Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Perkembangan dan Peranan Hukum Adat Di Indonesia Pada Masa Sebelum Reformasi dan Sesudah Reformasi




Pada hakikatnya, manusia telah dikaruniai suatu naluri untuk dapat mengetahui bagaimana timbulnya gejala gejala dalam kehidupan bermasyarakat. Keinginan tadi dapat berwujud sebagai hasrat untuk mengetahui secara langsung maupun tidak langsung apa yang menjadi pengatur bagi perilaku atau sikap sehari hari dari manusia itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengetahui bahwa di dalam kehidupan sehari harinya perilakunya diatur dalam suatu pola tertentu, karena sejak lahir manusia telah berada di tengah tengah suatu pola tertentu melaui proses imitasi ( peniruan) maupun berasal dari pendidikan yang telah ia peroleh. Di samping itu, sejak lahir manusia telah di takdirkan untuk hidup bersama orag lain, sebagai akibatnya kemudian timbul interaksi sosial yang dinamis. Interaksi tersebut berdasar dari pola yang disebut perbuatan, tersebut kemudian dilakukan berulang ulang dan menjadi kebiasaan. Apabila kebiasaan tersebut tidak di anggap sebagai cara berperilakuan, maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan tersebut telah menjadi tata kelakuan. Tata kelakuan tersebut merupakan cerminan dari sifat sifat hidup dari kelompok manusia. Tata kelakuan yang kekal serta kuat intergrasinya dengan pola perikelakuan masyarakat dapat meningkat kekuatan mengikatnya sehingga menjadi adat istiadat. Di dalam suatu adat istiadat tersebut terdapat berbagai berbagai peraturan peraturan lisan, termasuk Hukum adat. 
Kaitannya dengan hukum adat, para ahli memiliki pendapat yang berbeda beda mengenai hukum adat. Misalnya saja Ter Haar, dia berpendapat bahwa hukum adat mencangkup seluruh peraturan peraturan yang menjelma di dalam keputusan keputusan para pejabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang didalam pelaksanaanya berlaku serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Memang tidak ada pengertian pasti terhadap hukum adat tersebut, karena antara adat dengan hukum adat memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga sulit membedakan antara adat dengan hukum adat. Hukum adat di Indonesia telah lama muncul di tengah tengah kebudayaan Indonesia. Walaupun hukum adat telah lama berada dalam masyarakat indonesia, pembuktian terhadap hukum adat tersebut baru terjadi pada tahun 1918. Hal itu oleh Van Vollenhoven disebutkan sebagai kesadaran orang timur. Memang perlu dicatat, bahwa pada zaman zaman sebelum nya telah dikenal beberapa ahli hukum terkemuka. Misalnya, pada zaman raja Dharmawangsa(± tahun 1000) telah terbit terbit sebuah buku hukum berjudul Ciwacasana. Gajah Mada dan Kanaka juga telah menyusun buku hukum yang masing masing diberi judul Gajah Mada dan Adiguna.  Akan tetapi penyusunan buku buku tersebut bukanlah bermaksud untuk menjelaskan bahwa hukum adat sangat berharga untuk diteliti. Van Vollenhoven pun membagi lingkungan hukum adat di Indonesia menjadi 19 wilayah,antara lain yaitu:

·  Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeuleu)
·  Tanah Gayo, Alas dan Batak
  1. Tanah Gayo (Gayo lueus)
  2. Tanah Alas
  3. Tanah Batak (Tapanuli)
    1. Tapanuli Utara; Batak Pakpak (Barus), Batak karo, Batak Simelungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumbun Julu)
    2. Tapanuli Selatan; Padang Lawas (Tano Sepanjang), Angkola, Mandailing (Sayurmatinggi)
    3. Nias (Nias Selatan)
·  Tanah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, tanah Kampar, Kerinci)
·  Mentawai (Orang Pagai)
·  Sumatera Selatan
  1. Bengkulu (Renjang)
  2. Lampung (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedingtataan, Tulang Bawang)
  3. Palembang (Anak lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo)
  4. Jambi (Orang Rimba, Batin, dan Penghulu)
  5. Enggano
·  Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatera Timur, Orang Banjar)
·  Bangka dan Belitung
·  kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tayan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timei, Long Glatt, Dayat Maanyan, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan)
·  Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
·  Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai)
·  Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)
·  Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula)
·  Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar)
·  Irian
·  Kep. Timor (Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sayu Bima)
·  Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karrang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
·  Jawa Pusat, Jawa Timur serta Madura (Jawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
·  Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta)
·  Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten
Hukum adatpun semakin berkembang, pada masa colonial belanda, hukum adat di indonesia sedikit meredup, karena digantikan oleh adanya hukum colonial. Pada awalnya hukum adat masyarakat indonesia dibiarkan berkembang sendiri, akan tetapi dengan sikap belanda yang cenderung mencari keuntungan sendiri, membuat hukum adat tersebut menjadi pudar dan tergantikan oleh hukum colonial. Dengan demikian menjadi jelas yang membuat ukuran dan kriteria berlaku dan karenanya juga berkembangnya hukum adat, adalah bukan masyarakat –dimana tempat memproduksi dan memberlakukan hukum adanya sendiri – melainkan adalah hukum lain yang dibuat oleh penguasa (kolonial).
Setelah masa kemerdekaan hukum adat menjadi lebih netral, akan tetapi juga dapat bersifat menjadi tidak netral, karena erat kaitannya dengan nilai nilai religius. Hukum adat oleh ahli barat, dipahami berdasarkan dua asumsi yang salah, pertama, hukum adat dapat dipahami melalui bahan-bahan tertulis, dipelajari dari catatan catatan asli atau didasarkan pada hukum-hukum agama. Kedua, bahwa hukum adat disistimatisasi secara paralel dengan hukum-hukum barat. Akibat pemahaman dengan paradigma barat tersebut, maka hukum adat dipahami secara salah dengan segala akibat-akibat yang menyertai, yang akan secara nyata dalam perkembangan selanjutnya di masa kemerdekaan.
Konstitusi negara Indonesia sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat. Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat.
Dalam konsitusi RIS pasal 146 ayat 1 disebutkan bahwa segala keputusan kehakiman harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara harus menyebut aturan-atiuran undang-undang dan aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu. Selanjutnya dalam UUD Sementara, pasal 146 ayat 1 dimuat kembali. Dengan demikian hakim harus menggali dan mengikuti perasaaan hukumd an keadilan rakyat yangs enantiasa berkembang. Dalam pasal 102 dan dengan memperhatikan ketentuan pasal 25 UUDS 1950 ada perintah bagi penguasa untuk membuat kodifikasi hukum. Maka hal ini termasuk di dalamnya hukum adat.
Dengan dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 dimbali berlaku, ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan melipouti segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak emwujdukan keadilan sosial.
Hal ini berbeda dengan keadilan hukum. Maka azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting untuk diwujdukan dan disesusikan dengan dengan tuntutan dan perekembangan amsyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya. Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujdukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatamn danm permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasahaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus menantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui kepngambilan kebijakan publik.Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus sebabtiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa.
Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 18D ayat 2 menyatakan : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Setelah reformasi tepatnya Pada tanggal 4 Mei 1999 telah diundangkan UU No. 4 Tahun 1999 tentang Otonomi daerah. Dengan berlakunya Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku lagi dua buah Undang-undang yang menjadi sendi kebijakan Pemerintah Orde Baru yaitu :
1. UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
2. UU No.5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.


Sesuai dengan tuntutan reformasi maka dengan penggantian Undang-undang yang baru ini seharusnya memberikan adanya peluang untuk adanya suatu otonomi yang lebih luas dari masa sebelumnya dan lebih memperdayakan masyarakat adat dan lembaga-lembaga adat yang ada di negara kita, misalnya: runggun (lembaga kekerabatan Adat Karo), lembaga Kerapatan Adat Nagari (Minangkabau), dalihan natolu (Taput) dan lain-lain. Secara konsepsional, dibanding dengan peraturan sebelumnya memang terdapat kemajuan mengenai hal ini, namun kalau kita bandingkan dengan misalnya apa yang dituntut oleh Kongres Masyarakat Adat, hasilnya belum serupa.

Konsep penguasaan Negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, telah menjadi suatu alat yang ampuh menghilangkan kedaulatan Masyarakat Adat. Seperti yang terdapat dalam ketentuan UUPA, UU No. 5/1967, UU No.11/1967, Pemegang Hak Menguasai Negara adalah pemerintah Pusat yang pada prakteknya telah mengeluarkan keputusan-keputusan yang membuka peluang bagi terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Kongres Masyarakat Adat Nusantara ini pada pokoknya menggugat posisi Masyarakat Adat terhadap Negara. Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara harus ditata ulang. Pengingkaran terhadap Kedaulatan Masyarakat Adat akan dengan sendirinya melemahkan kekuasaan Negara.

Keputusan Kongres Masyarakat Adat No. 02/KMAN/1999 tanggal 21 Maret 1999 tentang Deklarasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berisi : Bahwa dideklarasikan tanggal 17 Maret sebagai hari kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara :
1. Adat adalah sesuatu yang bersifat luhur dan menjadi landasan kehidupan Masyarakat Adat yang utama ;
2. Adat di Nusantara ini sangat majemuk, karena itu tidak ada tempat bagi kebijakan negara yang berlaku seragam sifatnya.
3. Jauh sebelum negara berdiri, Masyarakat Adat di Nusantara telah terlebih dahulu mampu mengembangkan suatu sistem kehidupan sebagaimana yang diinginkan dan dipahami sendiri. Oleh sebab itu negara harus menghormati kedaulatan Masyarakat Adat ini.
4. Masyarakat Adat pada dasarnya terdiri dari mahluk manusia yang lain oleh sebab itu, warga Masyarakat Adat juga berhak atas kehidupan yang layak dan pantas menurut nilai-nilai sosial yang berlaku. Untuk itu seluruh tindakan negara yang keluar dari kepatutan kemanusiaan universal dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang dipahami oleh Masyarakat Adat harus segera diakhiri.
5. Atas dasar rasa kebersamaan senasib sepenanggungan, Masyarakat Adat Nusantara wajib untuk saling bahu-membahu demi terwujudnya kehidupan Masyarakat Adat yang layak dan berdaulat.

Dengan demikian bahwa saat ini hukum adat keberadaanya telah diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia yang disepakati oleh seluruh masyarakat Indonesia sebagai salah satu hukum yang resmi. Serta dapat digunakan secara resmi di masyarakat, di smaping penggunaan hukum dan peraturan yang di buat oleh pemerintah. Hukum adat memang berasal dari masyarakat Indonesia sendiri, akan tetapi pada masa penjajahan, terutama pada masa penjajahan belanda, hukum adat sempat dirubah, bahkan diganti oleh hukum kolonial, akan tetapi, setelah Indonesia merdeka hukum tersebut mulai muncul kembali dan diakui oleh masyarakat maupun pemerintah resmi. Hukum adat tersebut dapt dipergunakan dalam penyelesaian maslah maslah yang berkaitan dengan tanah, hak waris, dan lain lain sesuai daerah yang menggunakan hukum adat tersebut.














Daftar Pustaka
1.      Soerjono Soekanto, DR, SH. MA. 1996. Menuju Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2.      Soerjono Soekanto, DR, SH. MA. 1981. Pokok Pokok Hukum Adat. Bandung: Alumni
3.      Soepomo, PROF. DR. SH. 1996. Bab Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.

0 komentar:

Posting Komentar