Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Belum Optimalnya Program Jamkesmas Pada Beberapa Daerah di Indonesia



Masalah kemiskinan merupakan masalah yang sangat vital dan tidak hanya terjadi pada negara negara berkembang, akan tetapi juga terjadi pada negara negara maju atau negara negara industry di berbagai belahan dunia. Kemiskinan, merupakan salah satu kondisi sosial, di mana seseorang, keluarga atau masyarakat tidak dapat mencukupi kebutuhan kebutuhan pokonya sehingga tingat kesejahteraan mereka menjadi menurun dan menimbulkan berbagai masalah. Walaupun pada saat ini hampir seluruh negara mengalai fase yang kita kenal dengan era globalisasi, dimana kita mudah mendapatkan apa saja yang kita inginkan dengan cepat, kemiskinan tetap saja merajalela dan semakin lama semakin banyak masyarakat yang tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari harinya, dan kebutuhan kebutuhan pokok lainnya yang seharusnya dapat dengan mudah mereka dapatkan.                                                                                                                                          

Di Indonesia, masalah kemiskinan menjadi masalah klasik yang sampai saat ini belum juga menemukan titik terrang. Kemiskinan yang terjadi setiap tahunnya membuat masalah masalah semakin kompleks saja. Masalah yang sangat erat kaitannya dengan kemiskinan adalah masalah kesehatan. Berbagai lapisan sosial masyarakat seharunya menjadikan kesehatan merupakan kebutuhan vital pertama yang harus mereka dapatkan dengan mudah, namun tidak jika di Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia tentunya sangat kental dengan yang namanya aturan, baik itu berbentuk undang undang, perpres ataupun aturan aturan lainnya yang asangat banyak jenisnya. Tak terkecuali dalam bidang kesejahteraan dan kesehatan. Dalam UUD 1945 Pasal 28 Ayat 1 dijelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejak lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.                                                                                                                                               
Di samping itu, dalam hal kesehatan, pemerintah juga mengaturnya dalam UU No 39 Tahun 2009 tentang kesehatan. Menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu, setiap individu, keluarga,dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi penduduknya termasuk di dalamya masyarakat miskin dan tidak mampu. Derajat kesehatan masyarakat miskin yang masih rendah diakibatkan oleh beberapa factor salah satunya sulitnya akses dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan akses dalam hal kesehatan di picu oleh berbagai factor seperti kemapuan ekonomi yang terbatas, karena mahalnya pelayanan kesehatan. 

Oleh karena itu, pemerintah kemudian mulai fokus dalam menaganai masalah ini. Maka, sejak tahun 2005 pemerintah membuat kebijakan untuk mengatasi hambatan dan kendala tersebut melalui pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin. Program yang kita kenal dengan program JAMKESMAS ini diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan melalui penugasan PT Askes Persero berdasarkan SK No 1241/Menkes/SK/XI/2004 tentang penugasan kesehatan bagi masyarakat miskin. Program tersebut telah diupayakan melalui perubahan perubahan setiap tahun.                                                                                                 
 Perubahan mekanisme yang paling mendasar adalah adanya pemisahan peran pembayar dengan vertifikator melalui penyaluran dana langsung ke pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dari kas negara, penggunaan tarif paket jaminan kesehatan masyarakat di rumah sakit, penempatan pelaksana verifikasi di setiap rumah sakit, pembentukan tim pengelola dan tim koordinasi tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten atau kota serta penugasan PT Askes dalam manajemen kepesertaan. Di sisi lain, program JAMKESMAS yang langsung di handle oleh pemerintah belum sepenuhnya berhasil dan diharapakan oleh penerima yaitu masyarakat. 

Memang mudah dalam membuat program program dan rencana rencana seperti itu, namun di Indonesia segala hal menjadi hancur dan rusak ketika unsure politik sudah bermain di dalamnya. Berikut akan di jelaskan mengenai pelaksanaan program JAMKESMAS yang belum optimal di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat ini program JAMKESMAS yang di upayakan pemerintah telah menetapkan target sebesar 76, 4 juta jiwa keluarga miskin. Pada salah satu provinsi yaitu provisnsi Sulawesi Selatan pada tahun 2012 mempunyai kuota sebanyak 4,8 juta. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat ini mulai diberlakukan per tanggal 1 juli 2008.                      

Di Kabupaten Bone, dari 688.080 jiwa penduduk (atau 146.354 KK), terdapat 119.963 jiwa  penduduk  menjadi  peserta  Jamkesmas.  Dengan  kata  lain,  17,4%  penduduk  menjadi peserta  Jamkesmas.  Sejumlah  penduduk  yang  tersebar  pada  27  kecamatan  dan  369  desa/ kelurahan,  sekitar  119.963 orang  (atau 17,4% dari total  jumlah  penduduk)  terdaftar  sebagai peserta Jamkesmas, atau dengan kata lain, menjadi peserta program Jamkesmas. Jumlah peserta Jamkesmas bervariasi pada dua puluh tujuh kecamatan dan 369 desa/ kelurahan  yang  ada  di  Kabupaten  Bone.   

Variasi  tersebut  mengindikasikan  suatu  fenomena kepesertaan  penduduk  (dalam  jumlah  jiwa  dan  KK)  terhadap  Jamkesmas.  Variasi  jumlah peserta Jamkesmas tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan jumlah penduduk di masingmasing kecamatan. Dari  27  kecamatan  yang  ada  di  Kabupaten  Bone,  terdapat  19  kecamatan  yang mempunyai  jumlah  peserta Jamkesmas  rata-rata  di  atas  seribu  rumah  tangga  atau  keluarga,sedangkan 8 kecamatan lainnya (yakni Kecamatan Tonra, Bengo, Lappariaja, Lamuru, Tellu Limpoe, Ajangale dan Dua Boccoe) rata-rata kurang dari seribu rumah tangga atau keluarga. Jumlah penduduk baik jiwa maupun KK yang menjadi peserta Jamkesmas bervariasi  di setiap kecamatan.                                                                                                                                             
Jumlah penduduk (baik jiwa maupun KK) sebagai peserta Jamkesmas terbanyak terdapat  di  Kecamatan  Bonto  Cani,  Tellu  Siattenge  dan  Awangpone.  Sedangkan  jumlah terendah terdapat di Kecamatan Tonra, Bengo, Mare, Tellu Boccoe, dan Dua Boccoe. Fenomena  yang menarik dicermati bahwa, rata-rata persentase jumlah KK (dari total jumlah  penduduk)  lebih  besar  dari  persentase  jumlah  jiwa  penduduk  sebagai  peserta Jamkesmas,  kecuali di Kecamatan Tellu Siattenge  yang mempunyai persentase  jumlah  jiwa penduduk peserta Jamkesmas lebih besar dari persentase jumlah KK peserta Jamkesmas. Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa, KK lebih dominan menjadi target dalam penetapan  kepersertaan  Jemkesmas  di  Kabupaten  Bone.   

Dengan  demikian,  hampir  seluruh anggota  keluarga  dalam  satu  rumah  tangga  (KK)  memiliki  status  dalam  kepesertaan Jamkesmas. Hal ini juga berarti bahwa, setiap satu kartu Jamkesmas yang dimiliki oleh satu rumah  tangga  atau  keluarga,  dapat  dipergunakan  oleh  anggota  keluarganya  seperti  anak, suami, isteri bahkan cucu dan menantu. Permasalahan yang terjadi adalah belum optimalnya partisipasi penduduk dalam penggunaan fasilitas pelayanan Jamkesmas tersebut. Dari 688.080 jiwa atau 146.354 KK penduduk yang tersebar pada 27 kecamatan dan 396 desa/ kelurahan, rata-rata  hanya  18,1%  jiwa  atau  21,8%  KK  penduduk  yang  terdaftar  sebagai  peserta Jamkesmas.  Hal  tersebut  berarti  bahwa,  masih  banyak  penduduk  atau  KK  yang  belum terdaftar sebagai peserta Jamkesmas tersebut. 

Ditinjau  dari  segi  jumlah  penduduk,  ada sejumlah  kecamatan  yang  memiliki  jumlah penduduk  peserta  Jamkesmas  kurang  dari  10%  dari  total  jumlah  penduduknya.  Dari  27 kecamatan, hanya beberapa kecamatan yang memiliki jumlah peserta Jamkesmas di atas 30% dari total jumlah penduduknya. Persentase  jumlah  KK  miskin  yang  menjadi  peserta  Jamkesmas berdasarkan  jumlah penduduk berbeda-beda atau bervariasi di setiap kecamatan. Persentase paling tinggi terdapat di  Kecamatan  Cina,  Sibulue  dan  Salomekko  yakni  secara  berturut-turut 97,8%,  87,1%  dan 72,7%.  Sedangkan  persentase  paling  rendah  terdapat  di  Kecamatan  Tonra,  Bengo  dan  Dua Boccoe yakni secara berturut-turut 6,5%, 6,9% dan 12,4%.                                                                                                                   
Secara keseluruhan dari uraian tersebut mengindikasikan bahwa, dari dua puluh tujuh kecamatan  di  Kabupaten  Bone,  25  (atau  93%)  kecamatan  mempunyai  jumlah  KK  peserta Jamkesmas tergolong tidak atau kurang optimal, kecuali 2 (atau 17%) kecamatan mempunyai jumlah  KK  peserta  Jamkesmas  tergolong  optimal.   

Oleh  karena  itu,  secara  umum  dapat disimpulkan bahwa kepesertaan KK penduduk miskin dalam Jamkesmas kurang optimal. Pada bidang pelayanan juga terdapat masalah, yaitu kurang jelasnya pengaturan menjadi peserta jamkesmas, kepesertaan yang dipaksakan, sikap penolakan terhadap kebutuhan pelayanan kesehatan dasar dan lanjutan, pelayanan yang setengah hati atau diskriminan, sikap pelayanan rujukan yang kurang maksimal, konflik kepentingan, mekanisme pelayanan yang kaku dan birokratis, terbatasnya Bakelmas dan spesialistik, diskriminasi pelayanan, masalah pelayanan obat obatan dan rujukan specimen, maalah penanganan penyakit kronis yang setengah hati, masalah administrasi dan database pelayanan lintas daerah, masalah rujukan antar rumah sakit, masalah penundaan pelayanan bagi pasien gawat darurat, masalah tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan obat dan bahan habis pakai dsb. masalah lain yang menjadi sorotan adalah soal pendanaan.                                                                                                                                   

Pada tahun 2010 pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 1.579.250,00 kepada 36 puskesmas dan 137. 214 jiwa pasien peserta jamskesmas di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Yang menjadi janggal adalah ketika ada  Puskesmas  yang  menerima  dana Jamkesmas  yang  tergolong  besar  namun  jumlah  peserta  Jamkesmas  yang  dilayani  relative lebih  kecil dengan beberapa Puskesmas lainnya. Sebaliknya, ada Puskesmas dengan  jumlah peserta  Jamkesmas  agak  besar  namun  jumlah  dana  Jamkesmas  yang  diterima  relatif  lebih kecil dari puskesmas lainnya. Demikian pula bahwa, ada Puskemas yang besaran jumlah dana Jamkesmasnya sama dengan urutan jumlah peserta Jamkesmasnya yang dilayani.                                                                        
 Permasalahan mendasar lainnya yang patut  dicermati dari penyaluran, penurunan dan pertambahan  jumlah  penerimaan  dan  realisasi  dana  Jamkesmas  tersebut,  adalah  minimnya kontribusi pemanfaatan dana Jamkesmas terhadap hak-hak (baik  individu, keluarga maupun kelompok) warga masyarakat.Secara keseluruhan,  penerimaan dan realisasi dana Jamkesmas pada 36 puskesmas di Kabupaten Bone belum optimal, baik dalam hal  pemanfaatan maupun dalam  hal pemberian kontribusi  per  pasien  per  pelayanan  ataupun  nilai  kontribusi  bagi  pendapatan  puskesmas. 

Rendahnya  nilai  nominal  kontribusi  atas  penerimaan  dan  realisasi  dana  Jamkesmas mengindikasikan bahwa pelayanan kesehatan dasar di puskesmas-puskesmas kepada sejumlah pasien  masih  terbatas  pada  pemeriksaan  kesehatan,  belum  sepenuhnya  menyentuh  aspek kebutuhan pengobatan penyakit pasien peserta Jamkesmas. Kebijakan  Jaminan  Kesehatan  Masyarakat  (Jamkesmas)  di  Kabupaten  Bone  masih menimbulkan  berbagai  permasalahan  baik  dalam  hal  isi  kebijakannya  maupun pelaksanaannya. Kebijakan Jamkesmas masih mengandung sejumlah kelemahan, diantaranya database  yang  overlapping  baik  di  tingkat  puskesmas  maupun  rumah  sakit  serta  Dinas Kesehatan.   

Demikian  halnya  kebijakan  pendataan  (Kepesertaan)  cenderung  masih  terjadi konflik  kepentingan  antara  pemerintah  setempat  (tingkat  desa,  kelurahan  dan  kecamatan), pengelola puskesmas, pengelola rumah sakit maupun instansi terkait (Dinas kesehatan). Kebijakan  akses  pelayanan  Jamkesmas  belum  sepenuhnya  didasarkan  pada  aspek keterjangkauan  dan  pertimbangan  biaya  serta  proporsionalitas  bahkan  masih  menimbulkan konflik  kepentingan  dan  kesenjangan.                                                                                          

Mekanisme  pelayanan  masih  terkesan  overbirokratis yang  terkadang  menghambat  peserta  Jamkesmas.  Sosialisasi  dan  pembinaan  masih  relatif kurang  yang menyebabkan  masih  banyak warga  miskin  belum  memperoleh  informasi  yang transparan  yang  menjadi  hak-haknya.  Dalam  hal  pendanaan,  masih  cenderung  terjadi kelambatan  penyaluran  dana  yang  menghambat  pihak  puskesmas  maupun  rumah  sakit memberikan pelayanan serta masih adanya kekurangsesuaian antara klaim INA-DRG dengan realitas  pelayanan  yang  diberikan.  

 Pemanfaatan  fasilitas  juga  belum  maksimal  dalam pelayanan Jamkesmas serta masih rendahnya mutu pelayanan atau masih terjadi kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan dengan pelayanan yang diterima. Sebenarnya, kasus yang di alami oleh masyarakat Bone, Sulawesi Selatan juga di alami oleh beberapa daerah lainnya seperti di wilayah perbatasan tepatnya di pulau Makalehike Kecamatan Siau Barat, dan daerah daerah terpencil lainnya. Hal ini tentunya menjadi bukti bahwa, program program pemerintah khusunya id bidang kesehatan dan kesejahteraan, hanya bersifat procedural dan bukan substansi. 

Oleh sebab itu, kita dapat melihat bahwa program program yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik ketika berada dekat dengan pusat kekuasaan seperti halnya di Pulau Jawa. Dan sebaliknya, pada kondisi kondisi di Indnesia bagian timur, Jamkesmas menjadi salah satu ladang untuk mencari keuntungan sepihak, danbukan untuk kepentingan masayarakat bersama. Terdapat 4 hal yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaan program jamkesmas antara lain yaitu, kepesertaan, akses, mekanisme pelayanan, dan pendanaan. 

Persyaratan  pertama  bagi  implementasi kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus diteruskan  kepada  personil  yang  tepat  sebelum  keputusan-keputusan  dan  perintah  itu  dapat diikuti.   
                                                                                                                      
Permasalahannya,  antara  pihak  rumah  sakit,  puskesmas,  Dinas  Kesehatan  dan pemerintah  setempat  masih  cenderung  terjadi  miskomunikasi  dalam  pelaksanaan Jamkesmas. Masing-masing pihak cenderung bertindak  sendiri-sendiri tanpa koordinasi  yang maksimal, sehingga tidak jarang terjadi perbedaan penafsiran terhadap suatu keputusan atau petunjuk pelaksanaan kegiatan Jamkesmas. 

Pemerintah sebagai eksekutor program seharusnya bersifat obyektif dan seletif terhadap peserta, karena pada saat ini masih ada yang tidak tepat sasaran, ika  kebijakan-kebijakan  diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh  para  pelaksana  kebijakan,  tetapi  juga  komunikasi  kebijakan  tersebut  harus  jelas. dengan adanya program yang tepat sasaran serta komunikasi yang baik dan jelas antara pemerintah serta masyarakat dapat membuat program Jamkesmas menjadi optimal.











Daftar Pustaka
Hamsinah, Haselman Suparman. 2012. Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat   (JAMKESMAS) di Kabupaten Bone. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS.    Jurnal.
Tatipang, Dinosof. Implementasi Kebijakan Jaminan Kesehatan Masyarakat di Daerah     Perbatasan (Suatu Studi diPulau Makalehike Kecamatan Siau Barat).

0 komentar:

Posting Komentar