Terkadang
memahami sesuatu tidaklah cukup jika hanya memakai akal sehat maupun pikiran.
Di sisi lain, tidak akan cukup kita merasakan sesuatu hanya dengan menggunakan
hati nurani serta naluri. Manusia memang dikaruniai keduanya, hal itulah
mengapa yang kemudian membedakaannya dari mahkluk mahkluk lain ciptaan Allah
SWT. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini hanya sebagian kecil saja yang
dapat menyeimbangkan fungsi antara keduanya. Sehingga dapat diartikan ketika
seseorang memahami atau merasakan sesuatu mereka tidak menggunakan hati dan
pikiran mereka, akan tetapi mereka hanya menggunakan salah satu diantaranya. Oleh
sebab itu, tak heran ketika manusia di sebut sebut sebagai mahkluk yang
sempurna pada kenyataannya sangat jauh dari istilah tersebut. di samping itu,
manusia yang hakikatnya sebagai mahkluk yang sempurna kini telah banyak
menimbulkan kerusakan kerusakan dan berbagai jenis dosa dosa yang sebenarnya
tidak pernah sekalipun mereka harapkan.
Yahh…..namun
itulah manusia, tanpa dosa mereka tidak akan dapat menyandang gelar manusia,
hehehehehe…….. . okee, tulisan saya kali ini terinspirasi oleh kejadian kuliah
tadi pagi. Seperti biasa di senin pagi saya memulai kegiatan dengan mengikuti
kuliah sosiologi agama. Sekilas tidak ada yang aneh dengan mata kuliah ini,
begitu juga dengan dosen maupun para mahasiswanya. Perkuliahan pagi itu, di
mulai dengan beberapa anak sedang mempresentasikan tentang teori teori yang
kelak digunakan sebagai pisau analisis khusunya terhadap fenomena fenomena yang
berkaitan dengan agama. Pada awalnya saya sempat ragu dalam mengikuti kuliah
ini, karena saya menilai bahwa antara sosiologi dan agama merupakan dua hal
yang sangat kontradiksi dan tidak mungkin untuk di gabung apa algi menjadi
salah satu cabang ilmu sosial. Namun, ketika perkuliahan ini dimulai saya
sadar, bahwa walau bagaimanapun sosiologi tetaplah sosiologi, ilmu sosial yang
mencoba melihat berbagai fenomena sosial hanya dari “kulitnya” saja. Dan itulah
yang saya dapatkan selama tiga tahun ini. meskipun begitu, dengan mempelajari
sosiologi, saya dapat merasakan saya semakin peka dan kritis terhadap apa yang
saya lihat dan rasakan terhadap berbagai macam peristiwa yang ada di sekitar
saya.
Okeee.. back to topic, setelah
beberapa mahasiswa tersebut selesai presentasi, maka di bukalah sesi pertanyaan
dan inilah yang sebenarnya menjadi jiwa dari sebuah presentasi. Pertanyaan demi
pertanyaan ternyata dapat dengan mudah di sanggah dan di jawab oleh para
presentator, akan tetapi pada saat akhir sesi tanya jawab tersebut, terselip
sebuah pertanyaan yang kemudian mengundang decak kagum serta heran para
mahasiswa yang mengikuti perkuliahan pagi itu. seorang mahasiswi tersebut
bertanya, apakah agama agama yang kita yakini saat ini adalah produk masa kecil
kita?, dan pertanyaan kedua ternyata lebih keren lagi, manakah yang anda
percaya Tuhan atau Agama. Sekilas dua pertayaan yang ia ajukan kepada para
mahasiswa presentator merupakan cermin bahwa dia condong skeptic terhadap agama
yang ia anut, namun di sisi lain hati saya berpendapat berbeda, bahwa
pertanyaan pertanyaan ini patut untuk di apresiasi dan tentunya mengetuk hati
nurani para mahasiswa yang hadir pagi itu. di sini saya tidak membahas
bagaiamana prang orang itu berpendapat, saya tidak akan membahas bagaimana
mereka saling menimpali namun di sini saya akan mencoba mengungkapkan apa isi
di otak si mahasiswa tersebut. berbicara mengenai agama, tentunya tidak hanya
berbiacara mengenai apa itu doktrin, dogma, Tuhan, ritual atau apalah itu.
lebih dari itu, jika kita membeicarakan agama, kita seperti membicarakan
mengenai sejarah terbentuknya alam semesta ini atau mungkin lebih kompleks
lagi. Membicarakan agama, juga menyangkut isu isu sensitive yang ada di
sekeliling kita.
Oleh
karena itu, dalam berbicara agama, lebih baik jika kita membicarakannya dengan
orang orang yang seiman dengan kita. Kembali ke pertayaan tadi, apakah agama
yang kita yakini adalah produk masa kecil kita, dan saya dengan tegas menjawab
ya!. Mengapa demikian, sebelum saya membahas lebih jauh saya akan membahas
bagaimana manusia hidup di bumi. Manusia lahir dari kedua manusia berlainan
jenis yaitu laki laki dan perempuan dengan ikatan yang sah (pernikahan). Ketika
manusia lahir, jiwa dan raga mereka masih murni seperti air yang keluar dari
mata air. Ketika mereka lahir, mereka ada dalam suatu komunitas terkecil yang
kita kenal sebagai keluarga. Dalam keluarga teersebut kita mulai sedikit demi
sedikit tumbuh dan berkembang. Proses tersebut kita alami dari awal kita lahir
di dunia dan berlanjut hingga kita mati. Dalam proses tersebut kita tidak hanya
mengalami pertambahan dan perkembangan di bidang fisik namun juga hal hal lain.
Dalam keluarga, kita dikenalkan dngan berbagai macam hal termasuk agama.
Apabila
kita terlahir dalam keluarga muslim, kita akan beragama muslim, begitu juga
ketika kita dilahirkan pada keluarga yang memiliki agama agama berbeda. Tentu,
secara tidak langsung, agama menjadi sebuah konstruksi pada diri kita, dengan
di tanamkannya nilai nilai agama kita secara langsung maupun tidak langsung
memeluk agama tersebut. di sisi lain, di tanamknnya nilai nilai agama tersebut
secara tidak langsung kita menganggap bahwa hal itu menjadi suatu kebenaran
dalam diri kita. Yang menjadi permasalahan adalah dalam kehidupan manusia tidak
hanya mengalami masa masa kecil, namun juga mengalami masa masa remaja dan
dewasa. Pada masa masa itu, pertumbuhan dari fisik kita pada umumnya mulai
berhenti, sedangkan kondisi psikis dan pola pikir kita akan terus bertamabah.
Pada fase ini pikiran pikiran manusia tidak lagi dapat dikatakan polos, akan
tetapi sangat penuh dengan berbagai persepsi seperti yang saya ungkapkan di
atas tadi. Memang, pada saat kita masih kecil kita telah di ajarkan agama yang
pada umunya sudah diyakini sebelumnya oleh orang tua kita sehingga kita
menyakiniya, namun apa sebatas ituah kita belajar agama.
Kita
tidak hanya belajar bagaimana cara baca Al Quran yang benar, tidak hanya
mempelajari cara sholat dan wudhu yang benar, namun kita juga akan dan pasti
mencari tahu mengapa dan bagaimana agama ini berkembang dan berpengaruh pada
kehidupan kita. Begitu juga dengan pertanyaan teman saya tadi, ya memang agama
yang kita peluk dan yakini saat ini adalah hasil sosialisasi dan konstruksi
pada masa kecil kita, akan tetapi apakah ketika anda menginjak masa remaja dan
dewasa masih menganggap agama hanyalah produk dari masa kecil anda. Di sini,
fungsi dari akal, dan hati nurani haruah seimbang, mengapa? Karena, jika tidak
kita hanya menjadi orang yang bisa id bilang ikut ikutan tanap tahu arah. Jika
tidak, maka yang terjadi adalah seperti teman saya, bingung dan skeptic.
Memang, dalam menyikapi hal hal semacam ini kita harusnya lebih kristis tapi
bukan berarti kemudian timbul sikap dan pikiran skeptic yang menyebabkan anda
murtad secara tidak langsung.
Di
sisi lain, saya memandang, pertanyaan yang muncul tentunya ada bukan karena kebetulan
namun lebih disebabkan karena beberapa factor. Salah satunya adalah kondisi
lingkungan sosialnya. Menurut pengamatan saya, orang yang terlahir pada
keluarga yang taat beragama, akan lebih memiliki kepribadian yang serupa di
bandingkan dengan mereka yang terlahir dengan keluarga yang biasa biasa saja
dalam beragama. Begitu juga dengan yang di alami oleh teman saya. Lantas
bagaimana menyikapinya, apakah kita tergesa gesa menganggapnya sebagai sebuah
sikap skeptic. Kita tentunya dapat melihat mengapa di Indonesia masih kita
temui para perempuan perempuan muslimah yang tidak berhijab, dan mengapa kita
masih menemuia banyak sekali penimpangan penyimpangan yang menunjukkan bahwa
kita ragu dengan agama kita. Di Indonesia, tentunya berbeda dengan Arab Saudi dan
juga berbeda jika kita membandingkan dengan Tibet. Indonesia adalah negara yang
mengakui beberapa agama, sehingga kita di sini hidup bersosialisasi dan
berdampingan dengan masyarakat yang berbeda keyakinan.
Hal
itulah mengapa kita tidak dapat 100% menjadi islam karena jika kita
menginginkan 100% islam maka tak dapat dihindarkan akan terjadi konflik besar
yang berlatar belakang agama. Oleh karena itu, agar konflik tidak terjadi
toleransi menjadi jalan satu satunya. Ngomongin soal toleransi, terdapat
pendapat yang berbrda beda terkait dengan toleransi. Terlebih lagi toleransi
menjadi modus beberapa pihak yang ingin mencampur adukan kepercayaan yang jelas
jelas berbeda. Kita ambil contoh misal, ada beberapa warga muslim yang dnegan
suka rela mengucapkan selamat kepada pemeluk agama lain yang pada saat itu
sedang merayakan hari besar agamanya, tentu hal itu sangat di larang dalam
agama islam. Namun, mereka tetap melakukannya atas dasar toleransi. Oleh karena
itu, pertanyaan pertama tadi mungkin tidak akan muncul jika mahasiswa tadi
sehari harinya bersosialisasi dan berteman dengan orang orang yang memiliki
prosentase ketaatan beragama lebih tinggi dibandingkan dengan dia. Toleransi
memnag perlu dan mungkin sangat diperlukaan, akan tetapi lebih baik jika kita
paham akan batasan batasannya.
Kemudian
di pertanyaan kedua, di bertanya kembali, anda lebih percaya yang mana Tuhan
atau Agama. Kembali ke perkataan saya tadi, bahwa ketika manusia di sebut
sebagai mahkluk yang sempurna, maka sebenarnya manusia jauh dari hakikatnya
tersebut. artinya, sepandai pandai, dan secerdas cerdasnya manusia, akal dan
kemampuannya dalam memahami sesuatu pasti memiliki batasan. Jika kita jeli
dalam melihat dan merasakan, kita akan mendapati bahwa kejadian kejadian yang
ada di sekitar kita merupakan peristiwa yang sangat sulit untuk di cerna dengan
nalar kita. Membahas tentang Tuhan dan Agama, sebenarnya kita harus mempercayai
keduanya. Namun, timbul pertanyaan lagi, manakah yang pertama anda kenal, Tuhan
atau Agama. Hehehehe……..sulit memang, akan tetapi yang saya rasakan kita tidak
akan mengenal istilah Tuhan tanpa kita tahu Agama. Sehingga dapat kita
simpulkan bahwa agama dapat diartikan sebagai jembatan antara kita dengan Allah
SWT. Oelh karena itu, dalam agama kita dijelaskan bagaimana kita menyembah
Tuhan, bagaimana cara kita beribadah, bagaimana cara kita memohon dsb. sehingga
jika ada lagi yang bertanya manakah yang lebih anda percaya Agama atau Tuhan
maka jawablah saya mempercayai keduanya dengan catatan kita tidak dapat
mengenal Tuhan jika kita tidak mengenal Agamanya.
0 komentar:
Posting Komentar