Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Proses Ketertinggalan Papua Dari Kacamata Budaya dan Politik




            Seperti yang telah kita ketahui bahwa negara Indonesia dalam menjalankan sistem pembangunannya telah lama memakai sistem desentralisasi, karena diharapkan pembangunan dapat berjalan secara lancar di seluruh wilayah di Indonesia. sistem desentralisasi sendiri memiliki makna, bahwa kendali dari sistem pemerintahan dan pembangunan tidak langsung di handle oleh pemerintahan pusat, melainkan kekuasaan dan wewenang tersebut diturunkan dan di bagi ke wilayah wilayah agar pembangunan di daerah lebih merata persebarannya. Dengan adanya sistem desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah, darah daerah di tuntut untuk dapat mengembangkan sendiri daerahnya sesuai kondisi dan potensi yang dimiliki oleh daerah tersebut. Untuk itu, diberlakukannya Otonomi Daerah. Dengan adanya otoda, wilayah wilayah di Indonesia diharapkan akan menjadi wilayah wilayah mandiri yang dapat menyumbang devisa bagi negaranya sendiri. Akan tetapi, fakta dilapangan sungguh sangat berbeda dari apa yang diharapkan oleh pemerintah. Wilayah wilayah di Indonesia yang berupa pulau pulau menyebabkan sulitnya pemerataan pembangunan, terutama di daerah kawasan timur Indodnesia. Selain itu, kondisi sumber daya manusia yang dimiliki oleh setiap daerah cenderung berbeda antara satu daerah dengan daaerah lainnya. oleh karena itu daerah daearah yang belum memiliki sumber daya manusia yang memadai memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Sehingga dapat kita ketahui bahwa pelaksanaan otoda di Indonesia belum berjalan sesuai harapan, bahkan sangat jauh dari harapan.  
                                     

 Di Indonesia pembangunan yang sangat pesat hanyalah di daerah jawa, karena jawa merupakan pusat pemerintahan dan perekonomian sedangakan di wilayah lainnya belum secepat di pulau jawa. Misalnya saja Papua. Jika dilihat, Papua merupakan pulau yang lebih besar dari pulau Jawa, kandungan sumber daya alam yang dimiliki oleh Papua, juga jauh lebih besar di bandingkan dengan pulau Jawa. Namun, mengapa papua masih sangat sulit untuk berkembang menjadi wilayah yang modern seperti di Jawa, Kalimantan atau Sumatra. Membahas tentang ketertinggalan papua, kita dapat menganalisisnya melalui dua sudut pandang, yaitu sudut pandang budaya dan sudut pandang politik.
Ketertinggalan papua dari segi budaya.
            Papua merupakan wilayah Indonesia yang berada paling timur dan berbatasan dengan Papua New Guinea. Luas wilayah Papua adalah 421.981 KM2 (3,5 kali lebih besar dari pada Pulau Jawa) dengan topografi yang meliputi daerah pegunungan dan sebagian besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasan dengan: Laut Halmahera dan Samudra Pasifik di utara, Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua New Guinea disebelah timur, dan Laut Arafura, Laut banda dan Maluku di sebelah barat. Total penduduk Papua adalah sekitar 2.576.822 jiwa, yang hanyalah 1% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, di mana 70% tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerah pegunungan yang terpencil. Berdasarkan sensus pada tahun 2000, populasi terpadat ada di dataran tinggi di Kabupaten Jayawijaya sebanyak 417.326 jiwa. Total penduduk asli, yang kaya akan kebudayaan, diperkirakan sekitar 66% dari keseluruhan jumlah penduduk. Penelitian di bidang Antropologi mengkategorikan tujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua: (1) Saireri, (2) Doberai, (3) Bomberai, (4) Ha-Anim, (5) Tabi, (6) Lano-Pago, and (7) Me-Pago. Ada lebih dari 250 kelompok etnis dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasa-bahasa, praktek-praktek dan agama/ kepercayaan asli yang berbeda di Papua. Ini berarti, ada ratusan norma adat yang berlaku di dalam propinsi ini. Ditambah lagi, ada 100 kelompok etnis non-Papua.                                                                            
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa pembangunan di papua merupakan tantangan terberat dari pemerintah Indonesia. secara etno biologis, penduduk/ etnis di papua merupakan suku bangsa yang memiliki pertalian etnis tersendiri yang berbeda dari suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia. selain itu, letak papua yang berada di ujung timur kepulauan Indonesia menyebabakan kondisi penduduk yang terisolasi, hidup di tengah keterasingan, dan jauh dari kontak  kemajuan dan modernisasi. Fakta menunjukkan bahwa situasi dan kondisi yang kurang kondusif tersebut membuat masyarakat papua solah olah mereka pemilik dari keterisolasian dan kemiskinan. Pada saat ini juga masih dapat kita jumpai sebagaian penduduk Papua yang berpakaian sederhana, yang menurut mereka yang dirinya maju disebut primitf. Dari segi budaya ada beberapa factor yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan di Papua, antara lain yaitu:
1.      Papua merupakan salah satu daerah terpencil di Indonesia, memiliki laut dan Pantai, memiliki topografi yang kasar, memiliki iklim tropis basah yang puncak pegunungannya selalu ditutupi salju abadi. Kondisi yang sedemikian rupa menyebabkan sulitnya mobilisasi dari satu daerah ke daerah lainnya.
2.      Jumlah penduduknya kurang banyak yakni 1 % dari penduduk Indonesia. Di tahun 1969 jumlah penduduk Papua sebanyak 800.000 dan di tahun 2007 jumlah penduduk asli Papua sebanyak 1,6 juta jiwa. Artinya kurang lebih 40 tahun mengalami petumbuhan penduduk minimal (minimizing zero growth). Mereka bermukim terpencar dan terpencil di lereng-lereng gunung, lembah-lembah serta celah-celah gunung yang sulit di jangkau bahkan jauh dari pusat-pusat pelayanan pemerintah. Di samping itu, penduduk di papua mayoritas merupakan penduduk suku yang sangat terikat oleh adat istiadat dan tradisi mereka. Oleh karena itu merek sangat sulit untuk mengembangkan kualitas diri mereka. Banyak dari mereka yang masih berpikiran tradisional dan enggan untuk menjamah modernitas.
3.      Kondisi sosial ekonomi mereka sangat memprihatinkan yakni kondisi perumahan sangat darurat hidup dalam honai/ owa (rumah adat papua), pola konsumsi mereka sangat tidak teratur, mereka mayoritas  belum memiliki mata pencaharian yang tetap untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dalam mencukupi kebutuhannya, mereka hanya mengandalkan hasil dari berburu, mnecari makanan di hutan, memancing dan lain sebagainya. Di bidang pertanian, mereka belum mengenal produksi skala besar, sebalinya mereka hanya menanam untuk mencukupi kebutuhannya sendiri (subsisten).
4.  Kondisi sosial masyarakat pada umumnya masih sederhana, tingkat pendidikan relatif rendah, karena kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Bahkan anak anak di papua yang berada di pedalaman, mereka lebih suka untuk membantu orang tuanya bekerja daripada pergi kesekolah. Dalam bidang kesehatan tidak kalah memprihatinkan, kondisi tempat tinggal mereka serta cara berpakaian mereka sangatlah berpotensi mnyebabkan mereka sangat mudah untuk terkena penyakit seperti, diare, ispa, HIV/ AIDS, dan penyakit lainnya, hal tersebut diperparah dengan jauhnya pusat pusat kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit dari lokasi pemukiman penduduk, hal ini yang menyebabkan kurang cepatnya penanganan kesehatan di wilayah papua.
5.      Kurangnya pemahaman masyarakat di luar papua mengenai konflik atau perang suku yang terjadi di papua. Masyarakat papua pada umumnya sangat menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi mereka. Misalnya saja, ketika suku mreka mengalami permasalahan dengan suku lain, mereka memilih perang dengan suku yang bersangkautan. Karena, menurut mereka perang merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan masalah yang menimpa mereka dan suku mereka. Akan tetapi, bagi orang awam hal tersebut merupakan salah satu bentuk keterbelakangan yang dimiliki oleh penduduk papua, dengan adanya pemahaman tersebut, yang ada hanyalah persepsi persepsi negatif yang ada dalam masyarakat papua, masyarakat di luar papua yang antusias ingin mengubah papua menjadi lebih modern menjadi enggan untuk ke papua karea alasan takut akan konflik suku tersebut. Padahal konflik yang terjadi di masyarakat papua baik konflik berbentuk perang suku atau kerusuhan, tidaklah murni dari masyarakat Papua itu sendiri, melainkan ada aroma politik di dalamnya yang menyebabkan konflik tersebut kian lama kian membesar, dan tidak ditemukan akar permasalahannya.
6.      Pengembangan perekonomian rakyat di daerah ini umumnya belum maksimal, karena kurangnya wawasan berfikir rakyat maupun juga penyadaran pada masyarakat, masyarakat papua pada umumnya sudah sadar dalam hal perdagangan, akan tetapi, wawasan mereka masih sangat sangkal dalam hal kompetisi dan persaingan dalam perdagangan, oelh karena itu, mereka dapat dengan mudah dimonopoli oleh pedagang pedagang di luar papua untuk meraup keuntungan pribadi.  termasuk juga karena kurangnya insfrastruktur perhubungan darat dan udara disamping letaknya sangat jauh di daerah pedalaman, terisolir dan terpencil. Seluruh jaringan transportasi dilakukan melalui udara, sebab topografi di papua mayoritas didominasi oleh lembah dan rangkaian pegunungan sehingga tidak dimungkinkan menempuh jalan darat. Tersedianya pembangunan jalan trans Papua belum memberi dampak yang positif, terutama mobilisasi penduduk baik urbanisasi maupun reurbanisasi, mobilitas barang dan jasa.
7.      Adanya dukungan pihak luar ( negara asing, dalam bentuk politik) yang menginginkan kemerdekaan papua. Tidak dapat dipungkiri bahwa papua merupakan tanah yang kaya akan sumber daya alam dan mineralnya. Hal itulah yang mendorong siapa saja untuk berusaha menguasai dengan menggunakan segala cara, termasuk mendukung papua merdeka. Oleh karena itu, di papua sering terjadi konflik yang dapat berujung pada disintergrasi bangsa.
            
 Memang, pembangunan di papua tidak berjalan semudah rencana dan prediksi pemerintah Indonesia. banyak sekali kontradiksi kontradiksi yang muncul bersamaan dengan dimulainya pembangunan di wilayah Papua tersebut. Apalagi dengan diberlakukannya UU No: 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus papua (otsus). Tujuan dari peraturan tersebut memang bertujuan untuk mengubah papua menjadi daerah yang mandiri, maju serta modern, akan tetapi, perlu di garis bawahi juga bahwa otonomi khusus yang digencarkan oleh pemerintah tersebut tidak saja dimaksudkan untuk oran asli Papua itu saja, melainkan orang dari wilayah papua yang tinggal dan menetap di papua. Dengan kata lain, bahwa masyarakat atau penduduk di papua tersebut bukan merupakan subyek dari pembangunan tapi melainkan obyek dari pembangunan itu sendiri. Akibatnya otonomi tersebut tidak berjalan sesuai rencana karena hanya didominasi oleh orang orang di luar papua. Hal tersebut tetntunya juga mendorong orang orang asli Papua untuk berperilaku seperti itu demi mengejar keuntungan dan mengesampingkan urusan masyarakatnya sendiri seperti, kesejahteraan, kesahata, pendidikan dan pelayanan lainnya. maka tidak heran bahwa yang tampak dari pembangunan di Papua tersebut adalah kegagalan karena masyarakat tidak puas terhadap kondisi yang dialami saat ini.                                      
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kegagalan pembangunan di papua dari segi budaya tidak disebabkan dari kondisi budaya masyarakat papua itu sendiri melaikan adanya budaya asing yang masuk dan merubah kondisi msyarakat papua menjadi seperti itu, terasing, tertinggal dan terisolasi.

Ketertinggalan papua dari segi politik

            Jika kita melihat kembali akar permasalahan pembangunan di papua maka erat kaitannya dengan masalah kemerdekaan, baik persoalan kemerdekaan secara politis maupun juga merdeka dari 5 K (Kemiskinan, Kebodohan, Keterbelakangan, Ketelanjangan dan Kemerosotan moral). Kedua persoalan ini menjadi penyebab utama kegagalan pembangunan di Papua selama 40 tahun sejak berintegrasi. Persoalan kemerdekaan politik (trauma historisme), Konflik politik di Papua ini bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia. Integrasi politik atas wilayah ini hingga kini masih belum mantap. Hal ini disebabkan karena klaim Indonesia dan Belanda baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa  demi kepentingan pembendungan ideologi komunisme internasional yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Tidak pernah melibatkan rakyat Papua dalam proses integrasi politik, dari setiap perundingan rakyat Papua bertindak sebagai objek, bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi pelanggaran terhadap hak menetukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No 1541 (XV)) tahun 1960, dimana pada waktu yang bersamaan di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu persetujuan politik tahun 1969 yang disebut PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) , dilaksanakan dibawah tekanan Indonesia, termasuk pelaksanaan dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila yakni musyawarah mufakat yang berbeda dengan standar internasional (one man one vote) sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup primitif, hal ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri sehingga alasan dengan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan itu, munculh ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni korporatisme negara, rakyat diintimidasi, dipaksa tandatangani, diinstruksi, tidak boleh ini harus begitu dan seterusnya dan seterusnya, praktik teror oleh pihak pihak misterius agar menerima, menghormati, taat dan tunduk pada simbol-simbol negara-kebangsaan (nation-state). Rakyat diliputi rasa ketakutan totaliter. Karena itulah sepanjang berintegrasi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan, pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan yang semuanya ini objek/sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua) yang merupakan bagian integral dari sistem politik  bangsa Indonesia, orang sawo matang, orang bule. Hal ini merupakan ekspresi rasa kekecewaan dan ungkapan kebencian dari trauma historisme daan sejarah penderitaan bangsa Papua terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia.                                                                              

Hal yang paling memperihatinkan lagi yaitu, orang orang papua yang menjadi pejabat di pemerintahan, juga bertndak korup, mereka dengan senagnya mengambil alih dana dana pendidikan atau pembangunan demi kentungan dan kekayaan pribadi. Selain itu, banyak juga aparat penegak hukum seperti POLRI dan TNI AD yang berfungsi sebagai “pelancar” beberapa bisnis yang dilakukan oleh pengusaha pengusaha yang ingimn mengeksploitasi sumber daya papua tanpa persetujuan masyarakat papua itu sendiri, para oknum penegak hukum tersebut tidak lagi berfungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, melainkan musuh dari masyrakat itu sendiri. Masyarakat yang tak bersalah kerap di intimidasi bahkan di aniaya gara gara tidak setuju dengan perilku para anggota TNI maupun polri tersebut. Kondisi kondisi seperti ini pada akhirnya hanya akan merugikan warga papua itu sendiri, masyarakat papua menjadi pasif terhadap pembangunan, tetapi sangat kritis. Oleh karena itu, sangatlah mudah muncul konflik antar masyarakat, yang sebenarnya berlatarbelkang kepentingan para pejabat yang ingin meraup keuntungan pribadi. Jika hal tersebut tidak segera dibenahi, maka lambat laun, konflik konflik yang tercipta akn menjurus kea rah disintergrasi bangsa. Yang sebenarnya sudah tampak sekarang ini.                                                                                                                                    
Kegagalan pembangunan tersebut juga tidak lepas dari salahnya pendekatan dalam proses pembangunan itu sendiri, pembangunan tersebut intinya hanyalah pemaksaan kehendak pembangunan kepada rakyat agar diterima dan dilaksaanakan dengan dalil ditumbuhkan dan ditingkatkan taraf hidup masyarakat tanpa menciptakan keadaan untuk tumbuh dan berkembang sendiri. Akibatnya masyarakat tenggelam dalam harapan tulus tanpa realita. Seharusnya, pembinaan sumber daya manusia terutama Papua bukanlah persoalan memberi pendidikan, meningkatkan ketrampilan serta membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan sekedar tahu membaca dan menulis serta bebas dari penyakit dan kelaparan dan penciptaan suasana lingkungan hidup yang kondusif baik dalam pengertian sosial, ekonomi dan politik. Tetapi yang mereka harapkan adalah: Pertama, Mandiri, menjunjung tinggi martabat dan harga diri, maupun menolong dirinya sendiri dan melihat jauh ke depan, dan menjadikan mereka menjadi pelaku pembangunan; Kedua, Kenyataan menujukkan bahwa diskriminasi penduduk lokal oleh mereka yang dianggap telah maju, menyebutnya orang koteka, orang hitam, orang asli, orang primitif. Kesalahan pemahaman ini dapat mengiring pikiran kita ke arah yang keliru dalam memahami masyarakat tersebut. Oleh karena itu, walaupun pola pikir masyarakat yang dianggap primitif ini memang lain dengan alam pikiran masyarakat modern. Namun akhirnya dalam setiap manusia dan semua pola sosial baik modern atau primitif akan kita temukan garis-garis yang sama dan susunan-susunan yang sama pula dalam perjalanan hidup bermasyarakat.

Kondisi papua seharusnya dalam persepsi mahasiswa dalam sosiologi pembangunan.
            Sebelum berbicara jauh mengenai papua, terlebih dulu kita melihat bagaimana sebenarnya papua tersebut. Papua sebenarnya lebih mirip seperti secarik kertas putih yang masih bersih, suatu ketika kertas tersebut terdapat coretan, tulisan dsb yang membuat kertas tersebut didak tampak warna putihnya. Persoalanya bagaimana membuat kertas tersebut kembali putih tanpa ada coretan sedikitpun. Kenyataanya kita tidak mungkin dapat menghilangkan coretan tersebut, pasti ada bekasnya. Kita hanya dapat membersihkan coretan atau tulisan yang tidak perlu ada dalam kertas tersebut dan menyisakan yang perlu saja, agar kertas tersebut terkesan memiliki makna atau tujuan.                                                                                                              
Itulah yang sebenarnya yang dialami oleh Papua. otonomi khusus yang diharapkan dapat membangun papua menjadi modern dan maju, malah menjadikan papua sebagai arena konflik yang berlandaskan kepentingan sebagian kelompok demi keuntungan, mengingat papua merupakan wilayah yang kaya akan sumber alam dan mineralnya membuat siapa saja tergiur untuk menguasainya. Sedangkan di lain pihak, masyakarat papua yang sedianya menjadi actor utama, kini hanyalah sebagai figuran saja, melihat pementasan politk di tanahnya sendiri. 

Masyarakat yang seharusnya dapat menjadi penggerak perekonomian di wilayahnya sendiri, hanyalah menjadi obyek untuk dieksploitasi, terisolasi dan termarginalkan oleh primodialisme yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya paling maju. Yang parahnya lagi, bahwa sebagian dari warga papua adalah penyumbang dari bobroknya kondisi masyarakat papua itu sendiri. Masyarakat yang sebelumnya belum memiliki kualitas yang memadai, dipaksa untuk mengikuti modernisasi yang sebelumnya belum pernah mereka dengar. Akibatnya jelas, mereka langsung hanyut saja dalam kedaaan yang mereka pikir dapat membawa mereka menjauh dari kesan primitive, tapi sebaliknya malah lebih buruk. Kondisi demikian tidak dapat merubah masyarakat papua menjadi masyarakat yang otonom( mandiri), tapi sebaliknya mereka malah semakin tergantung dari suntikan dana pemerintah guna menjalankan perekonomian. Di samping itu, para pejabat mereka yang korup semakin memperumit kondisi masyarakat papua sejak dulu sampai saat ini.                                                   
 Agar tidak terjadi hal hal yang lebih parah, sebaiknya kebijakan kebijakan yang telah dibuat harus di revisi dan di klarifikasi kembali, karena, kebijakan tersebut, pada kenyataanya hanya berpihak kepada para oknum yang ingin meraup untung sendiri. Di samping itu, bahwa peran orang luar (bukan orang papua) harus dibatasi dalam pembangunan sebab, dapat merugikan masyarakat papua sendiri, mengingat masyarakat papua belum sepenuhnya paham mengenai persaingan. Dalam penyelenggaran daerah, masyarakat lokal lah yang harus diberi kebebasan dan wewenang dalam pembangunan, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai motivator dari pembangunan tersebut. Jika hal tersebut dapat berjalan dengan baik, maka papua akan berubah menjadi daerah yang otonom, mandiri dan memiliki daya saing terhadap wilayah lain dan tidak tergantung kepada daerah lainnya. kalangan akademis juga harus berperan aktif dalam mebentuk moral serta pola pikir masyarakat papua agar, tidak terbelakang lagi. Selai itu, peran lembaga lembaga agama juga penting demi menjaga keselarasan antar masyarakat, baik yang berbeda etnis/ agama maupun yang memiliki kepercayaan sama. 

Dalam menyikapi masyarakat yang masih berkualitas rendah, seperti papua harus di gunakan pendekatan pendekatan yang benar dalam proses pembangunan di wilayah papua tersebut. Karena ditakutkan, jika pendekatan tersebut keliru, maka berakibat masyarakat tidak dapat mempercayai bahkan acuh terhadap program pembangunan tersebut. Masyarakat juga harus mau untuk membuka diri terhadap peradaban modern, demi mewujudkan papua yang lebih baik. Karena, jika dua hal tersebut selalu kontradiksi, maka program program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat berjalan secara efektif. Serta yang tidak kalah penting yaitu, pembenahan sistem birokrasi yang sudah berjalan, agar tidak merugikan masyarakat itu sendiri. Pada intinya, untuk dapat mewujudkan masyarakat papua menjadi lebih maju, maka yang berperan tidak hanya pemerintah pusat maupun propinsi saja, tetapi yang leibh penting adalah peran serta para masyarakat, terutama dari kalangan akademis seperti mahasiswa, sebab mahasiswa meurpakan agent of change yang dapat memberi dan melakukan inovasi terhadap perkembangan pembangunan di papua.



















Daftar Pustaka
1.      Astrid, Prof, Dr. dan S. Sunario. 1994. Pembangunan Masyarakat Pedesaan, Suatu Analisis Masyarakat Wamena Irian Jaya. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
2.      Drooglever, P. J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas Orang Papua dan Penetuan Nasib Sendiri. Jakarta: Kanisius
3.      Lubis, Mochtar. 1993. Budaya Masyarakat dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
4.      Ndraha Taliziduhu Dr. 1990. Pembangunan Masyarakat, Mempersiapkan Masayrakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta.
5.      Nordholt Henk, S dkk. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
6.      Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi Seni dan Sejarah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

0 komentar:

Posting Komentar