Masalah
kemiskinan merupakan masalah yang sangat vital dan tidak hanya terjadi pada
negara negara berkembang, akan tetapi juga terjadi pada negara negara maju atau
negara negara industry di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, merupakan salah
satu kondisi sosial, di mana seseorang, keluarga atau masyarakat tidak dapat
mencukupi kebutuhan kebutuhan pokonya sehingga tingat kesejahteraan mereka
menjadi menurun dan menimbulkan berbagai masalah. Walaupun pada saat ini hampir
seluruh negara mengalai fase yang kita kenal dengan era globalisasi, dimana
kita mudah mendapatkan apa saja yang kita inginkan dengan cepat, kemiskinan tetap
saja merajalela dan semakin lama semakin banyak masyarakat yang tidak dapat
mencukupi kebutuhan sehari harinya, dan kebutuhan kebutuhan pokok lainnya yang
seharusnya dapat dengan mudah mereka dapatkan.
Di
Indonesia, masalah kemiskinan menjadi masalah klasik yang sampai saat ini belum
juga menemukan titik terrang. Kemiskinan yang terjadi setiap tahunnya membuat
masalah masalah semakin kompleks saja. Masalah yang sangat erat kaitannya
dengan kemiskinan adalah masalah kesehatan. Berbagai lapisan sosial masyarakat
seharunya menjadikan kesehatan merupakan kebutuhan vital pertama yang harus
mereka dapatkan dengan mudah, namun tidak jika di Indonesia. Sebagai negara
hukum, Indonesia tentunya sangat kental dengan yang namanya aturan, baik itu
berbentuk undang undang, perpres ataupun aturan aturan lainnya yang asangat
banyak jenisnya. Tak terkecuali dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan. Dalam
UUD 1945 Pasal 28 Ayat 1 dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejak lahir
dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Di samping
itu, dalam hal kesehatan, pemerintah juga mengaturnya dalam UU No 39 Tahun 2009
tentang kesehatan. Menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan
kesehatan. Karena itu, setiap individu, keluarga,dan masyarakat berhak
memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab
mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk di dalamya
masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan masyarakat miskin yang
masih rendah diakibatkan oleh beberapa factor salah satunya sulitnya akses
dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan akses dalam hal kesehatan di picu oleh
berbagai factor seperti kemapuan ekonomi yang terbatas, karena mahalnya
pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, pemerintah kemudian mulai fokus dalam
menaganai masalah ini. Maka, sejak tahun 2005 pemerintah membuat kebijakan
untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan Program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program yang kita kenal
dengan program JAMKESMAS ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui
penugasan PT Askes Persero berdasarkan SK No 1241/Menkes/SK/XI/2004 tentang
penugasan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program tersebut telah diupayakan melalui
perubahan perubahan setiap tahun.
Perubahan
mekanisme yang paling mendasar adalah adanya pemisahan peran pembayar dengan
vertifikator melalui penyaluran dana langsung ke pemberi pelayanan kesehatan
(PPK) dari kas negara, penggunaan tarif paket jaminan kesehatan masyarakat di
rumah sakit, penempatan pelaksana verifikasi di setiap rumah sakit, pembentukan
tim pengelola dan tim koordinasi tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten atau
kota serta penugasan PT Askes dalam manajemen kepesertaan. Di sisi lain,
program JAMKESMAS yang langsung di handle oleh pemerintah belum sepenuhnya
berhasil dan diharapakan oleh penerima yaitu masyarakat.
Memang mudah dalam
membuat program program dan rencana rencana seperti itu, namun di Indonesia
segala hal menjadi hancur dan rusak ketika unsure politik sudah bermain di
dalamnya. Berikut akan di jelaskan mengenai pelaksanaan program JAMKESMAS yang
belum optimal di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat ini program JAMKESMAS
yang di upayakan pemerintah telah menetapkan target sebesar 76, 4 juta jiwa
keluarga miskin. Pada salah satu provinsi yaitu provisnsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2012 mempunyai kuota sebanyak 4,8 juta. Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat ini mulai diberlakukan per tanggal 1 juli 2008.
Di Kabupaten Bone, dari
688.080 jiwa penduduk (atau 146.354 KK), terdapat 119.963 jiwa penduduk
menjadi peserta Jamkesmas.
Dengan kata lain,
17,4% penduduk menjadi peserta Jamkesmas.
Sejumlah penduduk yang tersebar
pada 27 kecamatan
dan 369 desa/ kelurahan, sekitar
119.963 orang (atau 17,4% dari
total jumlah penduduk)
terdaftar sebagai peserta
Jamkesmas, atau dengan kata lain, menjadi peserta program Jamkesmas. Jumlah
peserta Jamkesmas bervariasi pada dua puluh tujuh kecamatan dan 369 desa/ kelurahan yang
ada di Kabupaten
Bone.
Variasi tersebut
mengindikasikan suatu fenomena kepesertaan penduduk
(dalam jumlah jiwa
dan KK) terhadap
Jamkesmas. Variasi jumlah peserta Jamkesmas tersebut terutama
disebabkan oleh perbedaan jumlah penduduk di masingmasing kecamatan. Dari 27
kecamatan yang ada di Kabupaten
Bone, terdapat 19
kecamatan yang mempunyai jumlah
peserta Jamkesmas rata-rata di
atas seribu rumah
tangga atau keluarga,sedangkan 8 kecamatan lainnya (yakni
Kecamatan Tonra, Bengo, Lappariaja, Lamuru, Tellu Limpoe, Ajangale dan Dua
Boccoe) rata-rata kurang dari seribu rumah tangga atau keluarga. Jumlah
penduduk baik jiwa maupun KK yang menjadi peserta Jamkesmas bervariasi di setiap kecamatan.
Jumlah
penduduk (baik jiwa maupun KK) sebagai peserta Jamkesmas terbanyak terdapat di
Kecamatan Bonto Cani,
Tellu Siattenge dan Awangpone.
Sedangkan jumlah terendah
terdapat di Kecamatan Tonra, Bengo, Mare, Tellu Boccoe, dan Dua Boccoe. Fenomena yang menarik dicermati bahwa, rata-rata persentase
jumlah KK (dari total jumlah
penduduk) lebih besar
dari persentase jumlah
jiwa penduduk sebagai
peserta Jamkesmas, kecuali di Kecamatan
Tellu Siattenge yang mempunyai
persentase jumlah jiwa penduduk peserta Jamkesmas lebih besar
dari persentase jumlah KK peserta Jamkesmas. Kenyataan tersebut mengindikasikan
bahwa, KK lebih dominan menjadi target dalam penetapan kepersertaan
Jemkesmas di Kabupaten
Bone.
Dengan demikian,
hampir seluruh anggota keluarga
dalam satu rumah
tangga (KK) memiliki
status dalam kepesertaan Jamkesmas. Hal ini juga berarti
bahwa, setiap satu kartu Jamkesmas yang dimiliki oleh satu rumah tangga
atau keluarga, dapat
dipergunakan oleh anggota
keluarganya seperti anak, suami, isteri bahkan cucu dan menantu. Permasalahan yang terjadi adalah belum
optimalnya partisipasi penduduk dalam penggunaan fasilitas pelayanan Jamkesmas
tersebut. Dari 688.080 jiwa atau 146.354 KK penduduk yang tersebar pada 27 kecamatan
dan 396 desa/ kelurahan, rata-rata
hanya 18,1% jiwa
atau 21,8% KK
penduduk yang terdaftar
sebagai peserta Jamkesmas. Hal
tersebut berarti bahwa,
masih banyak penduduk
atau KK yang
belum terdaftar sebagai peserta Jamkesmas tersebut.
Ditinjau dari
segi jumlah penduduk,
ada sejumlah kecamatan yang
memiliki jumlah penduduk peserta
Jamkesmas kurang dari
10% dari total
jumlah penduduknya. Dari
27 kecamatan, hanya beberapa kecamatan yang memiliki jumlah peserta
Jamkesmas di atas 30% dari total jumlah penduduknya. Persentase jumlah
KK miskin yang
menjadi peserta Jamkesmas berdasarkan jumlah penduduk berbeda-beda atau bervariasi
di setiap kecamatan. Persentase paling tinggi terdapat di Kecamatan
Cina, Sibulue dan
Salomekko yakni secara
berturut-turut 97,8%, 87,1% dan 72,7%.
Sedangkan persentase paling
rendah terdapat di
Kecamatan Tonra, Bengo
dan Dua Boccoe yakni secara
berturut-turut 6,5%, 6,9% dan 12,4%.
Secara
keseluruhan dari uraian tersebut mengindikasikan bahwa, dari dua puluh tujuh kecamatan di
Kabupaten Bone, 25
(atau 93%) kecamatan
mempunyai jumlah KK
peserta Jamkesmas tergolong tidak atau kurang optimal, kecuali 2 (atau
17%) kecamatan mempunyai jumlah KK peserta
Jamkesmas tergolong optimal.
Oleh karena itu,
secara umum dapat disimpulkan bahwa kepesertaan KK
penduduk miskin dalam Jamkesmas kurang optimal. Pada bidang pelayanan juga
terdapat masalah, yaitu kurang jelasnya pengaturan menjadi peserta jamkesmas,
kepesertaan yang dipaksakan, sikap penolakan terhadap kebutuhan pelayanan
kesehatan dasar dan lanjutan, pelayanan yang setengah hati atau diskriminan,
sikap pelayanan rujukan yang kurang maksimal, konflik kepentingan, mekanisme
pelayanan yang kaku dan birokratis, terbatasnya Bakelmas dan spesialistik,
diskriminasi pelayanan, masalah pelayanan obat obatan dan rujukan specimen,
maalah penanganan penyakit kronis yang setengah hati, masalah administrasi dan
database pelayanan lintas daerah, masalah rujukan antar rumah sakit, masalah
penundaan pelayanan bagi pasien gawat darurat, masalah tanggung jawab dalam
pemenuhan kebutuhan obat dan bahan habis pakai dsb. masalah lain yang menjadi
sorotan adalah soal pendanaan.
Pada tahun 2010 pemerintah telah
mengucurkan dana sebesar Rp 1.579.250,00 kepada 36 puskesmas dan 137. 214 jiwa
pasien peserta jamskesmas di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Yang menjadi
janggal adalah ketika ada Puskesmas yang
menerima dana Jamkesmas yang
tergolong besar namun
jumlah peserta Jamkesmas
yang dilayani relative lebih kecil dengan beberapa Puskesmas lainnya.
Sebaliknya, ada Puskesmas dengan jumlah peserta Jamkesmas
agak besar namun jumlah dana
Jamkesmas yang diterima
relatif lebih kecil dari
puskesmas lainnya. Demikian pula bahwa, ada Puskemas yang besaran jumlah dana Jamkesmasnya
sama dengan urutan jumlah peserta Jamkesmasnya yang dilayani.
Permasalahan
mendasar lainnya yang patut dicermati
dari penyaluran, penurunan dan pertambahan
jumlah penerimaan dan
realisasi dana Jamkesmas
tersebut, adalah minimnya kontribusi pemanfaatan dana
Jamkesmas terhadap hak-hak (baik
individu, keluarga maupun kelompok) warga masyarakat.Secara
keseluruhan, penerimaan dan realisasi
dana Jamkesmas pada 36 puskesmas di Kabupaten Bone belum optimal, baik dalam
hal pemanfaatan maupun dalam hal pemberian kontribusi per
pasien per pelayanan
ataupun nilai kontribusi
bagi pendapatan puskesmas.
Rendahnya nilai
nominal kontribusi atas
penerimaan dan realisasi
dana Jamkesmas mengindikasikan
bahwa pelayanan kesehatan dasar di puskesmas-puskesmas kepada sejumlah pasien masih
terbatas pada pemeriksaan
kesehatan, belum sepenuhnya
menyentuh aspek kebutuhan
pengobatan penyakit pasien peserta Jamkesmas. Kebijakan Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
di Kabupaten Bone
masih menimbulkan berbagai permasalahan
baik dalam hal
isi kebijakannya maupun pelaksanaannya. Kebijakan Jamkesmas
masih mengandung sejumlah kelemahan, diantaranya database yang
overlapping baik di
tingkat puskesmas maupun
rumah sakit serta Dinas
Kesehatan.
Demikian halnya
kebijakan pendataan (Kepesertaan)
cenderung masih terjadi konflik kepentingan
antara pemerintah setempat
(tingkat desa, kelurahan
dan kecamatan), pengelola
puskesmas, pengelola rumah sakit maupun instansi terkait (Dinas kesehatan). Kebijakan akses
pelayanan Jamkesmas belum
sepenuhnya didasarkan pada
aspek keterjangkauan dan pertimbangan
biaya serta proporsionalitas bahkan
masih menimbulkan konflik kepentingan
dan kesenjangan.
Mekanisme pelayanan
masih terkesan overbirokratis yang terkadang
menghambat peserta Jamkesmas.
Sosialisasi dan pembinaan
masih relatif kurang yang menyebabkan masih
banyak warga miskin belum
memperoleh informasi yang transparan yang
menjadi hak-haknya. Dalam
hal pendanaan, masih
cenderung terjadi kelambatan penyaluran
dana yang menghambat
pihak puskesmas maupun
rumah sakit memberikan pelayanan
serta masih adanya kekurangsesuaian antara klaim INA-DRG dengan realitas pelayanan
yang diberikan.
Pemanfaatan
fasilitas juga belum
maksimal dalam pelayanan Jamkesmas
serta masih rendahnya mutu pelayanan atau masih terjadi kesenjangan antara
pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima. Sebenarnya, kasus
yang di alami oleh masyarakat Bone, Sulawesi Selatan juga di alami oleh
beberapa daerah lainnya seperti di wilayah perbatasan tepatnya di pulau
Makalehike Kecamatan Siau Barat, dan daerah daerah terpencil lainnya. Hal ini tentunya menjadi bukti
bahwa, program program pemerintah khusunya id bidang kesehatan dan
kesejahteraan, hanya bersifat procedural dan bukan substansi.
Oleh sebab itu,
kita dapat melihat bahwa program program yang dilaksanakan dapat berjalan
dengan baik ketika berada dekat dengan pusat kekuasaan seperti halnya di Pulau
Jawa. Dan sebaliknya, pada kondisi kondisi di Indnesia bagian timur, Jamkesmas
menjadi salah satu ladang untuk mencari keuntungan sepihak, danbukan untuk
kepentingan masayarakat bersama. Terdapat 4 hal yang menjadi permasalahan dalam
pelaksanaan program jamkesmas antara lain yaitu, kepesertaan, akses, mekanisme
pelayanan, dan pendanaan.
Persyaratan
pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif adalah
bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan kepada
personil yang tepat
sebelum keputusan-keputusan dan
perintah itu dapat diikuti.
Permasalahannya, antara
pihak rumah sakit,
puskesmas, Dinas Kesehatan
dan pemerintah setempat masih
cenderung terjadi miskomunikasi
dalam pelaksanaan Jamkesmas. Masing-masing
pihak cenderung bertindak sendiri-sendiri
tanpa koordinasi yang maksimal, sehingga
tidak jarang terjadi perbedaan penafsiran terhadap suatu keputusan atau petunjuk
pelaksanaan kegiatan Jamkesmas.
Pemerintah sebagai eksekutor program seharusnya
bersifat obyektif dan seletif terhadap peserta, karena pada saat ini masih ada
yang tidak tepat sasaran, ika kebijakan-kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang
diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para
pelaksana kebijakan, tetapi
juga komunikasi kebijakan
tersebut harus jelas. dengan adanya program yang tepat
sasaran serta komunikasi yang baik dan jelas antara pemerintah serta masyarakat
dapat membuat program Jamkesmas menjadi optimal.
Daftar Pustaka
Hamsinah,
Haselman Suparman. 2012. Implementasi
Kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS)
di Kabupaten Bone. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS. Jurnal.
Tatipang,
Dinosof. Implementasi Kebijakan Jaminan
Kesehatan Masyarakat di Daerah Perbatasan
(Suatu Studi diPulau Makalehike Kecamatan Siau Barat).
0 komentar:
Posting Komentar