Tak
Lagi Tajam Taringku
Beberapa
minggu lagi kita akan memperingati sebuah perayaan yang terpenting di negeri
ini, Indonesia. Ya….apa lagi kalau bukan hari kemerdekaan Indonesia atau lebih
kita kenal dengan sebutan HUT RI. Hari kemerdekaan Indonesia tersebut tidak hanya di maknai sebatas hari di mana
kita mulai lepas dari segala bentuk kolonialisme dan imperialisme yang
sebenarnya sampai ksaat ini kita masih merasakannya. Namun lebih dari itu,
kemerdekaan ini merupakan wujud dari perjuangan sekian lama para pejuang untuk
menjadikan negara ini mendapat sebutan sebagai negara merdeka. Merdeka ataupun
terjajah sebenarnya beda tipis. Merdeka sama halnya dengan kata bebas, bebas
dari segala belenggu dan” penjara” yang terlalu lama mengekang jiwa dan raga rakyat
negeri ini. Tak hanya itu kita tentunya tidak lupa jika kemerdekaan ini
merupakan buah manis dari perjuangan para pemuda pemuda yang gigih
mempertahankan identitas mereka.
Pemuda pemuda dulu merupakan kaum revolusioner yang sangat berani menentang keras adanya penjajahan yang ada di negeri ini, ketika sebagian besar orang lebih memilih untuk diam dalam ketakutan karena kontruksi feodalisme yang sudah lama melekat di benak rakyat negeri ini. Para pemuda dengan memperjuangkan segenap usaha baik fisik, mental, maupun pikiran telah meunjukkan adanya kemajuan dan keinginan untuk menjadi seseorang yang memiliki identitas dan bukan hanya sekedar mahkluk yang memiliki daging dan kulit serta otak. Revolusi revolusi yang terjadi di negeri ini mayoritas merupakan buah karya daripada pemuda pemuda itu sendiri. Perjuangan pemuda pemuda tersebut tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Setelah menikmati semerbak harumnya kemerdekaan, mereka kemudian di hadapkan dengan “penjajahan” baru ala pemerintah orde baru. orde baru, yang identik dengan soeharto merupakan suatu era di mana kebebasan kebebasan berpendapat yang sudah mereka perjuangkan terpaksa hilang dan untuk sementara lenyap entah ke mana. Di era tersebut kita seperti kembali ke masa masa feudal ala kerajaan hindhu Buddha dulu. Seperti layaknya feodalsme, orde baru juga menghendakai adanya keputusan penguasa yang bersifat mutlak tak terbantahkan. Munculnya pendapat pendapat lainnya di nilai sebagai suatu pembangkangan terhadap penguasa. Lebih dari itu, sesuatu yang bersifat menentang akan berdampak pada munculnya tindakan tindakan represif yang dilakukan oleh “prajurit pemguasa” dan ditujukan kepada “pemberontak pemberontak” tersebut. oleh sebab itu para “pemberontak” (pemuda) saat itu lebih suka menumpulkan “taring” mereka daripada mengasahnya. Di sisi lain, keadaan yang dinilai sangat monoton, kolot serta membosankan ini ternyata mulai membangunkan monster yang sudah lama tertidur. Monster yang mulai menajamkan kembali taringnya untuk membunuh siapa saja yang ingin melawannya. Secara diam diam para “pemberontak tersebut mulai menghimpun kekuatan dengan cara melakukan tindakan tindakan formal ala kampus dan mahasiswa seperti seminar ataupun diskusi public yang mengangkat isu isu tentang kebebasan.
Semakain lama, gerakan gerakan tersebut mulai sedikit demi sedikit direalisasikan ke medan perang. Para pemberontak tersebut sudah berani menyuarakan akan isu isu demokrasi yang konon katanya sarat akan kebebasan berpendapat. Akhirnya, saat saat yang ditunggupun datang. Tahun 1997 merupakan tahun di mana para pemuda negeri ini menuliskan kembali akan ketajaman taring mereka. Dengan bermodalkan intelektual serta semangat mereka berusaha keras meruntuhkan rezim yang mereka nilai sebagai penjara yang sangat merusak ideology yang mereka yakini (demokrasi). Rezim soeharto yang ± 35 tahun menancapkan taringnya kini di paksa tumbang dan hancur oleh pengikutnya sendiri. Kebebasan di negeri ini akhirnya dapat kembali dapat bersuara lantang memecah kesunyian negeri ini. Selepas penguasa ala feudal tersebut hancur kini tidak ada lagi yang namaya dictator, tirani atau apalah itu namanya. Yang jelas negeri ini dapat kembali ramai oleh lantangnya suara suara pemberontak yang meneriakkan agenda kebebasan demi kemajuan negeri ini. Para pemuda khusunya para mahasiswa tidak lagi dipandang sebagai kalangan intelektual belaka, namun juga merupakan kekuatan besar yang sewaktu waktu dapat merubah harmoni politik negeri ini. Sebagai agent of change, para pemuda ternyata sangat berperan untuk melahirkan negeri demokrasi amatir ini. Namun, apakah kondisi tersebut dapat terus terjaga sampai saat ini. Apakah para pemuda masih dapat kita sebut sebagai agent of change bagi kemajuan bangsa. Selepas orde baru, kita menghadapi fase baru yaitu reformasi di mana kita mulai berbenah dan kembali ke tujuan utama negeri ini yaitu mendirikan negara yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Namun apakah masih kita maknai kata kata itu. Pemuda, remaja tidak lagi berada pada garis depan perjuangan negeri ini.
Para pemuda pemuda seperti sekarang ini tidak perlu lagi susah susah untuk meneriakkan kebebasan yang mereka dambakan. Sebab, kebebasan tersebut kini menjadi penjara yang sekarang membelenggu kaum intelektual tersebut. kebebasan tidak disertai dengan pemahaman akan esensinya, hanya menjadikan kebebasan seperti manusia tanpa nama. Kebebasan tidak lagi di anggap sebagai sebuah cara untuk menjadi manusia yang beradab, namun sebaliknya kini kaum intelektual ataupun pemuda kini tak lebih hanya menjadi penyakit dan sampah masyarakat. bagaimana tidak, para pemuda memaknai kebebasan ini tanpa adanya batasan ataupun tanggung jawab. Oleh sebab itu, mereka kemudian bertindak dan berperilaku seperti binatang liar. Ketika negeri ini semakin banyak membutuhkan para intelek tersebut, mereka malah sedang asyik menikmati uforia globalisasi yang semu. Para mahasiswa yang seharusnya kritis terhadap keadaan, kini malah terkesan apatis dan skeptic terhadap kondisi sekitar mereka. Kampus kampus tidak lagi menjadi base camp dalam merencanakan agenda perubahan, tetapi berubah fungsi sebagai tempat dan sarana untuk menunjukkna eksistensi tolol mereka.
Kampus menjadi tempat yang ideal untuk menggosip seputar maslaah orang lain daripada meningkatkan kualitas mereka. Baik pemuda dan mahasiswa ternyata sudah mlupakan kewajiban mereka sebagai motor penggerak perubahan negeri ini. Dengan tolol dan sadar mereka lebih suka menikmati hedonism hedonism yang saat ini menjadi agama baru bagi kalangan intelektual tersebut. di sisi lain kita menjumpai berbagai UKM atau organisasi organisasi kampus yang hanya berfungsi sebagai penguatan identitas para mahasiswa tersebut, tak terkecuali organisasi paling fenomenal di kampus (BEM). BEM pada era orde baru merupakan organisasi yang sangat di gandrungi oleh para mahasiswa yang totalitas menjadikan diri mereka sebagai aktivis. Pada era tersebut BEM di isi oleh orang orang yang beridealisme tinggi dengan segudang gagasan. Tapi kini semua berubah. Organisasi sekelas BEM, kini tak ubahnya seperti kumpulan anak anak yang haus eksistensi dan orang orang pragmatis. Dapat dikatakan bahwa mereka bukan lagi menjadi musuh pemerintah, melainkan anjing birokrat yang selalu setia menyembunyikan aroma busuk para birokrat tersebut. organisasi baik di kampus ataupun di luar kampus saat ini tak lebih hanyamenjadi formalitas belaka bagi kaum mahasiswa. Mahasiswa bukan lagi kumpulan intelektual yang kritis akan keadaan sekitarnya. Mahasiwa bukan lagi mereka mereka yang semangat turun ke jalan untuk meneriakkan akan tuntutan mereka kepada penguasa. ibarat harimau mereka telah lama kehilangan cakar tajamnya, ibarat singa mereka telah kehilangan taring tajamnya. Nama mereka memang mahasiswa, namun itu hanya sebatas identitas sementara, tidak lebih daripada itu. Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika sebagian besar dari mereka lebih suka memperkaya diri mereka dengan timbunan nilai nilai mata kuliah tanpa mengerti esensi dari itu semua. Kita saat ini bisa melihat tentunya jika para mahasiswa kita sangat pintar sekali untuk mencaris nilai, namun jika kita Tanya tentang sesuatu mereka kemudian akan lebih memilih untuk diam daripada berteriak teriak seperti ketiak mereka berada di jalan. Pemuda saat ini bukanlha pemuda yang dulu, pemuda yang sangat keras dalam berjuang, pmuda yang sangat giat untuk berkarya. Saat ini para remaja kita lebih senan dengan hal hal yang bersifat semu dan berbau negatf.
Kita ambil contoh misal, mereka lebih suka mengikuti berita infotaiment daripada mendengarkan isu isu politik yang saat ini sedang hangat. Di samping itu, di kampus mereka juga lebih suka membicarakan aib orang lain daripada diskusi perkuliahan. Dulu saya pernah membuat penelitian tentang budaya membaca di kampus saya. Dan ternyata saya menemukan fakta mengejutkan dari mereka. Sepuluh orang dari sepuluh rsponden yang saya wawncarai ternyata mereka sangat minim untuk meingkatkan budaya membaca mereka. Mereka lebih suka mengurusi urusan pribadi orang lain, sok perhatian lah, dan mengurusi urusan yang smenurut saya tidaklah penting. Lantas bagaimana mereka dapat menjadi motor penggerak perbahan negeri ini, saat masalah masalah di sekitar mereka saja tidak ditanggapi. Yang lebih konyol lagi, ketika sebagian mereka lebih mengutamakan softskill yang saya rasa biasa biasa saja. Padahal antara hardskill dan softskill harus berjalan seimbang untuk menjadi individu yang berkualitas. Hal lain yang perlu kita soroti adalah moral mereka yang kian hari kian memburuk. Para mahasiswa tidak lagi menjunjung nilai nilai intergritas dan kemandirian, sebaliknya mereka lebih suka mengutip dan menjiplak karya orang lain. Kini para mahasiwa juga dihadapkan dengan pilihan pilihan yang sulit, dan tak jarang mereka juga harus menggadaikan idealismenya. Tak jarang dari mereka kemudian lebih memilih berpikiran pragmatis sebab telah terkontruksi di otak mereka bahwa tujuan kuliah hanyalah mencari nilai dan ijasah. Sikap dan perilaku mahasiswa yang hedonis, pragmatis, oportunis dan apatis ini tidak lain merupakan sisi gelap dari globalisasi yang mulai menggerogoti jiwa mereka.
Arus globalisasi yang di cerna secara mentah mentah menjadikan mereka dnegan cepat lupa akan tujuan utma mereka.mereka lebih suka, hedon hedon, foya foya, dsb tanpa mereka sadari masih banyak dari mereka yang tidak dapat duduk di bangku kuliah. Semua hal mereka nilai dengan materi, bahkan mereka tidak malu hanya untuk mencari eksistensi di depan dosen dosen mereka. Hal seperti ini sampai kapan kita pertahankan. Harusnya kita sadar, negara negara tetangga kita sedikit demi sedikit telah menjelma menjadi negara yang mandiri, di saat para pemuda negeri ini lebih bangga menggunakan produk yang mereka impor. Di negara lain, pemuda maupun mahasiwa memiliki etos kerja yang tinggi, tidak seprti kita yang suka malas malasan dan datang terlambat saat kuliah. Menguasai materi materi perkuliahan saja merka masih sangat kesulitan, apalagi jika mereka mengembangkan softskill mereka. Kasihan, ketika sebagian besar kalangan intelek kita telah di sesatkan dengan kontruksi kontruksi pikiran yang membodohi mereka. Bertahun tahun kuliah mereka habiskan hanya untuk mengejar simpati para dosen agar mendapat nilai A. kuliah dan kampus bukan lagi sarana untuk memperkaya kapasitas dan kulaitas dari individu.
Kuliah dan kampus hanya berfungsi sebagai tempat wisata baru untuk mengisi waktu luang para remaja remaja tersebut agar tidak tersesat dan membusuk oleh persaingan jaman yang semakin keras memperbudak mereka. Parahnya, hal tersebut di mata kita sudah menjadi makanan pokok yan harus ada dalam meja kehidupan. Mereka seakan akan lupa dengan jati diri mereka yang sesungguhnya. Masalah masalah yang timbul di negeri ini bukan masalah masalah yang timbul dari efek colonial yang berkepanjangan, namun lebih bersumber dari masyarakat yang tidak segera sadar dan berbenah. Di kalangan tua kita masih syik dengan romantisme feudal yang terus mereka pegang erat, di kalangan intelektual kita masih asyik dengan romantisme remaja yang seharusnya mereka buah jauh jauh dari dulu.
Pemuda pemuda dulu merupakan kaum revolusioner yang sangat berani menentang keras adanya penjajahan yang ada di negeri ini, ketika sebagian besar orang lebih memilih untuk diam dalam ketakutan karena kontruksi feodalisme yang sudah lama melekat di benak rakyat negeri ini. Para pemuda dengan memperjuangkan segenap usaha baik fisik, mental, maupun pikiran telah meunjukkan adanya kemajuan dan keinginan untuk menjadi seseorang yang memiliki identitas dan bukan hanya sekedar mahkluk yang memiliki daging dan kulit serta otak. Revolusi revolusi yang terjadi di negeri ini mayoritas merupakan buah karya daripada pemuda pemuda itu sendiri. Perjuangan pemuda pemuda tersebut tidaklah semudah yang mereka bayangkan. Setelah menikmati semerbak harumnya kemerdekaan, mereka kemudian di hadapkan dengan “penjajahan” baru ala pemerintah orde baru. orde baru, yang identik dengan soeharto merupakan suatu era di mana kebebasan kebebasan berpendapat yang sudah mereka perjuangkan terpaksa hilang dan untuk sementara lenyap entah ke mana. Di era tersebut kita seperti kembali ke masa masa feudal ala kerajaan hindhu Buddha dulu. Seperti layaknya feodalsme, orde baru juga menghendakai adanya keputusan penguasa yang bersifat mutlak tak terbantahkan. Munculnya pendapat pendapat lainnya di nilai sebagai suatu pembangkangan terhadap penguasa. Lebih dari itu, sesuatu yang bersifat menentang akan berdampak pada munculnya tindakan tindakan represif yang dilakukan oleh “prajurit pemguasa” dan ditujukan kepada “pemberontak pemberontak” tersebut. oleh sebab itu para “pemberontak” (pemuda) saat itu lebih suka menumpulkan “taring” mereka daripada mengasahnya. Di sisi lain, keadaan yang dinilai sangat monoton, kolot serta membosankan ini ternyata mulai membangunkan monster yang sudah lama tertidur. Monster yang mulai menajamkan kembali taringnya untuk membunuh siapa saja yang ingin melawannya. Secara diam diam para “pemberontak tersebut mulai menghimpun kekuatan dengan cara melakukan tindakan tindakan formal ala kampus dan mahasiswa seperti seminar ataupun diskusi public yang mengangkat isu isu tentang kebebasan.
Semakain lama, gerakan gerakan tersebut mulai sedikit demi sedikit direalisasikan ke medan perang. Para pemberontak tersebut sudah berani menyuarakan akan isu isu demokrasi yang konon katanya sarat akan kebebasan berpendapat. Akhirnya, saat saat yang ditunggupun datang. Tahun 1997 merupakan tahun di mana para pemuda negeri ini menuliskan kembali akan ketajaman taring mereka. Dengan bermodalkan intelektual serta semangat mereka berusaha keras meruntuhkan rezim yang mereka nilai sebagai penjara yang sangat merusak ideology yang mereka yakini (demokrasi). Rezim soeharto yang ± 35 tahun menancapkan taringnya kini di paksa tumbang dan hancur oleh pengikutnya sendiri. Kebebasan di negeri ini akhirnya dapat kembali dapat bersuara lantang memecah kesunyian negeri ini. Selepas penguasa ala feudal tersebut hancur kini tidak ada lagi yang namaya dictator, tirani atau apalah itu namanya. Yang jelas negeri ini dapat kembali ramai oleh lantangnya suara suara pemberontak yang meneriakkan agenda kebebasan demi kemajuan negeri ini. Para pemuda khusunya para mahasiswa tidak lagi dipandang sebagai kalangan intelektual belaka, namun juga merupakan kekuatan besar yang sewaktu waktu dapat merubah harmoni politik negeri ini. Sebagai agent of change, para pemuda ternyata sangat berperan untuk melahirkan negeri demokrasi amatir ini. Namun, apakah kondisi tersebut dapat terus terjaga sampai saat ini. Apakah para pemuda masih dapat kita sebut sebagai agent of change bagi kemajuan bangsa. Selepas orde baru, kita menghadapi fase baru yaitu reformasi di mana kita mulai berbenah dan kembali ke tujuan utama negeri ini yaitu mendirikan negara yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Namun apakah masih kita maknai kata kata itu. Pemuda, remaja tidak lagi berada pada garis depan perjuangan negeri ini.
Para pemuda pemuda seperti sekarang ini tidak perlu lagi susah susah untuk meneriakkan kebebasan yang mereka dambakan. Sebab, kebebasan tersebut kini menjadi penjara yang sekarang membelenggu kaum intelektual tersebut. kebebasan tidak disertai dengan pemahaman akan esensinya, hanya menjadikan kebebasan seperti manusia tanpa nama. Kebebasan tidak lagi di anggap sebagai sebuah cara untuk menjadi manusia yang beradab, namun sebaliknya kini kaum intelektual ataupun pemuda kini tak lebih hanya menjadi penyakit dan sampah masyarakat. bagaimana tidak, para pemuda memaknai kebebasan ini tanpa adanya batasan ataupun tanggung jawab. Oleh sebab itu, mereka kemudian bertindak dan berperilaku seperti binatang liar. Ketika negeri ini semakin banyak membutuhkan para intelek tersebut, mereka malah sedang asyik menikmati uforia globalisasi yang semu. Para mahasiswa yang seharusnya kritis terhadap keadaan, kini malah terkesan apatis dan skeptic terhadap kondisi sekitar mereka. Kampus kampus tidak lagi menjadi base camp dalam merencanakan agenda perubahan, tetapi berubah fungsi sebagai tempat dan sarana untuk menunjukkna eksistensi tolol mereka.
Kampus menjadi tempat yang ideal untuk menggosip seputar maslaah orang lain daripada meningkatkan kualitas mereka. Baik pemuda dan mahasiswa ternyata sudah mlupakan kewajiban mereka sebagai motor penggerak perubahan negeri ini. Dengan tolol dan sadar mereka lebih suka menikmati hedonism hedonism yang saat ini menjadi agama baru bagi kalangan intelektual tersebut. di sisi lain kita menjumpai berbagai UKM atau organisasi organisasi kampus yang hanya berfungsi sebagai penguatan identitas para mahasiswa tersebut, tak terkecuali organisasi paling fenomenal di kampus (BEM). BEM pada era orde baru merupakan organisasi yang sangat di gandrungi oleh para mahasiswa yang totalitas menjadikan diri mereka sebagai aktivis. Pada era tersebut BEM di isi oleh orang orang yang beridealisme tinggi dengan segudang gagasan. Tapi kini semua berubah. Organisasi sekelas BEM, kini tak ubahnya seperti kumpulan anak anak yang haus eksistensi dan orang orang pragmatis. Dapat dikatakan bahwa mereka bukan lagi menjadi musuh pemerintah, melainkan anjing birokrat yang selalu setia menyembunyikan aroma busuk para birokrat tersebut. organisasi baik di kampus ataupun di luar kampus saat ini tak lebih hanyamenjadi formalitas belaka bagi kaum mahasiswa. Mahasiswa bukan lagi kumpulan intelektual yang kritis akan keadaan sekitarnya. Mahasiwa bukan lagi mereka mereka yang semangat turun ke jalan untuk meneriakkan akan tuntutan mereka kepada penguasa. ibarat harimau mereka telah lama kehilangan cakar tajamnya, ibarat singa mereka telah kehilangan taring tajamnya. Nama mereka memang mahasiswa, namun itu hanya sebatas identitas sementara, tidak lebih daripada itu. Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika sebagian besar dari mereka lebih suka memperkaya diri mereka dengan timbunan nilai nilai mata kuliah tanpa mengerti esensi dari itu semua. Kita saat ini bisa melihat tentunya jika para mahasiswa kita sangat pintar sekali untuk mencaris nilai, namun jika kita Tanya tentang sesuatu mereka kemudian akan lebih memilih untuk diam daripada berteriak teriak seperti ketiak mereka berada di jalan. Pemuda saat ini bukanlha pemuda yang dulu, pemuda yang sangat keras dalam berjuang, pmuda yang sangat giat untuk berkarya. Saat ini para remaja kita lebih senan dengan hal hal yang bersifat semu dan berbau negatf.
Kita ambil contoh misal, mereka lebih suka mengikuti berita infotaiment daripada mendengarkan isu isu politik yang saat ini sedang hangat. Di samping itu, di kampus mereka juga lebih suka membicarakan aib orang lain daripada diskusi perkuliahan. Dulu saya pernah membuat penelitian tentang budaya membaca di kampus saya. Dan ternyata saya menemukan fakta mengejutkan dari mereka. Sepuluh orang dari sepuluh rsponden yang saya wawncarai ternyata mereka sangat minim untuk meingkatkan budaya membaca mereka. Mereka lebih suka mengurusi urusan pribadi orang lain, sok perhatian lah, dan mengurusi urusan yang smenurut saya tidaklah penting. Lantas bagaimana mereka dapat menjadi motor penggerak perbahan negeri ini, saat masalah masalah di sekitar mereka saja tidak ditanggapi. Yang lebih konyol lagi, ketika sebagian mereka lebih mengutamakan softskill yang saya rasa biasa biasa saja. Padahal antara hardskill dan softskill harus berjalan seimbang untuk menjadi individu yang berkualitas. Hal lain yang perlu kita soroti adalah moral mereka yang kian hari kian memburuk. Para mahasiswa tidak lagi menjunjung nilai nilai intergritas dan kemandirian, sebaliknya mereka lebih suka mengutip dan menjiplak karya orang lain. Kini para mahasiwa juga dihadapkan dengan pilihan pilihan yang sulit, dan tak jarang mereka juga harus menggadaikan idealismenya. Tak jarang dari mereka kemudian lebih memilih berpikiran pragmatis sebab telah terkontruksi di otak mereka bahwa tujuan kuliah hanyalah mencari nilai dan ijasah. Sikap dan perilaku mahasiswa yang hedonis, pragmatis, oportunis dan apatis ini tidak lain merupakan sisi gelap dari globalisasi yang mulai menggerogoti jiwa mereka.
Arus globalisasi yang di cerna secara mentah mentah menjadikan mereka dnegan cepat lupa akan tujuan utma mereka.mereka lebih suka, hedon hedon, foya foya, dsb tanpa mereka sadari masih banyak dari mereka yang tidak dapat duduk di bangku kuliah. Semua hal mereka nilai dengan materi, bahkan mereka tidak malu hanya untuk mencari eksistensi di depan dosen dosen mereka. Hal seperti ini sampai kapan kita pertahankan. Harusnya kita sadar, negara negara tetangga kita sedikit demi sedikit telah menjelma menjadi negara yang mandiri, di saat para pemuda negeri ini lebih bangga menggunakan produk yang mereka impor. Di negara lain, pemuda maupun mahasiwa memiliki etos kerja yang tinggi, tidak seprti kita yang suka malas malasan dan datang terlambat saat kuliah. Menguasai materi materi perkuliahan saja merka masih sangat kesulitan, apalagi jika mereka mengembangkan softskill mereka. Kasihan, ketika sebagian besar kalangan intelek kita telah di sesatkan dengan kontruksi kontruksi pikiran yang membodohi mereka. Bertahun tahun kuliah mereka habiskan hanya untuk mengejar simpati para dosen agar mendapat nilai A. kuliah dan kampus bukan lagi sarana untuk memperkaya kapasitas dan kulaitas dari individu.
Kuliah dan kampus hanya berfungsi sebagai tempat wisata baru untuk mengisi waktu luang para remaja remaja tersebut agar tidak tersesat dan membusuk oleh persaingan jaman yang semakin keras memperbudak mereka. Parahnya, hal tersebut di mata kita sudah menjadi makanan pokok yan harus ada dalam meja kehidupan. Mereka seakan akan lupa dengan jati diri mereka yang sesungguhnya. Masalah masalah yang timbul di negeri ini bukan masalah masalah yang timbul dari efek colonial yang berkepanjangan, namun lebih bersumber dari masyarakat yang tidak segera sadar dan berbenah. Di kalangan tua kita masih syik dengan romantisme feudal yang terus mereka pegang erat, di kalangan intelektual kita masih asyik dengan romantisme remaja yang seharusnya mereka buah jauh jauh dari dulu.
0 komentar:
Posting Komentar