Pada hakikatnya, manusia telah dikaruniai suatu naluri
untuk dapat mengetahui bagaimana timbulnya gejala gejala dalam kehidupan
bermasyarakat. Keinginan tadi dapat berwujud sebagai hasrat untuk mengetahui
secara langsung maupun tidak langsung apa yang menjadi pengatur bagi perilaku
atau sikap sehari hari dari manusia itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak
selalu mengetahui bahwa di dalam kehidupan sehari harinya perilakunya diatur
dalam suatu pola tertentu, karena sejak lahir manusia telah berada di tengah
tengah suatu pola tertentu melaui proses imitasi ( peniruan) maupun berasal
dari pendidikan yang telah ia peroleh. Di samping itu, sejak lahir manusia
telah di takdirkan untuk hidup bersama orag lain, sebagai akibatnya kemudian
timbul interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tersebut berdasar dari pola
yang disebut perbuatan, tersebut kemudian dilakukan berulang ulang dan menjadi
kebiasaan. Apabila kebiasaan tersebut tidak di anggap sebagai cara
berperilakuan, maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan tersebut telah menjadi tata
kelakuan. Tata kelakuan tersebut merupakan cerminan dari sifat sifat hidup dari
kelompok manusia. Tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasinya dengan pola
perikelakuan masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya sehingga menjadi
adat istiadat. Di dalam suatu adat istiadat tersebut terdapat berbagai berbagai
peraturan peraturan lisan, termasuk Hukum adat.
Kaitannya dengan hukum adat, para ahli memiliki
pendapat yang berbeda beda mengenai hukum adat. Misalnya saja Ter Haar, dia
berpendapat bahwa hukum adat mencangkup seluruh peraturan peraturan yang
menjelma di dalam keputusan keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai
kewibawaan dan pengaruh, serta yang didalam pelaksanaanya berlaku serta merta
dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan
tersebut. Memang tidak ada pengertian pasti terhadap hukum adat tersebut,
karena antara adat dengan hukum adat memiliki keterkaitan yang sangat erat,
sehingga sulit membedakan antara adat dengan hukum adat. Hukum adat di
Indonesia telah lama muncul di tengah tengah kebudayaan Indonesia. Walaupun
hukum adat telah lama berada dalam masyarakat indonesia, pembuktian terhadap
hukum adat tersebut baru terjadi pada tahun 1918. Hal itu oleh Van Vollenhoven
disebutkan sebagai kesadaran orang timur. Memang perlu dicatat, bahwa pada
zaman zaman sebelum nya telah dikenal beberapa ahli hukum terkemuka. Misalnya,
pada zaman raja Dharmawangsa(± tahun 1000) telah terbit terbit sebuah buku
hukum berjudul Ciwacasana. Gajah Mada dan Kanaka juga telah menyusun buku hukum
yang masing masing diberi judul Gajah Mada dan Adiguna. Akan tetapi penyusunan buku buku tersebut
bukanlah bermaksud untuk menjelaskan bahwa hukum adat sangat berharga untuk
diteliti. Van Vollenhoven pun membagi lingkungan hukum adat di Indonesia
menjadi 19 wilayah,antara lain yaitu:
· Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel,
Semeuleu)
· Tanah Gayo, Alas dan Batak
- Tanah Gayo (Gayo lueus)
- Tanah Alas
- Tanah Batak (Tapanuli)
- Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
- Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
- Nias (Nias Selatan)
· Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar,
Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
· Mentawai (Orang Pagai)
· Sumatera Selatan
- Bengkulu (Renjang)
- Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
- Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
- Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
- Enggano
· Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri,
Sumatera Timur, Orang Banjar)
· Bangka dan Belitung
· kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas,
Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak
Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan
Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
· Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
· Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja
Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,
Kep. Banggai)
· Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa,
Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
· Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore,
Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
· Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep.
Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
· Irian
· Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor
Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti,
Sayu Bima)
· Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan,
Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
· Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa
Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
· Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
·
Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten
Hukum
adatpun semakin berkembang, pada masa colonial belanda, hukum adat di indonesia
sedikit meredup, karena digantikan oleh adanya hukum colonial. Pada awalnya
hukum adat masyarakat indonesia dibiarkan berkembang sendiri, akan tetapi
dengan sikap belanda yang cenderung mencari keuntungan sendiri, membuat hukum adat
tersebut menjadi pudar dan tergantikan oleh hukum colonial. Dengan
demikian menjadi jelas yang membuat ukuran dan kriteria berlaku dan karenanya
juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan masyarakat –dimana tempat
memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri – melainkan adalah hukum
lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial).
Setelah masa kemerdekaan hukum adat
menjadi lebih netral, akan tetapi juga dapat bersifat menjadi tidak netral,
karena erat kaitannya dengan nilai nilai religius. Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan
dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui
bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada
hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel
dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut,
maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang
menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.
Konstitusi negara Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas
menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila
ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di
dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang
memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai,
pola pikir dan hukum adat. Pasal
29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Pada
tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang
disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak
Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan
kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut
aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar
hukum itu. Selanjutnya dalam
UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus
menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa
berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS
1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini
termasuk di dalamnya hukum adat.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dimbali berlaku, ada 4
pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan melipouti segenap
bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum
nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak emwujdukan keadilan sosial.
Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia
dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan
disesusikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan amsyarakat, dengan tetap
bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan
kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan dan
perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan
perasahaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan
hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam
menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik.Dalam
hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang
memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan
berperikemanusiaan. Pokok
pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal
ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan
fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara
hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai
fungsinya harus sebabtiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang
maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana
dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Setelah
reformasi tepatnya Pada tanggal 4
Mei 1999 telah diundangkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah. Dengan
berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi dua buah
Undang-undang yang menjadi sendi kebijakan Pemerintah Orde Baru yaitu :
1. UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah
2. UU No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.
Sesuai dengan tuntutan
reformasi maka dengan penggantian Undang-undang yang baru ini seharusnya
memberikan adanya peluang untuk adanya suatu otonomi yang lebih luas dari masa
sebelumnya dan lebih memperdayakan masyarakat adat dan lembaga-lembaga adat
yang ada di negara kita, misalnya: runggun (lembaga kekerabatan Adat Karo),
lembaga Kerapatan Adat Nagari (Minangkabau), dalihan natolu (Taput) dan
lain-lain. Secara konsepsional, dibanding dengan peraturan sebelumnya memang
terdapat kemajuan mengenai hal ini, namun kalau kita bandingkan dengan misalnya
apa yang dituntut oleh Kongres Masyarakat Adat, hasilnya belum serupa.
Konsep penguasaan Negara
atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, telah menjadi
suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan Masyarakat Adat. Seperti yang
terdapat dalam ketentuan UUPA, UU No. 5/1967, UU No.11/1967, Pemegang Hak
Menguasai Negara adalah pemerintah Pusat yang pada prakteknya telah
mengeluarkan keputusan-keputusan yang membuka peluang bagi terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Kongres Masyarakat Adat
Nusantara ini pada pokoknya menggugat posisi Masyarakat Adat terhadap Negara.
Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara harus ditata ulang. Pengingkaran
terhadap Kedaulatan Masyarakat Adat akan dengan sendirinya melemahkan kekuasaan
Negara.
Keputusan Kongres Masyarakat
Adat No. 02/KMAN/1999 tanggal 21 Maret 1999 tentang Deklarasi Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) berisi : Bahwa dideklarasikan tanggal 17 Maret sebagai
hari kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara :
1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi
landasan kehidupan Masyarakat Adat yang utama ;
2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu
tidak ada tempat bagi kebijakan negara yang berlaku seragam sifatnya.
3. Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di
Nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan
sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus
menghormati kedaulatan Masyarakat Adat ini.
4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk
manusia yang lain oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas
kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk
itu seluruh tindakan negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal
dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh Masyarakat Adat harus
segera diakhiri.
5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan,
Masyarakat Adat Nusantara wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya
kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.
Dengan demikian bahwa saat
ini hukum adat keberadaanya telah diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia
yang disepakati oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai salah satu hukum yang
resmi. Serta dapat digunakan secara resmi di masyarakat, di smaping penggunaan
hukum dan peraturan yang di buat oleh pemerintah. Hukum adat memang berasal
dari masyarakat Indonesia sendiri, akan tetapi pada masa penjajahan, terutama
pada masa penjajahan belanda, hukum adat sempat dirubah, bahkan diganti oleh
hukum kolonial, akan tetapi, setelah Indonesia merdeka hukum tersebut mulai
muncul kembali dan diakui oleh masyarakat maupun pemerintah resmi. Hukum adat
tersebut dapt dipergunakan dalam penyelesaian maslah maslah yang berkaitan
dengan tanah, hak waris, dan lain lain sesuai daerah yang menggunakan hukum
adat tersebut.
Daftar Pustaka
1.
Soerjono
Soekanto, DR, SH. MA. 1996. Menuju Hukum
Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2.
Soerjono
Soekanto, DR, SH. MA. 1981. Pokok Pokok
Hukum Adat. Bandung: Alumni
3.
Soepomo, PROF.
DR. SH. 1996. Bab Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.
0 komentar:
Posting Komentar