Teori ini dikemukakan oleh Peter
Ludwig Berger dan Luckmann. Keduanya
begitu mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu
“realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai kualitas yang
melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar
kehendak kita. Maksudnya,
realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai
kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu.
Terlepas dari individu itu suka
atau tidak, mau atau tidak, realitas tetap ada. Sedangkan “pengetahuan” mereka
artikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai
karakteristik tertentu. Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir
dalam kesadaran individu. Jadi, realitas yang bersifat subyektif (Hanneman
Samuel, 2012:14). Jika
kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger
dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:
a. Realitas merupakan hasil ciptaan
manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di
sekelilingnya.
b. Hubungan antara pemikiran manusia
dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan
dilembagakan.
c. Kehidupan masyarakat itu
dikonstruksi secara terus menerus.
Membedakan antara
realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat
di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak
bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan
sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman mengatakan
institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan
dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata
secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi
subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui
penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi
subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia
menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya
yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial
serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya, jika dilihat
dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial
yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni
subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga
berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi
dan internalisasi.
a. Objective reality,
merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan
) serta rutinitas tindakan dan tingkah
laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara
umum sebagai fakta.
b. Symblolic reality,
merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective
reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak
atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.
c. Subjective reality,
merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing
individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi,
atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.
Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi
melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang
baru.
Melalui sentuhan Hegel
yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan
antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal
dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.
a. Eksternalisasi ialah penyesuaian
diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human
product”.
b. Objektivasi ialah interaksi sosial
dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi.
“Society is an objective reality”.
c. Internalisasi ialah individu
mengidentifikasi diri di tengah
lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi
anggotanya. “Man is a social product”
Jika teori-teori sosial tidak
menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay)
atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis.
Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi)
sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam
(internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan
berada dalam diri atau kenyataan
subyektif. Konstruksi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua
hal yang menonjol melihat realitas peran
media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.
Pelembagaan dalam perspektif Berger
terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan
(habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan
menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya
sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi
yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe
pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.
Sementara
legitimasi menghasilkan makna-makna baru
yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada
proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk
membuat obyektivasi yang sudah
dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif. Hal
ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus
bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses
kelembagaan yang berbeda.
Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media
), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan
kelembagaan harus diberi makna subyektif.
Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama,
dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut .
Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan
akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar
soal “nilai-nilai” ia juga selalu mengimplikasikan “pengetahuan”. Kalau pelembagaan dan legitimasi
merupakan dimensi obyektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi
subyektinya.
Analisis Berger menyatakan, bahwa individu
dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota
masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu
pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama
internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.
Gagasan konstuksi sosial
telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap
teks, wacana, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction.
Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan
(interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas realitas sosial (Heru
Nugroho. 1999: 123). Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu
mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.Derrida (1978) kemudian
menjelaskan,bahwa interpretasi yang digunakan individu terhadap analisis sosial
yang bersifat sewenang-wenang.
Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan dengan gagasan Habermas (1972)
bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik
empirik-analiti, historis hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan
(tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walau tidak dapat disangkal
bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk
kepentingan.
Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah realitas
sosial masyarakat,seperti konsep,kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil
dari konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses
eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann,
konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan
kepentingan-kepentingan. Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran
umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa,
seperti birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi
terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual
secara kontektual.
Kondisi dominasi ini kemudian
berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat
sehingga wacana yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh masyarakat
sebagai akibat dari hegemoni itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho
bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan oleh
negara itu disebut ”Desublimasi
represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun
implikasinya dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat. Gejala
seperti di atas tidak lain sebagai produk dari keberadaan rezim pemaknaan
(regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna
atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.rezim dimaksud
adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal sebagai representasi
dari penguasa negara.
Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang
konstruksi sosial, bersebrangan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan
Gramsci. Dengan demikian, gagasan-gagasan membentuk dua kutup dalam satu garis
linier atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat
dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial
atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian
dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi,
sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian
analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut.
Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial merupakan dua konsep
gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas
sosial.
Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif
masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada
proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman
mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari
dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan
demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik
penciptanya maupun individu lain.
Kondisi ini berlangsung tanpa harus
mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu bisa terjadi tanpa melalui
penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui
diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka
antara individu dan pencipta produk sosial itu. Hal terpenting dalam
objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh
manusia. Berger dan luckmann mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat
dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, karena tujuannnya yang ekplisit
untuk digunakan sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka
objectivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat
untuk maksud itu (Berger dan Luckmann, 1990: 50).
Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat
didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa
trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian
pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal dari
”disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa
memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan
tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang
berdasarkan kenyataan lain,tidak dapat dimasuki dalam pengalaman
sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain.
Agama,
Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan,
secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini
(Berger dan Luckmann, 1990, hlm.57). Bahasa merupakan alat simbolis untuk
melakukan signifikasi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada
dunia sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan
menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. ”Logika” yang dengan cara itu,
diberikan kepada tatanan kelembagaan ,merupakan bagian dari cadangan
pengetahuan masyarakat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai sudah
sewajarnya.
Bahasa oleh Berger dan Luckmann menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar
endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya, sebagai
keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya
semula. Bahasa digunakan untuk memberi signifikasi pada makna-makna yang
dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya, pengetahuan itu
dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi
tipe-tipe orang tertentu saja.
Dalam kehidupan sehari-hari
pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari
beberapa anggota masyarakat.Tipikasi itu kemudian menjadi dasar membedakan
orang di dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka
bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif yang pada
gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik.
Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus
ada kosakata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi
linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari pemberian tanda verbal
yang sederhana sampai pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks.
Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu saat akan sampai
kepada sebuah representasi yang oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par
exellence.
0 komentar:
Posting Komentar