Blogger templates

Pages

Labels

Minggu, 13 April 2014

Konstruksi Sosial Peter L Berger




            Teori ini dikemukakan oleh Peter Ludwig Berger dan  Luckmann. Keduanya begitu mendasarkan diri pada dua gagasan sosiologi pengetahuan, yaitu “realitas” dan “pengetahuan”. “Realitas” mereka artikan sebagai kualitas yang melekat pada fenomena yang kita anggap berada diluar
kehendak kita. Maksudnya, realitas merupakan fakta sosial yang bersifat eksternal, umum, dan mempunyai kekuatan memaksa kesadaran masing-masing individu.

Terlepas dari individu itu suka atau tidak, mau atau tidak, realitas tetap ada. Sedangkan “pengetahuan” mereka artikan sebagai keyakinan bahwa suatu fenomena riil dan mereka mempunyai karakteristik tertentu. Maksudnya, pengetahuan merupakan realitas yang hadir dalam kesadaran individu. Jadi, realitas yang bersifat subyektif (Hanneman Samuel, 2012:14). Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah:
 
a.       Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya.
b.      Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan.
c.       Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus.
Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.                                         

 Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.                                                                                                 
 Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.

a.       Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan  dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
b.      Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.
c.       Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.
Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.
a.       Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”.
b.      Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
c.       Internalisasi ialah individu mengidentifikasi  diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product”
             
Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian  ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri  atau kenyataan subyektif. Konstruksi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol  melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.                                         

Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.  

Sementara legitimasi menghasilkan  makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi  yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif.    Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. 

Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif.  Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” ia juga selalu mengimplikasikan “pengetahuan”. Kalau pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi obyektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya.            

 Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif  sebagai suatu pengungkapan  makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi. 

 Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas realitas sosial (Heru Nugroho. 1999: 123). Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.Derrida (1978) kemudian menjelaskan,bahwa interpretasi yang digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang.                                                              

Gagasan-gagasan Derrida  itu sejalan dengan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walau tidak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.  

Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat,seperti konsep,kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan. Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontektual.  
            
Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat sehingga wacana yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari hegemoni itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan oleh negara itu disebut  ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat. Gejala seperti di atas tidak lain sebagai produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal sebagai representasi dari penguasa negara.                                            

Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Dengan demikian, gagasan-gagasan membentuk dua kutup dalam satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial merupakan dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.  

Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap  muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung. Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain.                                                                                                                         

 Kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu bisa terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individu dan pencipta produk sosial itu. Hal terpenting dalam objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Berger dan luckmann mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, karena tujuannnya yang ekplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu (Berger dan Luckmann, 1990: 50).                                                                                                                                    
Sebuah wilayah penandaan (signifikasi)  menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal dari ”disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan kenyataan lain,tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. 

Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini (Berger dan Luckmann, 1990, hlm.57). Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,merupakan bagian dari cadangan pengetahuan masyarakat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai sudah sewajarnya.  

Bahasa oleh Berger dan Luckmann menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan untuk memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya, pengetahuan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja.                                                                                                                 

Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota masyarakat.Tipikasi itu kemudian menjadi dasar membedakan orang di dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif yang pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik.   

Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari pemberian tanda verbal yang sederhana sampai pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yang oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.

0 komentar:

Posting Komentar