Seperti
yang telah kita ketahui bahwa negara Indonesia dalam menjalankan sistem
pembangunannya telah lama memakai sistem desentralisasi, karena diharapkan
pembangunan dapat berjalan secara lancar di seluruh wilayah di Indonesia.
sistem desentralisasi sendiri memiliki makna, bahwa kendali dari sistem
pemerintahan dan pembangunan tidak langsung di handle oleh pemerintahan pusat,
melainkan kekuasaan dan wewenang tersebut diturunkan dan di bagi ke wilayah
wilayah agar pembangunan di daerah lebih merata persebarannya. Dengan adanya
sistem desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah, darah daerah di tuntut
untuk dapat mengembangkan sendiri daerahnya sesuai kondisi dan potensi yang
dimiliki oleh daerah tersebut. Untuk itu, diberlakukannya Otonomi Daerah.
Dengan adanya otoda, wilayah wilayah di Indonesia diharapkan akan menjadi
wilayah wilayah mandiri yang dapat menyumbang devisa bagi negaranya sendiri.
Akan tetapi, fakta dilapangan sungguh sangat berbeda dari apa yang diharapkan
oleh pemerintah. Wilayah wilayah di Indonesia yang berupa pulau pulau
menyebabkan sulitnya pemerataan pembangunan, terutama di daerah kawasan timur
Indodnesia. Selain itu, kondisi sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap
daerah cenderung berbeda antara satu daerah dengan daaerah lainnya. oleh karena
itu daerah daearah yang belum memiliki sumber daya manusia yang memadai
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Sehingga dapat
kita ketahui bahwa pelaksanaan otoda di Indonesia belum berjalan sesuai
harapan, bahkan sangat jauh dari harapan.
Di
Indonesia pembangunan yang sangat pesat hanyalah di daerah jawa, karena jawa
merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian sedangakan di wilayah lainnya
belum secepat di pulau jawa. Misalnya saja Papua. Jika dilihat, Papua merupakan
pulau yang lebih besar dari pulau Jawa, kandungan sumber daya alam yang
dimiliki oleh Papua, juga jauh lebih besar di bandingkan dengan pulau Jawa.
Namun, mengapa papua masih sangat sulit untuk berkembang menjadi wilayah yang
modern seperti di Jawa, Kalimantan atau Sumatra. Membahas tentang
ketertinggalan papua, kita dapat menganalisisnya melalui dua sudut pandang,
yaitu sudut pandang budaya dan sudut pandang politik.
Ketertinggalan
papua dari segi budaya.
Papua
merupakan wilayah Indonesia yang berada paling timur dan berbatasan dengan
Papua New Guinea. Luas wilayah Papua adalah 421.981 KM2 (3,5 kali lebih besar
dari pada Pulau Jawa) dengan topografi yang meliputi daerah pegunungan dan
sebagian besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasan
dengan: Laut Halmahera dan Samudra Pasifik di utara, Laut Arafura dan Australia
di selatan, Papua New Guinea disebelah timur, dan Laut Arafura, Laut banda dan
Maluku di sebelah barat. Total penduduk Papua adalah sekitar 2.576.822 jiwa,
yang hanyalah 1% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, di mana 70%
tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerah pegunungan yang terpencil.
Berdasarkan sensus pada tahun 2000, populasi terpadat ada di dataran tinggi di
Kabupaten Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Total penduduk asli, yang kaya akan
kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari keseluruhan jumlah penduduk.
Penelitian di bidang Antropologi mengkategorikan tujuh zona kebudayaan di
seluruh tanah Papua: (1) Saireri, (2) Doberai, (3) Bomberai, (4) Ha-Anim, (5)
Tabi, (6) Lano-Pago, and (7) Me-Pago. Ada lebih dari 250 kelompok etnis dengan
kebiasaan-kebiasaan, bahasa-bahasa, praktek-praktek dan agama/ kepercayaan asli
yang berbeda di Papua. Ini berarti, ada ratusan norma adat yang berlaku di
dalam propinsi ini. Ditambah lagi, ada 100 kelompok etnis non-Papua.
Untuk itu, dapat
dikatakan bahwa pembangunan di papua merupakan tantangan terberat dari
pemerintah Indonesia. secara etno biologis, penduduk/ etnis di papua merupakan
suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dari suku
bangsa lainnya yang ada di Indonesia. selain itu, letak papua yang berada di
ujung timur kepulauan Indonesia menyebabakan kondisi penduduk yang terisolasi,
hidup di tengah keterasingan, dan jauh dari kontak kemajuan dan modernisasi. Fakta menunjukkan
bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif tersebut membuat masyarakat
papua solah olah mereka pemilik dari keterisolasian dan kemiskinan. Pada saat
ini juga masih dapat kita jumpai sebagaian penduduk Papua yang berpakaian
sederhana, yang menurut mereka yang dirinya maju disebut primitf. Dari segi
budaya ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam
pembangunan di Papua, antara lain yaitu:
1.
Papua merupakan
salah satu daerah terpencil di Indonesia, memiliki laut
dan Pantai, memiliki topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak
pegunungannya selalu ditutupi salju abadi.
Kondisi yang sedemikian rupa menyebabkan sulitnya mobilisasi dari satu daerah
ke daerah lainnya.
2.
Jumlah
penduduknya kurang banyak yakni 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun 1969
jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk asli
Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami
petumbuhan penduduk minimal (minimizing zero growth). Mereka bermukim terpencar
dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah gunung
yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah. Di samping itu, penduduk di papua mayoritas
merupakan penduduk suku yang sangat terikat oleh adat istiadat dan tradisi
mereka. Oleh karena itu merek sangat sulit untuk mengembangkan kualitas diri
mereka. Banyak dari mereka yang masih berpikiran tradisional dan enggan untuk
menjamah modernitas.
3.
Kondisi
sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat
darurat hidup dalam honai/ owa (rumah adat papua),
pola konsumsi mereka sangat tidak teratur, mereka mayoritas
belum memiliki mata pencaharian yang tetap untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Dalam mencukupi kebutuhannya, mereka hanya mengandalkan hasil dari
berburu, mnecari makanan di hutan, memancing dan lain sebagainya. Di bidang
pertanian, mereka belum mengenal produksi skala besar, sebalinya mereka hanya
menanam untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (subsisten).
4. Kondisi
sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif
rendah,
karena kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Bahkan anak anak di
papua yang berada di pedalaman, mereka lebih suka untuk membantu orang tuanya
bekerja daripada pergi kesekolah. Dalam bidang kesehatan tidak kalah
memprihatinkan, kondisi tempat tinggal mereka serta cara berpakaian mereka
sangatlah berpotensi mnyebabkan mereka sangat mudah untuk terkena penyakit
seperti, diare, ispa, HIV/ AIDS, dan penyakit lainnya, hal tersebut diperparah
dengan jauhnya pusat pusat kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dari
lokasi pemukiman penduduk, hal ini yang menyebabkan kurang cepatnya penanganan
kesehatan di wilayah papua.
5.
Kurangnya pemahaman masyarakat di luar papua mengenai
konflik atau perang suku yang terjadi di papua. Masyarakat papua pada umumnya
sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi mereka. Misalnya saja,
ketika suku mreka mengalami permasalahan dengan suku lain, mereka memilih
perang dengan suku yang bersangkautan. Karena, menurut mereka perang merupakan
salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang menimpa mereka dan suku
mereka. Akan tetapi, bagi orang awam hal tersebut merupakan salah satu bentuk
keterbelakangan yang dimiliki oleh penduduk papua, dengan adanya pemahaman
tersebut, yang ada hanyalah persepsi persepsi negatif yang ada dalam masyarakat
papua, masyarakat di luar papua yang antusias ingin mengubah papua menjadi
lebih modern menjadi enggan untuk ke papua karea alasan takut akan konflik suku
tersebut. Padahal konflik yang terjadi di masyarakat papua baik konflik
berbentuk perang suku atau kerusuhan, tidaklah murni dari masyarakat Papua itu
sendiri, melainkan ada aroma politik di dalamnya yang menyebabkan konflik
tersebut kian lama kian membesar, dan tidak ditemukan akar permasalahannya.
6.
Pengembangan
perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya
wawasan berfikir rakyat maupun juga penyadaran pada masyarakat, masyarakat papua pada umumnya sudah sadar dalam hal
perdagangan, akan tetapi, wawasan mereka masih sangat sangkal dalam hal
kompetisi dan persaingan dalam perdagangan, oelh karena itu, mereka dapat
dengan mudah dimonopoli oleh pedagang pedagang di luar papua untuk meraup
keuntungan pribadi. termasuk juga karena kurangnya insfrastruktur
perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh di daerah pedalaman,
terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi dilakukan melalui udara, sebab topografi di papua mayoritas didominasi oleh
lembah dan rangkaian pegunungan sehingga tidak dimungkinkan menempuh jalan
darat. Tersedianya
pembangunan jalan trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama
mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan
jasa.
7.
Adanya dukungan pihak luar ( negara asing, dalam
bentuk politik) yang menginginkan kemerdekaan papua. Tidak dapat dipungkiri
bahwa papua merupakan tanah yang kaya akan sumber daya alam dan mineralnya. Hal
itulah yang mendorong siapa saja untuk berusaha menguasai dengan menggunakan
segala cara, termasuk mendukung papua merdeka. Oleh karena itu, di papua sering
terjadi konflik yang dapat berujung pada disintergrasi bangsa.
Memang,
pembangunan di papua tidak berjalan semudah rencana dan prediksi pemerintah
Indonesia. banyak sekali kontradiksi kontradiksi yang muncul bersamaan dengan
dimulainya pembangunan di wilayah Papua tersebut. Apalagi dengan
diberlakukannya UU No: 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus papua (otsus).
Tujuan dari peraturan tersebut memang bertujuan untuk mengubah papua menjadi
daerah yang mandiri, maju serta modern, akan tetapi, perlu di garis bawahi juga
bahwa otonomi khusus yang digencarkan oleh pemerintah tersebut tidak saja
dimaksudkan untuk oran asli Papua itu saja, melainkan orang dari wilayah papua
yang tinggal dan menetap di papua. Dengan kata lain, bahwa masyarakat atau
penduduk di papua tersebut bukan merupakan subyek dari pembangunan tapi
melainkan obyek dari pembangunan itu sendiri. Akibatnya otonomi tersebut tidak
berjalan sesuai rencana karena hanya didominasi oleh orang orang di luar papua.
Hal tersebut tetntunya juga mendorong orang orang asli Papua untuk berperilaku
seperti itu demi mengejar keuntungan dan mengesampingkan urusan masyarakatnya
sendiri seperti, kesejahteraan, kesahata, pendidikan dan pelayanan lainnya.
maka tidak heran bahwa yang tampak dari pembangunan di Papua tersebut adalah
kegagalan karena masyarakat tidak puas terhadap kondisi yang dialami saat ini.
Sehingga
dapat kita simpulkan bahwa kegagalan pembangunan di papua dari segi budaya
tidak disebabkan dari kondisi budaya masyarakat papua itu sendiri melaikan
adanya budaya asing yang masuk dan merubah kondisi msyarakat papua menjadi
seperti itu, terasing, tertinggal dan terisolasi.
Ketertinggalan
papua dari segi politik
Jika kita melihat kembali akar
permasalahan pembangunan
di papua maka erat kaitannya dengan masalah kemerdekaan, baik persoalan
kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan,
Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). Kedua persoalan ini
menjadi penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama 40 tahun sejak berintegrasi. Persoalan
kemerdekaan politik (trauma historisme), Konflik politik di Papua ini bermula dari sejarah kolonialisme.
Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika
hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia. Integrasi politik atas
wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim
Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi
dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa demi
kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional yang tidak simpatik di lubuk hati orang
Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari
setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek
dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak
menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun
1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan
deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu persetujuan politik
tahun 1969 yang disebut PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) , dilaksanakan dibawah tekanan
Indonesia, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan
Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional
(one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa
penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi,
geografis dan peradabaan hidup primitif, hal ini merupakan pengingkaran
terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514
(XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus
diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik,
ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa.
Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, munculh ancaman serius dari kelompok
yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai
memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam
kubangan hegemoni korporatisme negara, rakyat diintimidasi,
dipaksa tandatangani, diinstruksi, tidak boleh ini harus begitu dan seterusnya
dan seterusnya, praktik teror oleh pihak pihak misterius
agar menerima, menghormati, taat dan tunduk pada simbol-simbol
negara-kebangsaan (nation-state). Rakyat diliputi rasa ketakutan totaliter.
Karena itulah sepanjang berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui
berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya
ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang
merupakan bagian integral dari sistem politik bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang
bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari
trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua terhadap pemerintah
negara-kebangsan Indonesia.
Hal
yang paling memperihatinkan lagi yaitu, orang orang papua yang menjadi pejabat
di pemerintahan, juga bertndak korup, mereka dengan senagnya mengambil alih
dana dana pendidikan atau pembangunan demi kentungan dan kekayaan pribadi.
Selain itu, banyak juga aparat penegak hukum seperti POLRI dan TNI AD yang
berfungsi sebagai “pelancar” beberapa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha
pengusaha yang ingimn mengeksploitasi sumber daya papua tanpa persetujuan
masyarakat papua itu sendiri, para oknum penegak hukum tersebut tidak lagi
berfungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, melainkan musuh dari
masyrakat itu sendiri. Masyarakat yang tak bersalah kerap di intimidasi bahkan
di aniaya gara gara tidak setuju dengan perilku para anggota TNI maupun polri
tersebut. Kondisi kondisi seperti ini pada akhirnya hanya akan merugikan warga
papua itu sendiri, masyarakat papua menjadi pasif terhadap pembangunan, tetapi
sangat kritis. Oleh karena itu, sangatlah mudah muncul konflik antar
masyarakat, yang sebenarnya berlatarbelkang kepentingan para pejabat yang ingin
meraup keuntungan pribadi. Jika hal tersebut tidak segera dibenahi, maka lambat
laun, konflik konflik yang tercipta akn menjurus kea rah disintergrasi bangsa.
Yang sebenarnya sudah tampak sekarang ini.
Kegagalan
pembangunan tersebut juga tidak lepas dari salahnya pendekatan dalam proses
pembangunan itu sendiri, pembangunan tersebut intinya hanyalah pemaksaan kehendak pembangunan kepada
rakyat agar diterima dan dilaksaanakan dengan dalil ditumbuhkan dan
ditingkatkan taraf hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan untuk tumbuh dan
berkembang sendiri. Akibatnya masyarakat tenggelam dalam harapan tulus tanpa realita.
Seharusnya, pembinaan sumber
daya manusia terutama Papua bukanlah persoalan memberi pendidikan, meningkatkan
ketrampilan serta membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bahkan sekedar tahu membaca dan menulis serta bebas dari penyakit dan kelaparan
dan penciptaan suasana lingkungan hidup yang kondusif baik dalam pengertian
sosial, ekonomi dan politik. Tetapi yang mereka harapkan adalah: Pertama,
Mandiri, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, maupun menolong dirinya
sendiri dan melihat jauh ke depan, dan menjadikan mereka menjadi pelaku
pembangunan; Kedua, Kenyataan menujukkan bahwa diskriminasi
penduduk lokal oleh mereka yang dianggap telah maju, menyebutnya orang koteka,
orang hitam, orang asli, orang primitif. Kesalahan pemahaman ini dapat
mengiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam memahami masyarakat tersebut.
Oleh karena itu,
walaupun pola pikir masyarakat
yang
dianggap primitif ini
memang lain dengan alam pikiran masyarakat modern. Namun akhirnya dalam setiap
manusia dan semua pola sosial baik modern atau primitif akan kita temukan
garis-garis yang sama dan susunan-susunan yang sama pula dalam perjalanan hidup bermasyarakat.
Kondisi
papua seharusnya dalam persepsi mahasiswa dalam sosiologi pembangunan.
Sebelum
berbicara jauh mengenai papua, terlebih dulu kita melihat bagaimana sebenarnya
papua tersebut. Papua sebenarnya lebih mirip seperti secarik kertas putih yang
masih bersih, suatu ketika kertas tersebut terdapat coretan, tulisan dsb yang
membuat kertas tersebut didak tampak warna putihnya. Persoalanya bagaimana
membuat kertas tersebut kembali putih tanpa ada coretan sedikitpun. Kenyataanya
kita tidak mungkin dapat menghilangkan coretan tersebut, pasti ada bekasnya.
Kita hanya dapat membersihkan coretan atau tulisan yang tidak perlu ada dalam
kertas tersebut dan menyisakan yang perlu saja, agar kertas tersebut terkesan
memiliki makna atau tujuan.
Itulah
yang sebenarnya yang dialami oleh Papua. otonomi khusus yang diharapkan dapat
membangun papua menjadi modern dan maju, malah menjadikan papua sebagai arena
konflik yang berlandaskan kepentingan sebagian kelompok demi keuntungan,
mengingat papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber alam dan mineralnya
membuat siapa saja tergiur untuk menguasainya. Sedangkan di lain pihak,
masyakarat papua yang sedianya menjadi actor utama, kini hanyalah sebagai
figuran saja, melihat pementasan politk di tanahnya sendiri.
Masyarakat yang
seharusnya dapat menjadi penggerak perekonomian di wilayahnya sendiri, hanyalah
menjadi obyek untuk dieksploitasi, terisolasi dan termarginalkan oleh
primodialisme yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya paling maju.
Yang parahnya lagi, bahwa sebagian dari warga papua adalah penyumbang dari
bobroknya kondisi masyarakat papua itu sendiri. Masyarakat yang sebelumnya
belum memiliki kualitas yang memadai, dipaksa untuk mengikuti modernisasi yang
sebelumnya belum pernah mereka dengar. Akibatnya jelas, mereka langsung hanyut
saja dalam kedaaan yang mereka pikir dapat membawa mereka menjauh dari kesan
primitive, tapi sebaliknya malah lebih buruk. Kondisi demikian tidak dapat
merubah masyarakat papua menjadi masyarakat yang otonom( mandiri), tapi
sebaliknya mereka malah semakin tergantung dari suntikan dana pemerintah guna
menjalankan perekonomian. Di samping itu, para pejabat mereka yang korup
semakin memperumit kondisi masyarakat papua sejak dulu sampai saat ini.
Agar
tidak terjadi hal hal yang lebih parah, sebaiknya kebijakan kebijakan yang
telah dibuat harus di revisi dan di klarifikasi kembali, karena, kebijakan
tersebut, pada kenyataanya hanya berpihak kepada para oknum yang ingin meraup
untung sendiri. Di samping itu, bahwa peran orang luar (bukan orang papua)
harus dibatasi dalam pembangunan sebab, dapat merugikan masyarakat papua
sendiri, mengingat masyarakat papua belum sepenuhnya paham mengenai persaingan.
Dalam penyelenggaran daerah, masyarakat lokal lah yang harus diberi kebebasan
dan wewenang dalam pembangunan, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai motivator
dari pembangunan tersebut. Jika hal tersebut dapat berjalan dengan baik, maka
papua akan berubah menjadi daerah yang otonom, mandiri dan memiliki daya saing
terhadap wilayah lain dan tidak tergantung kepada daerah lainnya. kalangan
akademis juga harus berperan aktif dalam mebentuk moral serta pola pikir
masyarakat papua agar, tidak terbelakang lagi. Selai itu, peran lembaga lembaga
agama juga penting demi menjaga keselarasan antar masyarakat, baik yang berbeda
etnis/ agama maupun yang memiliki kepercayaan sama.
Dalam menyikapi masyarakat
yang masih berkualitas rendah, seperti papua harus di gunakan pendekatan
pendekatan yang benar dalam proses pembangunan di wilayah papua tersebut.
Karena ditakutkan, jika pendekatan tersebut keliru, maka berakibat masyarakat
tidak dapat mempercayai bahkan acuh terhadap program pembangunan tersebut.
Masyarakat juga harus mau untuk membuka diri terhadap peradaban modern, demi
mewujudkan papua yang lebih baik. Karena, jika dua hal tersebut selalu
kontradiksi, maka program program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah tidak
dapat berjalan secara efektif. Serta yang tidak kalah penting yaitu, pembenahan
sistem birokrasi yang sudah berjalan, agar tidak merugikan masyarakat itu
sendiri. Pada intinya, untuk dapat mewujudkan masyarakat papua menjadi lebih
maju, maka yang berperan tidak hanya pemerintah pusat maupun propinsi saja,
tetapi yang leibh penting adalah peran serta para masyarakat, terutama dari
kalangan akademis seperti mahasiswa, sebab mahasiswa meurpakan agent of change
yang dapat memberi dan melakukan inovasi terhadap perkembangan pembangunan di
papua.
Daftar
Pustaka
1.
Astrid, Prof,
Dr. dan S. Sunario. 1994. Pembangunan
Masyarakat Pedesaan, Suatu Analisis Masyarakat Wamena Irian Jaya. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
2.
Drooglever, P.
J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas Orang
Papua dan Penetuan Nasib Sendiri. Jakarta: Kanisius
3.
Lubis, Mochtar.
1993. Budaya Masyarakat dan Manusia
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
4.
Ndraha
Taliziduhu Dr. 1990. Pembangunan
Masyarakat, Mempersiapkan Masayrakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta.
5.
Nordholt Henk, S
dkk. 2007. Politik Lokal di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
6.
Sedyawati, Edi.
2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi
Seni dan Sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
0 komentar:
Posting Komentar