Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Jatuhnya Rezim Soeharto



Tahun1998 telah menjadi tahun paling terburuk bagi jajaran pemerintahan Soeharto setelah kurang lebih 32 tahun ia berkuasa di kancah politik dan pemerintahan di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan kekuasaan Soeharto menjadi rapuh dan kurang mendapat kepercayaan oleh mayoritas rakyat Indonesia. Sebelumnya, pada tahun tahun awal Soeharto mengawali karirnya menjadi presiden di Indonesia,beliau telah memberikan sumbangan yang banya bagi bangsa Indonesia, sehinnga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih maju, musalnya saja, pada saat kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia telah mensukseskan swasembada pangan. Memang presiden Soeharto dalam setiap kepemimpinananya memiliki rencana rencana pembangunan yang terwujud dalam REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama), oleh karena itu, program pembangunan yang dilakukan oleh soeharto dapat berjalan lancar. 


Di samping itu, pemerintahan pada waktu itu, dinilai berjalan stabil, akibat dari dwifungsi ABRI yang dilakukan oleh Soeharto, akibatnya, pemerintahan pemerintahan mayoritas terdiri dari orang orang dari kalangan TNI, hal itu dimaksudkan agar proses koordinasi dalam menjalankan pemerintahan tersebut dapat dijalankan secara mudahdan terkendali. Akan tetapi, bagaimana sesungguhnnya praktek politik yang dijalankan oleh kepemimpinan Soeharto sesuai dengan harapan rakyat pada masa itu, dan apakah pelaksanaannya dapat berjalan dengan lancar?. Di samping itu, jika  pemerintahan soeharto  dinilai lancar, mengapa ia akhirnya di kudeta oleh rakyatnya sendiri pada pertengahan tahun 1998, dan apa yang menyebabkan Soeharto dipaksa untuk turun dari jabatannya sebagai presiden. Pertanyaan tersebut merupakan pembuka dari penjelasan berikutnya mengenai apa sesungguhnya yang dilakukan oleh Soeharto semasa dia menjabat sebagai presiden dan apa yang menjadi penyebab soeharto tersebut lengser dari jabatannya.                                                                                                                 

 Soeharto merupakan sosok presiden yang memiliki latarbelakang sebagai salah satu dari petinggi ABRI. Jika dilihat dari sejarahnya, soeharto sendiri sebenarnya tidak memiliki pengaruh politik di pemerintahan pada masa itu, akan tetapi ia hanya mendapat amanat dari Presiden Soekarno lewat surat perintah sebelas maret, dalam hal ini sebenranya Soeharto salah mengartikan bahwa surat tersebut bukan untuk penggatian kepala pemerintahan akan tetapi hanya sebatas pemberian kekuasaan sementara. Dengan latarbelakang militer, Soeharto tentu memiliki sikap yang cenderung keras dan tegas, dan inilah yang juga ia lakukan saat ia menjabat menjadi presiden. Selama 32 tahun berkuasa, eksekutif telah tumbuh menjadi lembaga yang sanagat kuat di mana keputusan keputusan politik, ekonomi dan  sosial dirancang, ditetapkan dan dilaksanakan. Hal ini dapat diartikan negara orde baru menjadi mirip dengan negara negara kapitalis di Amerika maupun di Asia, di mana keberadaan negara yang kuat digunakan untuk menjalankan dan mempertahankan proses pembangunan ekonomi tanpa menyertakan agen sosial lainnya.                         

 Menurut Hikam, pengkristalan sebuah negara yang sangat kuat ini sselaras dengan model pembangunan yang dikembangkan oleh Orde Baru, yaitu medel negara kapitalis. Model ini mendyaratkan adanya negara yang kuat yang mampu menjaga stabilitas politiknya orde baru pada masa Soeharto memiliki dua strategi pokok dalam menjaga stabilitas politiknya yaitu dengan menggunakan strategi diskursif dan bangunan insstitusional. Strategi diskursif meliputi pemikiran pemikiran mengenai diskontinuitas historis dan konstitusionalisme yang berfungsi tidak hanya sebagai landasan ideologis dimana pengembangan hegemoni kekuasaan dibangun, melainkan sebagai justifikasi untuk menghalalkan penindasan fisik, pelarangan, dan penggusuran terhadap orang orang yang tidak sepaham.                                         

Sementara itu, pada level institusional, pemikiran mengenai negara yang kuat diwujudkan melalui rancangan korporatis terhadap organisasi organisasi soail politk dan kelompok kelompok di masyarakat yang memiliki pengaruh besar dalam penggalangan politk. Dalam sistem birokrasi seperti pada masa orde baru, keputusan pekutusan penting diformulasikan dalam birokrasi, korps militer, dan administrasi sipil. Artinya dalam hal ini kebijakan nasional hanya dibuat dalam lingkaran kecil elit yang berpengaruh, dan biasanya kebijakan tersebut ditunjukkan untuk merespon nilai nilai dan kepentingan pemimpin militer dan birokrat tingkat tinggi.                                

Selama orde baru, lembaga lembaga maupun kelompok kepentingan telah di bungkam tak terkecuali pers. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan asa tuggal pancasila sehingga parpol tidak dapat menggunakan ikatan ideologinya untuk mengikat lembaganya tersebut. Akibatnya birokrasi benar benar menjadi institusi yang dominan dalam sistem politik Indonesia. Hal tersebut tentutnya mendorong individu individu yang terlibat didalamnya untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, pada masa 

Orde Baru, pers sangatlah dibatasi bahkan dibungkam, buktinya beberapa Koran dan surat kabar seperti majalah tempo dan tabloid detik telah terkena sanksi yang berat yaitu pembredelan. Sehingga pada saat itu, media massa tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai refleksi dari apa yang sedang terjadi di masyarakat,sebaliknya media massa hanya berfungsi sebagai pencitraan dari pemerintah itu sendiri. Kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun tersebut jika dilihat sangatlah mustahil dan tidak mungkin seorang presiden menjbat selama itu, tentunya, faktor apa yang menjadi penopang dari kekuasaan soeharto tersebut. Secara umum, terdapat empat sumber yang menjadi penopang keuasaan orde baru. Pertama, represi politik. Sejak orde baru melakukan konsolidasi politik pada 1970an, tindakan kekerasan dan represif merupakan alat utama dalam mencapai stabilitas politik.                                                                                                                    

Selain itu juga, soeharto juga memberlakukan sistem Dwifungsi ABRI, dimana selain abri berfungsi menjaga kedaulatan bangsa dan negara abri juga berfungsi sebagai anggota di pemerintahan, hal tersebut bertujuan untk memudahkan koordinasi antara atasan dengan bawahan. Kedua, klientelisme ekonomi. Ini dilakukan dengan melimpahnya sumber ekonomi dari setor minyak dan hasil alam lainnya. dengan sumber inilah Soeharto dapat menarik simpati dari masyarakat luas. Ketiga, wacana partikularistik. Wacana tersebut berupa wacana tentang demokrasi pancasila, tanggung jawab warga negara, Hak Asasi Manusia( HAM) dan sebagainnya. Politik wacana ini merupakan mekanisme kontrol terhadap persepsi dan pola pikir partisipan politik. Dan keempat, korporatisme negara. Korporatisme dilakukan terhadap organisasi masyarakat yang diwujudkan dalam penunggalan kelompok kelompok profesi seperti PWI( Persatuan Wartawan Indonesia), PGRI(Persatuan Guru Republik Indonesia), dan lain sebagainnya. Korporatisme tersebut dilakukan bukan untuk kepentingan aggotanya,melainkan menjadi alat kontrol terhadap anggotannya yang berpeluang untuk “melawan” kebijakan rezim Soeharto.                                                                                                                                  
 Di bidang ekonomi, pemerintahan Soeharto telah menyebabkan munculnya bisnis bisnis liar yang berujung pada tindakan korup yang dilakukan oleh para petinggi militer. Pada umumnya, para petinngi petinngi TNI maupun POLRI direkrut oleh soeharto untuk menjadi atasan pada perusahaan perusahaan negara, akibatnya merekapun lincah dalam menguras menguras perusahaan tersebut demi keuntungan pribadi. Selain itu, mereka juga melakukan bisnis yang cangkupannya lebih luas seperti melakukan pungutan terhadap perusahaan perusahaan yang ingin dilindungi dari dari jarahan kelompok kelompok bersenjata, perdagangan narkoba, perdagangan pekerja seks, sampai perdagangan flora dan fauna langka.                             
Pemerintahan soeharto yang berkepanjangan ternyata semakin lama tidak mengubah kondisi masyarakat Indonesia menjadi lebih baik, melainkan semakin buruk, dan hanya golongan golongan tertentu saja yang diuntungkan. Oleh karena itu hal tersebut kemudian yang menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap rezim Soeharto menjadi menurun, Di tambah lagi dengan adanya krisis moneter pada era 1997an. Tak dapat dipungkiri, krisis tersebut ternyata semakin menambah tekanan masyarakat semakin kuat. Krisis moneter tersebut pada awalnya terjadi pada negara negara asean lain seperti Thailand, korea selatan, Malaysia, filiphina dan berujung pada negara Indonesia. Implikasi krisis ekonomi dan moneter serta kegagalan pemerintah dalam merespon dan mengatasi krisis tersebut membuat legitimasi pemerintahan soeharto menjadi berantakan. 

Akibatnyapun tak terelakkan, krisis tersebut kemudian juga berujung pada krisis politik. Pada tahun berikutnya 1998, merupakan tahun puncak dari kedua krisis tersebut dimana jumlah pengangguran semakin bertambah. Sehingga dapat disimpulkan jika pembangunan yang dilakukan oleh Soeharto selama lebih dari tiga dasawarsa tersebut adalah gagal total. Konsekuensinya, Soeharto dan pemerintahan tidak dapat meneruskan lagi jabatanya dan Soeharto pun dipaksa lengser. Rezim otoriter gaya soeharto tersebut pada akhirnya hanya menyisakan kehancuran bagi bangsa indonesia itu sendiri. 

Posisi Militer Pada Masa Keruntuhan Era Orde Baru
Keruntuhan orde baru pada tahun 1998 telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap posisi militer di dalam politik. Jatuhnya Soeharto pada akhirnya juga membuat surutnya pengaruh politik militer. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa antara Soeharto dan TNI merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahhkan. Selain itu, secara pribadi soeharto merupakan orang penting di militer, sedangkan secara kelembagaan soeharto membutuhkan kelompok yang bisa dipercaya dan mampu menopang kekuasaan yang dimilikinya. Tentunya kelompok tersebut ada pada lembaga militer. Jatuhnya Soeharto dengan demikian berakibat pada merosotnya pengaruh posisi militer. Era orde baru pun digantikan dengan era reformasi yang ditandai dengan adanya pergantian preseiden dari soeharto oelh B. J Habibie. Adanya perpindahan kekuasaan dari presiden Soeharto ke wakil preseiden B. J Habibie ternyata telah membawa perubahan perubahan yang berarti di dalam hubungan antara politik dengan militer di Indonesia.                                                                                            
 Secara simbolis, peristiwa ini menunjukkan adanya transfer dari pemerintahan bergaya militer ke pemerintahan yang bergaya sipil. Pada masa pemerintahan soeharto, TNI dianggap terlalu jauh terlibat dalam politik dan menghambat jalanya demokrasi selama lebih dari tiga dekade. Bahkan, TNI dianggap sebagai sumber matinya demokrasi di Indonesia. Selain itu, TNI juga harus bertanggung jawab atas masalah masalah pelanggaran pelanggaran HAM di beberapa wilayah di Indonesia. Sebagaimana di negara negara yang mengalami demokratisasi, TNI dituntut untuk kembali ke barak, sebagai kelompok professional yang menangani masalah masalah pertahanan saja. Sebagai konsekuensinya TNI harus merevisi konsep “DWIFUNGSI” yang sudah lama dianutnya. Para petinggi TNI pun merespon tuntutan tersebut. Dalam pandangan Agus Wirahadikusumah, ia menuturkan bahwa:

Reformasi TNI tidak cukup hanya berarti menghapus jatah kursi ABRI, di parlemen. Menurut hemat saya, reformasi internal TNI adlah penataan atau pendefinisian ulang peran TNI, dan ini bersangkut paut dengan proses dekonstruksi pemikiran dan pandangan tentang bagaimana TNI menafsirkan dunianya sendiri maupun negara Indonesia pada umumnya. ( Wirahadikusumah, .1999: 327).
(sumber: buku sistem politik indonesia hal:251)
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sebelum jatuhnya pemerintahan soeharto, sudah mulai terlihat perubahan perubahan dalam relasi antara TNI dengan politik. Hal ini terlihat pada berkuangnya angggota  DPR yang berasal dari TNI pada hasil pemilu tahun 19997. Selain itu berkurangnya pengaruh militer itu tidak lepas dari adanya pola pergeseran basis dukungan presiden Suharto.  Selain itu pengaruh TNI pada politik berkurang akibat adanya kesadaran dari tubuh internal TNI sendiri hal ini terlihat dari pernyataan resmi Markas Besar TNI yang menyatakan:

Reformasi internal TNI lahir, bukanlah karena adanya tekanan dan desakan dari pihak luar, dan tidak juga karena adanya tuntutan reformasi dan demokratisasi. Tetapi lebih dari itu, hakikat reformasi internal INI merupakan komitmen dan kesadaran TNI untuk menjawab tantangan masa depan bangsa dalam era globalisasi yang penuh persaingan antar bangsa.
(sumber: buku sistem politik indonesia hal:253)
Sehingga dapat disimpulkan, setelah era orde baru lengser dan digantikan dengan era reformasi, peran dari TNI maupun POLRI sangat berbeda dengan pada waktu era orde baru. Pada masa reformasi, TNI tidak lagi menjadi alat hegemoni pemerintah akan tetapi TNI kembali pada fungsi awal, yaitu menjadi alat yang bertugas untuk menegakkan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia di bawah ideologi pancasila.
Peran Politik TNI Masa Depan
Pada umumnya, peran TNI pada masa orde baru maupun reformasi tidak jauh berbeda, akan tetapi, TNI tidak berfungsi lagi sebagai alat pemerintah untuk menguatkan kekuasaanya, melainkan TNI hanya berfungsi sebagai alat pertahanan negara. Meskipun begitu, TNI tetap memiliki pengaruh politik di dalam pengambilan kebijakan kebijakan penting. Misalnya saja ketika terjadi krisis politik pada tahun 2001, atau keitka konsep NKRI dianggap dalam bahaya, TNI akan mengambil posisi politiknya. 

Di samping itu, peran politik TNI pasca pemerintahan soeharto tercermin dalam penggunaan hak pilih dan dipilih di dalam pemilu. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa TNI maupun POLRI sudah tidak memiliki jatah kursi di DPR sejak pemilu 2004. Tidak diberikannya hak untuk memilih pada pemillu 2004 tidak lepas dari usaha yang dilakukan TNI sendri untuk melakukan konsolidasi internal, juga tuntutandari kelompok kelompok yang prodemokrasi. Dalam hal konsolidasi, adanya hak memilih dikhawatirkan bisa memecah belah solidaritas internal TNI. Di kalangan sipil, terdapat kekhawatiran bahwa ketika TNI memiliki hak untuk memilih akan membuat TNI cenderung untuk mendukung partai tertentu. Hal ini tidak lepas dari pengalaman masa lalu serta adanya sistem komando di tubuh TNI. Ketika seorang komadan mendukung partai tertentu, maka anak buahnya pun juga ikut mendukung partai trsebut.                                                                                                                                
 Meskipun demikian, hak politik itu bisa saja diberikan ketika sudah terdapat perubahan perubahan besar di tubuh TNI. Meskipun secara kelembagaan TNI tidak memiliki keterkaitan dengan kekuatan kekuatan politik yang ada, secara tidak langsung TNI bisa saja terseret ke dalam persaingan politik ketika hak pilih tersebut diberikan saat ini. Proses demokratisasi yang mengiringi jatuhnya pemerintahan soeharto telah member dorongan yang kuat kepada militer untuk kembali ke jati dirinya sebagai tentara professional. Di dalam jati diri demikian, militer lebih banyak berperan sebagai kekuatan di bidang pertahanan. Singkatnya, peran politik yang sudah silakukan selama 4 dekade harus ditinggalkan. Secara kelembagaan hal itu bisa dilakuakan, sebab hal ini tidak lepas dari tuntutan yang sangat kuat dari kekuatan kekuatan yang ada di dalam masyarakat. tetapi, baik secara kelembagaan maupun secara structural, membangun militer yang terendam dari dunia politik tidaklah mudah. Karena itu, meskipun secara formal TNI tidak lagi memiliki hak hak istimewa, seperti memiliki wakil di DPR secara rill, keterlibatan TNI masih sulit dihilangkan.  

Sejarah Perkembangan Partai Politik
Partai politik pertama kali muncul di Eropa barat. Dengan meluasnya anggapan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan dan diikutsertakan dalam proses politik, maka partai politk telah lahir secara spontan dan berkembang menjadi penghubung antar rakyat di satu pihak dan pemerintah di pihak lain. pada akhir dekade 18, di negara Inggris dan Prancis, kegiatan politik dipusatkan pada kelompok kelompok politik dalam parlemen. Kegiatan ini awalnya bersifat elitis dan aristokratis, mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutan tuntutan raja. Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik kemudian juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia panitia yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya mejelang masa pemilihan umum. Karena dirasa perlu memperoleh dukungan dari berbagai golongan masyarakat, akhirnya pada akhir abad ke 19 lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang menjadi penghubung antara rakyat  dengan pemerintah.                                        
 Pada awalnya, partai semacam ini hanya mengutamakan kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa masa pemilu selanjutnya biasanya kurang aktif. Dalam perkembangan selanjutnya, di dunia barat timbul pula partai yang lahir diluar parlemen. Partai ini biasaya berpedoman pada suatu asas atau ideologi tertentu seperti sosioalisme, fasisme, komunisme, Kristen, demokrat dan sebagainya. Pada masa menjelang perang dunia I telah timbul klasifikasi partai berdasarkan ideologi dan ekonomi yaitu partai “kiri” dan “kanan”. Pembagian “kiri” versus “kanan” berasal dari revolusi prancis waktu parlemen mengadakan siding pada tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur tradisional duduk disebelah kanan panggung ketua, sedangkan mereka yang ingin perbahan dan reformasi duduk di sebelah kiri. Partai politik sendiri dapat diartikan sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilai nilai, dan cita cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Partai politk memiliki beragam tujuan dan fungsi antara lain sebagai sarana sosialisai politik, sebagai sarana rekrutmen politik, sebagai sarana pengatur konflik, dan lain sebagainya. 

Di Indonesia partai politik muncul pada zaman kolonial sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Partai partai politik tersebut umumnya berlandaskan kepentingan sosial (budi utomo), kepentingan agama( sarekat islam dan partai katolik) atau asas politik sekuler( PNI dan PKI). Setelah didirikan Dewan Rakyat, gerakan ini kemudian dilanjutkan oleh beberapa partai di dalam badan ini. Pada tahun 1939 terdapat beberapa fraksi di dalam Dewan Rakat, yaitu Fraksi Nasional di bawah pimpinan M. Husni Thamin, PPBB (Perhimpunan Pegawai Bestuur Bumi Putera) di bawah pimpinan Prawoto dan Indonesische Nationale Groep di bawah pimpinan Muhammad Yamin. Pola kepartaian pada saat itu menunjukkan keanekaragaman dan pola ini kita dapatkan pada zaman merdeka denan sistem multipartai. Pada kenyataaanya pada zaman kolonial kepentingan partai masih dilatarbelakangi oleh tujuan dalam memperoleh kemerdekaan dan bukan sebagai sarana memntingkan kelompok. Perkembangan selanjutnya yaitu pada masa penjajahan jepang.                              
 Pada masa pendududkan jepang partisispasi politik tergolong rendah, karena pada saat itu, pemerintah jepang tidak mengijinkan berdirinya partai dengan kepentingan politik,selain itu, semua sistem yang pernah diberlakukan oleh pemerintah kolonial belanda, dihapus semua dan digantikan oleh sistem yang baru oleh pemerintah jepang. Pada zaman tersebut, satu satunyaa partai yang boleh berdiri yaitu masyumi. Pada masa kemerdekaan Indonesia, partai politik semakin berkembang pesat. Pada awal revolusi fisik, parta partai politik memainkan peran penting dalam proses membuat keputusan keputusan yang menetukan nasib msayarakat indoensia. Pada awal awal kemerdekaan, peran partai politik di indonesia belum seaktif sekarang, hal itu dikarenakan, parpol pad saat itu, berorientasi pada perekrutan anggota saja, belum sampai persaingan dalam merebutkan suara. Selain itu juga, pada masa itu, stabilitas politik masih sangat labil. Taelebih lagi kemerdekaan indonesai belum sepenuhnya diakui oleh internasional secara de jure.        

 Era tersebut, kemudian digantikan dengan demokrasi pancasila atau lebih dikenal dengan era orde baru. Pada era ini ditandai dengan mencabut ketetapan No III/1963 tentang penetapan presiden soekarno sebagai presiden seumur hidup. Selain itu, rezim orde baru ketika berkuasa, telah membekukan partai partai yang dianggap dapat “melawan” rezim dan mempangkasnya hanya menjadi tiga partai yaitu PPP, GOLKAR dan PDI. Hal itu dilakukan agar partai golkar, sebagai partai yang dominan dapat menguasai suara rakyat dibandingkan dengan partai paratai lain. dalam era ini, rezim orde baru sangatlah otoriter, sehinnga bisa dikatakan jika paratai partai politk dipangkas hanya menjadi tiga partai saja, itu membuktikan bahwa pada masa orde baru, demokrasi tidak dapat berjalan secara normal bahkan pada saat itu dapat dikatakan demokrasi sedang mati. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa, partai partai politik di Indonesia berkembang seiring dengan adanya perkembangan rezim yang membentuknya. Misalnya saja, partai politik  pada masa kolonial, lahir sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. 

Pada zaman jepang, partisipasi politik menurun drastis karena pemerentah jepang pada waktu itu melarang semua kegiatan yang berbau politik, tersemasuk mendirikan partai politik. Saat rezim soehartao berkuasa, politik demokrasi sempat dibatasi, dan bahkan di bebkukan, akan tetapi partai poltik tetap ada namun jumlahnya dipangkas menjadi tiga saja. Pada saar reformasi sampai sekarang ini, negara indonesia kembali pada sistem multipartai seperti saat awal kemerdekaan. Partai politk merupakan saran yang efektif dalam menampung aspirasi rakyat, di samping itu partai politk juga dapat digunakan sebagai indicator dari suatu negara terhadap tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik yang terjadi pada negera tersebut. Selain itu, dapat kita ketahui bahwa pada negara negara yang menganut sistem demokrasi lebih memiliki banyak partai daripada negara negara yang menganut sistem komunis maupun sosialis atau rezim otoriter lainnya. 

Perkembangan Partai Politik Pada Masa Sekarang

Pada saat sekarang, di semua negara tak terkecuali Indonesia telah menunjukkan adanya penigkatan terhadap budaya berpolitik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan partisipasi politik dan diwujudkan dengan banyaknya jumlah partai politik dari tahun ke tahun. Di Indonesia pasca orde baru dan reformasi, jumlah partisipan poltik kian bertambah banyak.  Secara mendasar ideologi bagi partai merupakan sebuah  idealisme yang menjadi garis besar bagi kegiatan dan organisasi partai. Bisa jadi karena identitas yang kurang kuat inilah, partai Indonesia secara umum masih mencari jati dirinya. Pada saat sekarang sangat sulit membedakan partai-partai Indonesia selain dengan mengelompokkan mereka dalam kelompok partai agamis dan sekuler. Dari indikator tersebut  terkadang ada partai yang terlihat berusaha menggabungkan kedua unsur ini. Partai Amanat Nasional, misalnya, berusaha menggabungkan ciri nasionalisnya dengan kedekatannya terhadap Muhammadiyah. Lemahnya ideologi bahkan bisa dilihat dalam partai-partai utama. Partai besar, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), PDI pun masih bergantung pada karisma Megawati Soekarnoputri untuk menarik pendukung. Padahal, demi kelangsungan organisasinya, partai ini seharusnya sudah bisa “mengalihkan” dukungan terhadap pemimpin menjadi dukungan terhadap identitas dan organisasi partai.                                                                                                        

 Secara organisasi fisik, partai-partai kita juga masih sangat lemah. Di tingkat masyarakat, hanya partai-partai besar yang mampu terus eksis di luar kampanye dan pemilu. Mayoritas partai hanya aktif kalau  pemilu. Kemampuan untuk tetap aktif sangat bergantung pada kapasitas cabang partai dan komitmen pemimpin di tingkat lokal. Lagi pula, cabang lokal juga sangat bergantung pada ketersediaan dana untuk tetap mengadakan aktivitas. Sebagian besar partai juga masih mengontrak kantor cabangnya, dan hanya partai Orde Baru yang punya kantor tetap. Alhasil, kalau mereka sulit mendapat kontrakan, aktivitas kepartaian mereka menjadi terhenti pula.           

Dengan kapasitas organisasi yang seperti ini, sangat sulit bagi partai politik Indonesia membangun hubungan yang stabil dengan para pendukung dan anggotanya. Dari segi rekrutmen, partai-partai besar biasanya hanya mengandalkan pada suara yang didapat pada pemungutan suara sebelumnya. Partai-partai seperti PDIP dan Golkar kurang mementingkan rekrutmen dan lebih menggantungkan diri pada popularitas partainya saat pemilu. Adapun partai-partai muda, seperti PKS dan PAN, memang memprioritaskan rekrutmen anggota baru, tetapi kemampuan mereka untuk merekrut sangatlah berbeda. PKS terlihat lebih mampu untuk konsisten menjalankan program rekrutmen, sedangkan PAN kesulitan untuk mempertahankan eksistensinya di tingkat daerah. Hanya dengan komitmen para kadernya, cabang PAN dapat tetap bertahan tetapi aktivitasnya sangat terbatas. Dengan manajemen anggota yang semacam ini, tidaklah mengherankan bahwa partai biasanya mengejar produk instan dari selebrits atau artis sebagai calon anggota legislatif mereka. Hal ini tentu menunjukkan adanya ketidakmampuan dan kemalasan partai untuk mendidik dan memupuk kadernya sendiri. Tapi hal ini juga dapat terjadi  karena kegagalan partai untuk berkembang pada masa lalu, dan pada masa reformasi ini pun mereka juga masih dalam tahap awal perkembangannya. Terutama bagi partai muda, belum ada kader yang siap maju.                                                                                            
Jadi, pada dasarnya yang diperlukan oleh partai politik bukan hanya dukungan, tetapi  juga kesabaran pemilih untuk memberikan kesempatan kepada partai politik pilihan mereka. Perjalanan partai politik Indonesia ke arah kemajuan memang masih sangatlah panjang. Selagi kita belajar tentang demokrasi selama kurang-lebih sepuluh tahun terakhir, partai politik kita juga sedang belajar tentang organisasi dan manajemen. Godaan dan tantangan tentu saja banyak dan sangat mudah bagi partai politik untuk menjadi non-aktif dan kembali ke praktek politik uang. Karena itulah partisipasi pemilih sangatlah penting untuk menyeleksi partai politik yang kurang efisien.

Eletoral Threshold
Sejak pemilu pada tahun 1999, Indonesia telah dikenalkan dengan sistem kelembagaan untuk membangun sistem multipartai secara sederhana yaitu dengan menggunakan metode electoral threshold. Di dalam sistem pemilihan( electoral system), threshold dapat diartikan sebagai dukungan suara minimal yang harus dimiliki oleh partai atau seseorang untuk memperoleh kursi di parlemen. Jadi electoral threshold dapat diartikan sebagai suatu cara pemilihan yang digunakan partai, seseorang atau sekelompok untuk mendapatkan kursi/ keuasaan di parlemen. Wujud dari threshold tersebut dapat berupa presentase minimal perolehan suara di dalam angka tertentu. Akan tetapi, antara negara satu dengan negara yang lain memiliki cara pandang yang berbeda dalam mengimplementasikan presentase tersebut. Sehingga di sini dapat digaris bawahi, bahwa jika partai partai yang gagal memperoleh batasan suara minimal, maka berarti partai tersebut gagal memperoleh kursi di parlemen. Dengan kata lain, perwujudan dari aturan tersebut adalah, hanya partai partai yang memperoleh suara yang cukup saja yang bisa memperngaruhi proses politik secara formal karena memiliki kursi di parlemen. Oleh sebab itu, penerapan threshold juga berdampak pada peningkatan tingkat disproposionalitas di dalam sistem perwakilan.                                                                                                  
Dengan demikian secara nyata, nnegara yang menggunakan threshold telah mendorong terwujudkannya sistem multipartai sederhana atau moderat di dalam pemerintahanya. Akan tetapi, berbeda dengan negara negara lain, di indonesia presentase minimal tidak bermakna pada batasan terhadap partai partai yang berhak duduk di parlemen, akan tetapi merujuk pada partai partai yang berhak ikut dalam pemilu selanjutnya. Memang pada kenyataanya, model threshold yang dipakai, tidak lepas dari kritik, yaitu cenderung berpihak kepada partai partai yang memperoleh dukungan besar. Selain itu, mekanisme threshold pada dasaranya lebih cenderung menguntungkan partai partai yang sudah cukup mapan. Dengan demikian, pada akhirnya sistem threshold tersebut berkaitan dengan sistem kepartaian dan efektivitas serta stabilitas di dalam pemerintahan. Terdapat argument juga yang mengatakan bahwa negara negara yang menerapkan sistem dua partai memiliki stabilitas yang lebih stabil, daripada negara negara yang menganut sistem multipartai.













Daftar Pustaka
1.      Sanit, Arbi. Drs. 1981. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2.      Marijan, Kacung. PROF. DR. 2010. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru. Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
3.      Budiarjo, Miriam. PROF. 2008. Dasar Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
4.      Winarno, Budi.PROF. DR. 2008. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Buku Kita.

0 komentar:

Posting Komentar