Tahun1998 telah menjadi tahun paling terburuk bagi
jajaran pemerintahan Soeharto setelah kurang lebih 32 tahun ia berkuasa di
kancah politik dan pemerintahan di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan
kekuasaan Soeharto menjadi rapuh dan kurang mendapat kepercayaan oleh mayoritas
rakyat Indonesia. Sebelumnya, pada tahun tahun awal Soeharto mengawali karirnya
menjadi presiden di Indonesia,beliau telah memberikan sumbangan yang banya bagi
bangsa Indonesia, sehinnga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju,
musalnya saja, pada saat kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia telah
mensukseskan swasembada pangan. Memang presiden Soeharto dalam setiap
kepemimpinananya memiliki rencana rencana pembangunan yang terwujud dalam
REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama), oleh karena itu, program
pembangunan yang dilakukan oleh soeharto dapat berjalan lancar.
Di samping itu,
pemerintahan pada waktu itu, dinilai berjalan stabil, akibat dari dwifungsi
ABRI yang dilakukan oleh Soeharto, akibatnya, pemerintahan pemerintahan
mayoritas terdiri dari orang orang dari kalangan TNI, hal itu dimaksudkan agar
proses koordinasi dalam menjalankan pemerintahan tersebut dapat dijalankan
secara mudahdan terkendali. Akan tetapi, bagaimana sesungguhnnya praktek
politik yang dijalankan oleh kepemimpinan Soeharto sesuai dengan harapan rakyat
pada masa itu, dan apakah pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar?. Di
samping itu, jika pemerintahan
soeharto dinilai lancar, mengapa ia
akhirnya di kudeta oleh rakyatnya sendiri pada pertengahan tahun 1998, dan apa
yang menyebabkan Soeharto dipaksa untuk turun dari jabatannya sebagai presiden.
Pertanyaan tersebut merupakan pembuka dari penjelasan berikutnya mengenai apa
sesungguhnya yang dilakukan oleh Soeharto semasa dia menjabat sebagai presiden
dan apa yang menjadi penyebab soeharto tersebut lengser dari jabatannya.
Soeharto merupakan sosok presiden
yang memiliki latarbelakang sebagai salah satu dari petinggi ABRI. Jika dilihat
dari sejarahnya, soeharto sendiri sebenarnya tidak memiliki pengaruh politik di
pemerintahan pada masa itu, akan tetapi ia hanya mendapat amanat dari Presiden
Soekarno lewat surat perintah sebelas maret, dalam hal ini sebenranya Soeharto
salah mengartikan bahwa surat tersebut bukan untuk penggatian kepala
pemerintahan akan tetapi hanya sebatas pemberian kekuasaan sementara. Dengan
latarbelakang militer, Soeharto tentu memiliki sikap yang cenderung keras dan
tegas, dan inilah yang juga ia lakukan saat ia menjabat menjadi presiden.
Selama 32 tahun berkuasa, eksekutif telah tumbuh menjadi lembaga yang sanagat
kuat di mana keputusan keputusan politik, ekonomi dan sosial dirancang, ditetapkan dan dilaksanakan.
Hal ini dapat diartikan negara orde baru menjadi mirip dengan negara negara
kapitalis di Amerika maupun di Asia, di mana keberadaan negara yang kuat
digunakan untuk menjalankan dan mempertahankan proses pembangunan ekonomi tanpa
menyertakan agen sosial lainnya.
Menurut Hikam, pengkristalan sebuah
negara yang sangat kuat ini sselaras dengan model pembangunan yang dikembangkan
oleh Orde Baru, yaitu medel negara kapitalis. Model ini mendyaratkan adanya
negara yang kuat yang mampu menjaga stabilitas politiknya orde baru pada masa
Soeharto memiliki dua strategi pokok dalam menjaga stabilitas politiknya yaitu
dengan menggunakan strategi diskursif dan bangunan insstitusional. Strategi
diskursif meliputi pemikiran pemikiran mengenai diskontinuitas historis dan
konstitusionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana
pengembangan hegemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi untuk
menghalalkan penindasan fisik, pelarangan, dan penggusuran terhadap orang orang
yang tidak sepaham.
Sementara
itu, pada level institusional, pemikiran mengenai negara yang kuat diwujudkan
melalui rancangan korporatis terhadap organisasi organisasi soail politk dan
kelompok kelompok di masyarakat yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan
politk. Dalam sistem birokrasi seperti pada masa orde baru, keputusan pekutusan
penting diformulasikan dalam birokrasi, korps militer, dan administrasi sipil.
Artinya dalam hal ini kebijakan nasional hanya dibuat dalam lingkaran kecil
elit yang berpengaruh, dan biasanya kebijakan tersebut ditunjukkan untuk
merespon nilai nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat
tinggi.
Selama orde baru, lembaga lembaga
maupun kelompok kepentingan telah di bungkam tak terkecuali pers. Kondisi ini
diperparah dengan kebijakan asa tuggal pancasila sehingga parpol tidak dapat
menggunakan ikatan ideologinya untuk mengikat lembaganya tersebut. Akibatnya
birokrasi benar benar menjadi institusi yang dominan dalam sistem politik
Indonesia. Hal tersebut tentutnya mendorong individu individu yang terlibat
didalamnya untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, pada masa
Orde Baru, pers sangatlah dibatasi bahkan dibungkam, buktinya beberapa Koran
dan surat kabar seperti majalah tempo dan tabloid detik telah terkena sanksi
yang berat yaitu pembredelan. Sehingga pada saat itu, media massa tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai refleksi dari apa yang sedang terjadi di
masyarakat,sebaliknya media massa hanya berfungsi sebagai pencitraan dari
pemerintah itu sendiri. Kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun tersebut jika
dilihat sangatlah mustahil dan tidak mungkin seorang presiden menjbat selama
itu, tentunya, faktor apa yang menjadi penopang dari kekuasaan soeharto
tersebut. Secara umum, terdapat empat sumber yang menjadi penopang keuasaan
orde baru. Pertama, represi politik. Sejak orde baru melakukan konsolidasi
politik pada 1970an, tindakan kekerasan dan represif merupakan alat utama dalam
mencapai stabilitas politik.
Selain
itu juga, soeharto juga memberlakukan sistem Dwifungsi ABRI, dimana selain abri
berfungsi menjaga kedaulatan bangsa dan negara abri juga berfungsi sebagai
anggota di pemerintahan, hal tersebut bertujuan untk memudahkan koordinasi
antara atasan dengan bawahan. Kedua, klientelisme ekonomi. Ini dilakukan dengan
melimpahnya sumber ekonomi dari setor minyak dan hasil alam lainnya. dengan
sumber inilah Soeharto dapat menarik simpati dari masyarakat luas. Ketiga,
wacana partikularistik. Wacana tersebut berupa wacana tentang demokrasi
pancasila, tanggung jawab warga negara, Hak Asasi Manusia( HAM) dan
sebagainnya. Politik wacana ini merupakan mekanisme kontrol terhadap persepsi
dan pola pikir partisipan politik. Dan keempat, korporatisme negara.
Korporatisme dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diwujudkan dalam
penunggalan kelompok kelompok profesi seperti PWI( Persatuan Wartawan
Indonesia), PGRI(Persatuan Guru Republik Indonesia), dan lain sebagainnya.
Korporatisme tersebut dilakukan bukan untuk kepentingan aggotanya,melainkan
menjadi alat kontrol terhadap anggotannya yang berpeluang untuk “melawan”
kebijakan rezim Soeharto.
Di
bidang ekonomi, pemerintahan Soeharto telah menyebabkan munculnya bisnis bisnis
liar yang berujung pada tindakan korup yang dilakukan oleh para petinggi
militer. Pada umumnya, para petinngi petinngi TNI maupun POLRI direkrut oleh
soeharto untuk menjadi atasan pada perusahaan perusahaan negara, akibatnya
merekapun lincah dalam menguras menguras perusahaan tersebut demi keuntungan
pribadi. Selain itu, mereka juga melakukan bisnis yang cangkupannya lebih luas
seperti melakukan pungutan terhadap perusahaan perusahaan yang ingin dilindungi
dari dari jarahan kelompok kelompok bersenjata, perdagangan narkoba,
perdagangan pekerja seks, sampai perdagangan flora dan fauna langka.
Pemerintahan soeharto
yang berkepanjangan ternyata semakin lama tidak mengubah kondisi masyarakat Indonesia
menjadi lebih baik, melainkan semakin buruk, dan hanya golongan golongan
tertentu saja yang diuntungkan. Oleh karena itu hal tersebut kemudian yang
menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap rezim Soeharto menjadi menurun, Di
tambah lagi dengan adanya krisis moneter pada era 1997an. Tak dapat dipungkiri,
krisis tersebut ternyata semakin menambah tekanan masyarakat semakin kuat.
Krisis moneter tersebut pada awalnya terjadi pada negara negara asean lain
seperti Thailand, korea selatan, Malaysia, filiphina dan berujung pada negara
Indonesia. Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah
dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan
soeharto menjadi berantakan.
Akibatnyapun tak terelakkan, krisis tersebut
kemudian juga berujung pada krisis politik. Pada tahun berikutnya 1998,
merupakan tahun puncak dari kedua krisis tersebut dimana jumlah pengangguran
semakin bertambah. Sehingga dapat disimpulkan jika pembangunan yang dilakukan
oleh Soeharto selama lebih dari tiga dasawarsa tersebut adalah gagal total.
Konsekuensinya, Soeharto dan pemerintahan tidak dapat meneruskan lagi jabatanya
dan Soeharto pun dipaksa lengser. Rezim otoriter gaya soeharto tersebut pada
akhirnya hanya menyisakan kehancuran bagi bangsa indonesia itu sendiri.
Posisi Militer Pada Masa Keruntuhan Era Orde Baru
Keruntuhan orde baru pada tahun 1998 telah memberikan
dampak yang sangat besar terhadap posisi militer di dalam politik. Jatuhnya
Soeharto pada akhirnya juga membuat surutnya pengaruh politik militer. Hal ini
tidak lepas dari fakta bahwa antara Soeharto dan TNI merupakan satu kesatuan
yang tidak bisa dipisahhkan. Selain itu, secara pribadi soeharto merupakan
orang penting di militer, sedangkan secara kelembagaan soeharto membutuhkan
kelompok yang bisa dipercaya dan mampu menopang kekuasaan yang dimilikinya.
Tentunya kelompok tersebut ada pada lembaga militer. Jatuhnya Soeharto dengan
demikian berakibat pada merosotnya pengaruh posisi militer. Era orde baru pun
digantikan dengan era reformasi yang ditandai dengan adanya pergantian
preseiden dari soeharto oelh B. J Habibie. Adanya perpindahan kekuasaan dari
presiden Soeharto ke wakil preseiden B. J Habibie ternyata telah membawa
perubahan perubahan yang berarti di dalam hubungan antara politik dengan
militer di Indonesia.
Secara
simbolis, peristiwa ini menunjukkan adanya transfer dari pemerintahan bergaya
militer ke pemerintahan yang bergaya sipil. Pada masa pemerintahan soeharto,
TNI dianggap terlalu jauh terlibat dalam politik dan menghambat jalanya
demokrasi selama lebih dari tiga dekade. Bahkan, TNI dianggap sebagai sumber
matinya demokrasi di Indonesia. Selain itu, TNI juga harus bertanggung jawab
atas masalah masalah pelanggaran pelanggaran HAM di beberapa wilayah di Indonesia.
Sebagaimana di negara negara yang mengalami demokratisasi, TNI dituntut untuk
kembali ke barak, sebagai kelompok professional yang menangani masalah masalah
pertahanan saja. Sebagai konsekuensinya TNI harus merevisi konsep “DWIFUNGSI”
yang sudah lama dianutnya. Para petinggi TNI pun merespon tuntutan tersebut. Dalam
pandangan Agus Wirahadikusumah, ia menuturkan bahwa:
Reformasi TNI tidak cukup hanya berarti menghapus
jatah kursi ABRI, di parlemen. Menurut hemat saya, reformasi internal TNI adlah
penataan atau pendefinisian ulang peran TNI, dan ini bersangkut paut dengan
proses dekonstruksi pemikiran dan pandangan tentang bagaimana TNI menafsirkan
dunianya sendiri maupun negara Indonesia pada umumnya. ( Wirahadikusumah,
.1999: 327).
(sumber: buku sistem politik indonesia hal:251)
Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa sebelum jatuhnya pemerintahan soeharto, sudah mulai
terlihat perubahan perubahan dalam relasi antara TNI dengan politik. Hal ini
terlihat pada berkuangnya angggota DPR
yang berasal dari TNI pada hasil pemilu tahun 19997. Selain itu berkurangnya
pengaruh militer itu tidak lepas dari adanya pola pergeseran basis dukungan
presiden Suharto. Selain itu pengaruh
TNI pada politik berkurang akibat adanya kesadaran dari tubuh internal TNI
sendiri hal ini terlihat dari pernyataan resmi Markas Besar TNI yang
menyatakan:
Reformasi internal TNI lahir, bukanlah karena adanya
tekanan dan desakan dari pihak luar, dan tidak juga karena adanya tuntutan
reformasi dan demokratisasi. Tetapi lebih dari itu, hakikat reformasi internal INI merupakan komitmen dan kesadaran TNI untuk
menjawab tantangan masa depan bangsa dalam era globalisasi yang penuh persaingan
antar bangsa.
(sumber: buku sistem politik indonesia hal:253)
Sehingga dapat
disimpulkan, setelah era orde baru lengser dan digantikan dengan era reformasi,
peran dari TNI maupun POLRI sangat berbeda dengan pada waktu era orde baru.
Pada masa reformasi, TNI tidak lagi menjadi alat hegemoni pemerintah akan
tetapi TNI kembali pada fungsi awal, yaitu menjadi alat yang bertugas untuk
menegakkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia di bawah ideologi pancasila.
Peran
Politik TNI Masa Depan
Pada umumnya,
peran TNI pada masa orde baru maupun reformasi tidak jauh berbeda, akan tetapi,
TNI tidak berfungsi lagi sebagai alat pemerintah untuk menguatkan kekuasaanya,
melainkan TNI hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara. Meskipun begitu,
TNI tetap memiliki pengaruh politik di dalam pengambilan kebijakan kebijakan
penting. Misalnya saja ketika terjadi krisis politik pada tahun 2001, atau
keitka konsep NKRI dianggap dalam bahaya, TNI akan mengambil posisi politiknya.
Di samping itu, peran politik TNI pasca pemerintahan soeharto tercermin dalam
penggunaan hak pilih dan dipilih di dalam pemilu. Hal ini tidak lepas dari
kenyataan bahwa TNI maupun POLRI sudah tidak memiliki jatah kursi di DPR sejak
pemilu 2004. Tidak diberikannya hak untuk memilih pada pemillu 2004 tidak lepas
dari usaha yang dilakukan TNI sendri untuk melakukan konsolidasi internal, juga
tuntutandari kelompok kelompok yang prodemokrasi. Dalam hal konsolidasi, adanya
hak memilih dikhawatirkan bisa memecah belah solidaritas internal TNI. Di
kalangan sipil, terdapat kekhawatiran bahwa ketika TNI memiliki hak untuk
memilih akan membuat TNI cenderung untuk mendukung partai tertentu. Hal ini
tidak lepas dari pengalaman masa lalu serta adanya sistem komando di tubuh TNI.
Ketika seorang komadan mendukung partai tertentu, maka anak buahnya pun juga
ikut mendukung partai trsebut.
Meskipun demikian, hak
politik itu bisa saja diberikan ketika sudah terdapat perubahan perubahan besar
di tubuh TNI. Meskipun secara kelembagaan TNI tidak memiliki keterkaitan dengan
kekuatan kekuatan politik yang ada, secara tidak langsung TNI bisa saja
terseret ke dalam persaingan politik ketika hak pilih tersebut diberikan saat
ini. Proses demokratisasi yang mengiringi jatuhnya pemerintahan soeharto telah
member dorongan yang kuat kepada militer untuk kembali ke jati dirinya sebagai
tentara professional. Di dalam jati diri demikian, militer lebih banyak
berperan sebagai kekuatan di bidang pertahanan. Singkatnya, peran politik yang
sudah silakukan selama 4 dekade harus ditinggalkan. Secara kelembagaan hal itu
bisa dilakuakan, sebab hal ini tidak lepas dari tuntutan yang sangat kuat dari
kekuatan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. tetapi, baik secara kelembagaan
maupun secara structural, membangun militer yang terendam dari dunia politik
tidaklah mudah. Karena itu, meskipun secara formal TNI tidak lagi memiliki hak
hak istimewa, seperti memiliki wakil di DPR secara rill, keterlibatan TNI masih
sulit dihilangkan.
Sejarah
Perkembangan Partai Politik
Partai politik
pertama kali muncul di Eropa barat. Dengan meluasnya anggapan bahwa rakyat
merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses
politik, maka partai politk telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi
penghubung antar rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. pada akhir
dekade 18, di negara Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada
kelompok kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini awalnya bersifat elitis
dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan
tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik kemudian juga
berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia panitia yang mengatur
pengumpulan suara para pendukungnya mejelang masa pemilihan umum. Karena dirasa
perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, akhirnya pada
akhir abad ke 19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang
menjadi penghubung antara rakyat dengan
pemerintah.
Pada
awalnya, partai semacam ini hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum,
sedangkan pada masa masa pemilu selanjutnya biasanya kurang aktif. Dalam
perkembangan selanjutnya, di dunia barat timbul pula partai yang lahir diluar
parlemen. Partai ini biasaya berpedoman pada suatu asas atau ideologi tertentu
seperti sosioalisme, fasisme, komunisme, Kristen, demokrat dan sebagainya. Pada
masa menjelang perang dunia I telah timbul klasifikasi partai berdasarkan
ideologi dan ekonomi yaitu partai “kiri” dan “kanan”. Pembagian “kiri” versus
“kanan” berasal dari revolusi prancis waktu parlemen mengadakan siding pada
tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur tradisional duduk disebelah kanan
panggung ketua, sedangkan mereka yang ingin perbahan dan reformasi duduk di
sebelah kiri. Partai politik sendiri dapat diartikan sebagai suatu kelompok terorganisir
yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai nilai, dan cita cita yang sama.
Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya.
Partai politk memiliki beragam tujuan dan fungsi antara lain sebagai sarana
sosialisai politik, sebagai sarana rekrutmen politik, sebagai sarana pengatur
konflik, dan lain sebagainya.
Di Indonesia partai politik muncul pada zaman kolonial
sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Partai partai politik
tersebut umumnya berlandaskan kepentingan sosial (budi utomo), kepentingan
agama( sarekat islam dan partai katolik) atau asas politik sekuler( PNI dan
PKI). Setelah
didirikan Dewan Rakyat, gerakan ini kemudian
dilanjutkan oleh beberapa partai di dalam badan ini. Pada
tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional
di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi
Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah
pimpinan Muhammad Yamin. Pola
kepartaian pada saat itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita dapatkan
pada zaman merdeka denan sistem multipartai. Pada kenyataaanya pada zaman kolonial
kepentingan partai masih dilatarbelakangi oleh tujuan dalam memperoleh
kemerdekaan dan bukan sebagai sarana memntingkan kelompok. Perkembangan
selanjutnya yaitu pada masa penjajahan jepang.
Pada
masa pendududkan jepang partisispasi politik tergolong rendah, karena pada saat
itu, pemerintah jepang tidak mengijinkan berdirinya partai dengan kepentingan
politik,selain itu, semua sistem yang pernah diberlakukan oleh pemerintah kolonial
belanda, dihapus semua dan digantikan oleh sistem yang baru oleh pemerintah
jepang. Pada zaman tersebut, satu satunyaa partai yang boleh berdiri yaitu masyumi.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, partai politik semakin berkembang pesat. Pada
awal revolusi fisik, parta partai politik memainkan peran penting dalam proses
membuat keputusan keputusan yang menetukan nasib msayarakat indoensia. Pada
awal awal kemerdekaan, peran partai politik di indonesia belum seaktif
sekarang, hal itu dikarenakan, parpol pad saat itu, berorientasi pada
perekrutan anggota saja, belum sampai persaingan dalam merebutkan suara. Selain
itu juga, pada masa itu, stabilitas politik masih sangat labil. Taelebih lagi
kemerdekaan indonesai belum sepenuhnya diakui oleh internasional secara de
jure.
Era
tersebut, kemudian digantikan dengan demokrasi pancasila atau lebih dikenal
dengan era orde baru. Pada era ini ditandai dengan mencabut ketetapan No
III/1963 tentang penetapan presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Selain itu, rezim orde baru ketika berkuasa, telah membekukan partai partai yang
dianggap dapat “melawan” rezim dan mempangkasnya hanya menjadi tiga partai
yaitu PPP, GOLKAR dan PDI. Hal itu dilakukan agar partai golkar, sebagai partai
yang dominan dapat menguasai suara rakyat dibandingkan dengan partai paratai
lain. dalam era ini, rezim orde baru sangatlah otoriter, sehinnga bisa
dikatakan jika paratai partai politk dipangkas hanya menjadi tiga partai saja,
itu membuktikan bahwa pada masa orde baru, demokrasi tidak dapat berjalan
secara normal bahkan pada saat itu dapat dikatakan demokrasi sedang mati.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, partai partai politik di Indonesia
berkembang seiring dengan adanya perkembangan rezim yang membentuknya. Misalnya
saja, partai politik pada masa kolonial,
lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.
Pada zaman jepang,
partisipasi politik menurun drastis karena pemerentah jepang pada waktu itu
melarang semua kegiatan yang berbau politik, tersemasuk mendirikan partai
politik. Saat rezim soehartao berkuasa, politik demokrasi sempat dibatasi, dan
bahkan di bebkukan, akan tetapi partai poltik tetap ada namun jumlahnya
dipangkas menjadi tiga saja. Pada saar reformasi sampai sekarang ini, negara
indonesia kembali pada sistem multipartai seperti saat awal kemerdekaan. Partai
politk merupakan saran yang efektif dalam menampung aspirasi rakyat, di samping
itu partai politk juga dapat digunakan sebagai indicator dari suatu negara
terhadap tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik yang terjadi pada negera
tersebut. Selain itu, dapat kita ketahui bahwa pada negara negara yang menganut
sistem demokrasi lebih memiliki banyak partai daripada negara negara yang
menganut sistem komunis maupun sosialis atau rezim otoriter lainnya.
Perkembangan
Partai Politik Pada Masa Sekarang
Pada saat
sekarang, di semua negara tak terkecuali Indonesia telah menunjukkan adanya
penigkatan terhadap budaya berpolitik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
peningkatan partisipasi politik dan diwujudkan dengan banyaknya jumlah partai
politik dari tahun ke tahun. Di Indonesia pasca orde baru dan reformasi, jumlah
partisipan poltik kian bertambah banyak. Secara mendasar ideologi bagi partai merupakan
sebuah idealisme yang menjadi garis
besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang
kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya.
Pada saat sekarang sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia selain
dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari
indikator tersebut terkadang ada partai
yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional,
misalnya, berusaha menggabungkan ciri nasionalisnya dengan kedekatannya
terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam
partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), PDI pun masih bergantung pada karisma Megawati Soekarnoputri
untuk menarik pendukung. Padahal, demi kelangsungan organisasinya, partai ini
seharusnya sudah bisa “mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan
terhadap identitas dan organisasi partai.
Secara organisasi
fisik, partai-partai kita juga masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya
partai-partai besar yang mampu terus eksis di luar kampanye dan pemilu.
Mayoritas partai hanya aktif kalau
pemilu. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada kapasitas
cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi pula, cabang lokal
juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk tetap mengadakan aktivitas.
Sebagian besar partai juga masih mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai
Orde Baru yang punya kantor tetap. Alhasil, kalau mereka sulit mendapat
kontrakan, aktivitas kepartaian mereka menjadi terhenti pula.
Dengan
kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi partai politik
Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para pendukung dan anggotanya.
Dari segi rekrutmen, partai-partai besar biasanya hanya mengandalkan pada suara
yang didapat pada pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan
Golkar kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada
popularitas partainya saat pemilu. Adapun partai-partai muda, seperti PKS dan
PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi kemampuan mereka
untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat lebih mampu untuk konsisten
menjalankan program rekrutmen, sedangkan PAN kesulitan untuk mempertahankan
eksistensinya di tingkat daerah. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang
PAN dapat tetap bertahan tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen
anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai biasanya mengejar
produk instan dari selebrits atau artis sebagai calon anggota legislatif
mereka. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakmampuan dan kemalasan partai
untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi hal ini juga dapat terjadi karena kegagalan partai untuk berkembang pada
masa lalu, dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal
perkembangannya. Terutama bagi partai muda, belum ada kader yang siap maju.
Jadi, pada
dasarnya yang diperlukan oleh partai politik bukan hanya dukungan, tetapi juga kesabaran pemilih untuk memberikan
kesempatan kepada partai politik pilihan mereka. Perjalanan partai politik
Indonesia ke arah kemajuan memang masih sangatlah panjang. Selagi kita belajar
tentang demokrasi selama kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, partai politik
kita juga sedang belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan
tentu saja banyak dan sangat mudah bagi partai politik untuk menjadi non-aktif
dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi pemilih
sangatlah penting untuk menyeleksi partai politik yang kurang efisien.
Eletoral Threshold
Sejak pemilu
pada tahun 1999, Indonesia telah dikenalkan dengan sistem kelembagaan untuk
membangun sistem multipartai secara sederhana yaitu dengan menggunakan metode electoral threshold. Di dalam sistem
pemilihan( electoral system), threshold dapat diartikan sebagai
dukungan suara minimal yang harus dimiliki oleh partai atau seseorang untuk
memperoleh kursi di parlemen. Jadi electoral
threshold dapat diartikan sebagai suatu cara pemilihan yang digunakan
partai, seseorang atau sekelompok untuk mendapatkan kursi/ keuasaan di
parlemen. Wujud dari threshold
tersebut dapat berupa presentase minimal perolehan suara di dalam angka
tertentu. Akan tetapi, antara negara satu dengan negara yang lain memiliki cara
pandang yang berbeda dalam mengimplementasikan presentase tersebut. Sehingga di
sini dapat digaris bawahi, bahwa jika partai partai yang gagal memperoleh
batasan suara minimal, maka berarti partai tersebut gagal memperoleh kursi di
parlemen. Dengan kata lain, perwujudan dari aturan tersebut adalah, hanya
partai partai yang memperoleh suara yang cukup saja yang bisa memperngaruhi
proses politik secara formal karena memiliki kursi di parlemen. Oleh sebab itu,
penerapan threshold juga berdampak
pada peningkatan tingkat disproposionalitas di dalam sistem perwakilan.
Dengan demikian secara
nyata, nnegara yang menggunakan threshold telah mendorong terwujudkannya sistem
multipartai sederhana atau moderat di dalam pemerintahanya. Akan tetapi,
berbeda dengan negara negara lain, di indonesia presentase minimal tidak
bermakna pada batasan terhadap partai partai yang berhak duduk di parlemen,
akan tetapi merujuk pada partai partai yang berhak ikut dalam pemilu
selanjutnya. Memang pada kenyataanya, model threshold
yang dipakai, tidak lepas dari kritik, yaitu cenderung berpihak kepada partai
partai yang memperoleh dukungan besar. Selain itu, mekanisme threshold pada
dasaranya lebih cenderung menguntungkan partai partai yang sudah cukup mapan.
Dengan demikian, pada akhirnya sistem threshold
tersebut berkaitan dengan sistem kepartaian dan efektivitas serta stabilitas di
dalam pemerintahan. Terdapat argument juga yang mengatakan bahwa negara negara
yang menerapkan sistem dua partai memiliki stabilitas yang lebih stabil,
daripada negara negara yang menganut sistem multipartai.
Daftar Pustaka
1.
Sanit, Arbi.
Drs. 1981. Sistem Politik Indonesia:
Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
2.
Marijan, Kacung.
PROF. DR. 2010. Sistem Politik Indonesia:
Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA
GROUP.
3.
Budiarjo,
Miriam. PROF. 2008. Dasar Dasar Ilmu
Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4.
Winarno,
Budi.PROF. DR. 2008. Sistem Politik
Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Buku Kita.
0 komentar:
Posting Komentar