat pasal gratifikasi sering lolos dari jeratan hukum. Hal ini
kemudian menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penegak hukum
dalam menangani kasus Gayus.
Kasus Gayus
merupakan salah satu contoh kasus tindak korupsi yang menuai banyak protes di
kalangan masyarakat karena kasusnya yang tidak kunjung terselesaikan.hal ini
tentunya menjadi acuan,bahwa hukum di negara indonesia kurang berfungsi sebagai mana mestinya yaitu
sebagai pengawas sekaligus pengatur tindak perilaku masyarakat.tidak bisa kita
pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi di kalangan pejabat indonesia sudah
sangat tinggi,Hal ini tentunya menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat
terhadap kinerja pemerintah.Bisa di katakan bahwa kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah sudah menurun,bahkan masyarakat cenderung apatis(acuh tak
acuh) terhadap pemerintah.Apalagi penanganan kasus korupsi yang dilakukan
pemerintah terkesan lamban,berbelit belit serta tidak transparan misalnya, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota
DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau
pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll,
menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi
yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy)
yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga daapt
berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan
yang telampau birokratis.tentunya hal ini memeerlukan upaya upaya memberantas
dan membasmi korupsi di indonesia.Upaya ini bukan hanya sekedar kampanye untuk
peningkatan nilai dan moral seseorang,tetapi lebih mendalam,menutup dan mencari
akar permasalahannya.
Dengan cara:Pertama, Negara melalui
pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara
menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini
bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara batin maupun
lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika
kehidupan masyarakat indonesia terus menerus berada dalam kemiskinan, maka
keinginan
untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan
terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah
korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah
korupsi juga erat kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.
Yang kedua yaitu membangun sistem
kekuasaan yang demokratis.Karena prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem
yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas,
maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan
sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik,
serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil
.Ketiga, Membangun akses kontrol dan
pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak
bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan
penanganannya pada pemerintah saja.Keempat, Penguatan institusi-institusi
aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum, harus mulai dibangun secara
kuat. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara
efisien.
Yang terakhir adalah dengan
perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan
prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah
sedini mungkin. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan
contoh yang buruk kepada anak didiknya yang kelak akan diadopsinya dalam
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja menjual ijazah dan nilai, bisnis
buku/modul pelajaran, pungutan liar hingga cara mengajar yang kaku, otoriter
dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut di atas tidak mampu
kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa perilaku korup
masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan
semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.
Tentunya bentuk bentuk upaya
tersebut tidak akan berjalan dengan baik,jika masyarakat sendiri tidak memiliki
kesadaran terhadap hal hal tersebut.Upaya upaya tersebut hanyalah sebagai pencegah,dan
sesungguhnya yang bisa memperbaiki perilaku korup tersebut hanyalah kesadaran
dari para pejabat pemerintah yang melakukan tindak korupsi tersebut,serta
kesadarn masyarakat untuk merubah norma dan perilakunya yang mengarah pada
tindak perilaku korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Mustofa,
Muhammad. kleptokrasi: Persengkongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola
White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Budiarjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke duapuluh tujuh.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Suradika,
Agus. RELASI KORUPSI DAN KEKUASAAN: Antara Cermin Budaya dan
Penanggulangannya, http://www.docstoc.com/docs/5936230/Agus-Suradika-Korupsi-dan-Kekuasaan, diakses tanggal 7
Desember, 2010
Djafar,
Wahyudi. Perselingkuhan Birokrasi dan
Korupsi, http://www.legalitas.org/content/perselingkuhan-birokrasi-dan-korupsi,
diakses tanggal 7 Desember, 2010
Nasution,
S. A. Korupsi
dan kekuasaan,
kolom Opini. Waspada Online. http://www.waspada.co.id/index.php/images/flash/index.php?option=com_content&view=article&id=81290:korupsi-dan-kekuasaan&catid=25:artikel&Itemid=44, diakses tanggal 7
Desember, 2010.
Rastika,
Icha. Andi Kosasih Dituntut 10 Tahun. Kompas.com 23 November 2010. http://nasional.kompas.com/read/2010/11/23/16344531/Andi.Kosasih.Dituntut.10.Tahun, diakses tanggal 7
Desember, 2010.
Taufiqqurahman, Muhammad. Mencari Jejak Gayus
Tambunan di Warakas.
detikNews 24 Maret 2010. http://www.detiknews.com/read/2010/03/24/104528/1324145/10/mencari-jejak-gayus-tambunan-di-warakas, diakses tanggal 7
Desember 2010.
Kompas.JagoKeuangandariWarakas.http://koran.republika.co.id/koran/0/106988/Jago
Keuangan dari Warakas, diakses tanggal 7 Desember
2010.
0 komentar:
Posting Komentar