Dalam peneliatian
kualitatif, terdapat beberepa tipe atau perspektif yang dapat digunakan untuk
mengaplikasikan dan mendalami obyek yang sedang kita teliti antara lain
yaitu, penelitian dengan metode fenomenologi,
penelitian grounded, penelitian etnografi, penelitian historis, penelitian
kasus, penelitian filosofis, dan penelitian kritik sosial. Jenis jenis
penelitian tersebut dapat digunakan dalam berbagai kasus yang berbeda beda.
Salah satu perspektif yang akan saya bahas pada kali ini adalah mengenai
perspektif etnografi.
Bagi seorang etnografer, istilah etnografi sendiri
tentunya tidak asing lagi bagi mereka. Secara sekilas, etnografi sendiri dapat
diartikan sebagai sebuah tulisan tentang etnis atau bangsa tertentu yang di
tulis oleh seorang antropolog. Etnografi juga dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk
mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan
setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan
teknik pengumpulan data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang
meyakinkan. Dalam penulisan atau
pembuatannya, seorang etnigrafer memerlukan waktu berbulan bulan bahkan
bertahun tahun dalam menyelesaikan sebuah tulisannya. Dalam dunia antropologi,
penulisan etnografi merupakan suatu gaya yang khas, sehingga dalam
perkembangannnya saat ini etnografi juga menjadi sebuah metode dalam
penelitian.
Bicara etnografi tidak bisa
dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu
kelompok orang-orang, lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak dapat dilepaskan dari
permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu
sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan
melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori
kebudayaan atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan
berperilaku yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Tulisan - tulisan
etnografi juga banyak yang terkenal antara lain yaitu seperti Malinowski yang
menulis tentang masyarakat Trobiand, Evans Pritchard yang menulis tentang
masyarakat Nuer, Geertz tentang Islam di Jawa, dll. Pada awalnya etnografi
banyak digunakan oleh orang orang eropa dan amerika yang pada masa kolonial
melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah di benua asia dan afrika. Sehingga
timbul suatu persepsi jika etnografi condong sebagaimana kaum colonial
menggambarkan kaum kaum yang terjajah. Karakteristik dari metode ini adalah
sifat analisisnya yang mendalam, kualitatif, dan holistik intergratif.
Dengan
sendirinya teknik utama dalam pengaplikasia metode ini adalah observasi
partisipasi yang dilakukan dalam waktuyang relative lama serta dengan wawancara
yang mendalam (depth interview) yang
dilakukan secara terbuka. Oleh sebab itu seorang etnografer tidak hanya
menggunakan paparan di atas akan tetapi mereka juga harus benar benar memahami
pikiran, perilaku, dan kebudayaan sebuah masyarakat. Seorang etnografer tidak
cukup hanya bertemu dengan subyek penelitian untuk satu atau dua kali
sebagaimana tradisi penelitian kuantitatif yang identik dengan pertanyaan yang
terstruktur. Etnografer adalah peneliti yang menjadi bagian dari masyarakat
yang diteliti, namun dia tetap berposisi sebagai seorang peneliti. Sebagai
sebuah metode yang baru etnografi mengalami perkembangan bertahap.
Jika pada
awalnya etnografi banyk di susun oleh pada misionaris dan kolonialis yang
memandang masyarakat Asia dan Afrika sebagai masyarakat yang terelakang, pada
saat ini justru etnografi memandang masyrakat asia sebagai masyarakat yang
hidup di alam dan sama seperti masyarakat yang disebut ‘modern’. Etnografi
kemudian semakin berkembang dan menjadi salah satu metode penelitian yang
modern. Sehingga etnografi tidak lagi di batasi studinya pada masyarakat
tradisional, tetapi merambah ke persoalan persoalan modern seperti gaya hidup.
Dalam praktiknya, etnografi memiliki beberapa
karakteristik, antara lain yaitu:
1. Sangat menekankan
pada penggalian alamiah fenomena sosial yang khusus dan tidak dimaksudkan untuk
menguji hipotesis.
2. Cenderung bekerja
dengan data terstruktr dan rancangan penelitiannya bersifat terbuka.
3. Peneliti bertindak
sebagai instrument yang berupaya menggali data atau informasi yang dibutuhkan
terkait dengan fokus pennelitian.
4. Kasua yang diteliti
cendrung sedikit atau bahkan hanya satu saja dan di kaji secara mendalam (depth analysis).
5. Analisis data tentang
makna dan fungsi perilaku manusia ditafsirkan secara eksplisit dalam bentuk
deskripsi dan penjelasan verbal.
6. Tidak menggunakan
analisis statistic, namun tidak berarti menolak data yang berupa angka angka.
Persoalan nilai
Jika melihat secara
sekilas bahwa etnografi merupakan metode yang di mana seorang etnografer di
tuntut totalitas dan mendalam dalam melakukan studinya. Olh karena itu, hasil
dari studi mereka juga diharapakan sangatlah bersifat obyektif. Namun di sisi
lain, bahwa hasil dari studi etonografi tersebut juga sangat di pengaruhi oleh
latarbelakang dari sang etnografer tersebut. Kita bisa mengambil contoh
misalnya ada dua orang yang bertugas mendalami permasalahan mengenai fenomena
waria. Kemudian dua orang tersebut di tanya, bagaimana tanggapan anda mengenai
waria tersebut. Orang pertama menjawab”….saya benar benar tidak mengerti.
Menagapa
dia seperti itu, padahal sudah jelas bahwa agama sudah melarangnya”. Kemudian
orang tersebut menunjjukkan dalil dalilnya bahwa perilaku tersebut sangat
dilarang. Orang kedua kemudian menjawab:….saya sangat kasihan melihat orang
itu, mereka di usir dari keluarga, di kucilkan dan di benci oleh masyarakat,
dan tentunya hidup mereka tidak menentu karena tidak memiliki bekal pendidikan
yang jelas”. Dari hal di atas, timbul pertanyaan, “mengapa dapat terjadi
demikian”?. Terkadang obyektifitas dari sebuah hasil penelitian sangatlah
bergantung bukan dari penelitian itu sendiri melainkan dari sang peneliti itu
sendiri, terbukti dari contoh di atas dapat di ketahui bahwa orang pertama
merupakan orang yang sangat taat dalam beragama dan sangat meyakini ajaran ajaran
agama yang dianutnya serta berasal dari keluarga yang memiliki agama yang kuat,
sedangkan orang kedua dapat diketahui jika dia adalah seseorang yang berasal
dari orang biasa dan berasal dari latar belakang agama yang biasa pula.
Dari
contoh di atas pula dapat kita ambil kesimpulan bahwa kebenaran bukanlah
sesuatu yang sederhana, meskipun terlihat nyata. Perbedaan perspektif merupakan
bagian dari sebuah perbincangan yang terus menerus di presentasikan, sehingga
tidak pernah ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah kebenaran parsial. Setiap
kelompok orang, yang biasa disebut reference
group, seperti kelompok agama, politik, kelompok sebaya dan kelompok lain,
tentu memiliki persepsi yang berbeda beda dalam melihat sebuah persoalan sosial
dan budaya. Spradley (1997) menjelaskan bahwa cara pandang kita terhadap suatu
persoalan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, karena seperti yang kita ketahui
kebudayaan menetukan cara kita dalam berperilaku.
Misalya saja, kebudayaan
eropa mengenal rice untuk menyebut
berbagai jenis olahan dari padi atau beras, berbeda dengan masyarakat jawa yang
terdapat banyak istilah seperti gabah, beras, menir, sega, bubur, karag, dan
intip untuk menyimbolkan berbagai olahan beras. Dalam hal ini kemudian di kenal
dua pendekatan yaitu emik dan etik atau titik pandang ‘dari luar’ dan ‘ke
luar’. Seorang peneliti dikatakan menggunakan etik, ketika ia mengelompokkan
secara sistematis data yang dapat diperbandingkan, menggunakan criteria untuk
mengklasifikasi unsure data, mengorganisasikan data ke dalam tipe tipe, dan
mempelajari, menemukan serta menguraikan ke dalam kerangka yang dibuat sebelum
mempelajari kebudayaan masyarakat yang sedang ia teliti. Sedangkan pendekatan
emik yaitu merupakan esensi yang sahih untuk sebuah kebudayaan pada suatu waktu
tertentu, sehingga pendekatan ini merupakan upaya untuk mengungkapkan dan
menguraikan pola suatu kebudayaan tertentu dari cara unsure unsure budaya itu
berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan fungsi sesuai pola yang ada.
Peneliti Sebagai Alat Untuk Mengumpulkan Data
Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul
data dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. Melalui
kegiatan wawancara dan observasi peneliti mengumpulkan data untuk kemudian
merumuskan permasalahan, dan mencari pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai
alat pengumpul data ini juga menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan
validitas dan reliabilitas ketika etnografi dibandingkan dengan metode
penelitian lainnya, terutama yang tidak menggunakan peneliti sebagai alat
pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang obyektif” menjadi sesuatu yang
memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan interaksinya dengan ‘yang
diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’ dalam data yang
dihasilkan.
Sebagian peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya
dalam penelitian etnografi sebisa mungkin harus berisfat netral dan bebas
nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai peneliti (yang dibawa di
dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam penyeleksian pertanyaan
penelitian maupun hasil akhir dari penelitian itu sendiri. Para peneliti juga
menyadari bahwa nilai dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian
akan digunakan. Mereka yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan
beberapa metode dan teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi
permasalahan obyektivitas ini. Pada banyak
kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ (observasi
partisipasi) di lapangan. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan mutualisme di
mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk menyelesaikan
permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan penelitiannya.
Kedekatan
yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka mendapatkan jawaban yang
lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya terutama bila peneliti
harus bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda pendapat, atau saling
bertentangan. Kedekatan akan berpengaruh pada peneliti dalam intepretasi data ketika menuliskan dan
menggambarkan ‘yang lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan
dalam kerangka membantu ‘yang lain’. Serangkaian
teknik pengumpulan data digunakan seperti observasi, wawancara, survey dan
sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan, penelitian
jaringan. Dalam suatu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa metode
pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi menghilangkan ‘bias’
menjadi salah satu alasan di dalamnya.
Metode pengumpulan data
Dalam mengumpulkan data,
seorang peneliti biasanya menggunakan cara cara yang umum salah satunya yaitu
dengan teknik wawancara. Namun pada kenyataanya teknik wawancara hanyalah
sebagian proses kecil dari pengumpulan data itu sendiri. Seorang etnografer
jika menggunakan teknik tersebut pastinya ia tidak akan pernah mendapatkan
informasi yang mendalam dari seorang informan. Seorang etnografer tidak hanya
menyajikan apa yang dikatakan oleh informan, akan tetapi ia juga harus
menemukan apa yang menimbulkan perilaku masyarakat tersebut. Oleh karena itu,
sebelum melakukan sebuah wawancara, seorang etnografer terlebih dahulu
melakukan observasi. Selain dapat menyajikan informasi secara mendalam,
onservasi juga dapat menentukan siapa yang harus menjadi seorang informan
sehingga dapat menghindari adanya kesalahan dalam mendapatkan suatu informasi
yang akurat.
Teknik kedua yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu
observasi partisipasi (participant
observation). Observasi partisipasi dapat dikatakan sebagai suatu metode
penelitian yang ilmiah, dapat juga disebut sebagai sebuah seni atau
kereativitas peneliti, dan merupakan metode paling penting dalam pendekatan
etnografi. Di sisi lain, metode ini ternyata bukan merupakan tahap tahap
penelitian yang linier atau mekanis. Sehingga dalam praktiknya, metode ini
menuntut seorang peneliti aktif dalam menerapkan keahlian, melakukan penilaian
serta yang tak kalah penting peka terhadap lingkungan yang sedang diteliti, memahami
konsep budaya setempat, dan mampu beradaptasi untuk menjembatani masalah yang
muncul di lapangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam observasi
partisipasi yaitu keahlian dalam mencerna bahasa. Bahasa lokal yang digunakan
oleh masyarakat yang diteliti merupakan sebuah ekspresi kebudayaan dan memegang
peranan penting dalam mendapatkan sebuah informasi.
Tanpa memahami bahasa
lokal, mustahil seorang peneliti dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat yang
lebih mendalam. Selain itu, tanpa menguasai bahasa, akan selalu terjadi
kesenjangan yantara peneliti dengan subjek yang diteliti. Dalam observasi
partisipasi, seorang peneliti dapat berpartisipasi dalam rutinitas subyek yang
dteliti, dengan mengamati apa yang dilakukan, mendengarkan apa yang dikatakan dan
menajadi pembicaraan lokal, serta melakukan interaksi dengan orang orang di
sekitar obyek pada jangka wktu tertentu. Dalam pelaknsaannya, observasi
partisipasi di bagi menjadi empat bagian.
Cara pertama yaitu complete, dengan cara ini peneliti
secara penuh dan totalitas berada dalam lingkungan masyarakat yang diteliti
tanpa membuka identitas sedikitpun sebagai serorang peneliti. Subyek yang
sedang di teliti sama sekali tidak mengetahui bahwa ia sedang diteliti,
sedangkan sang peneliti menjadi bagian dari msyarakat yang tidak terpish secara
natural, mengikuti segala aturan yang berlaku, dan melakukan aktivitas
sebagaimana anggota masyarakat tersebut. Cara kedua yaitu active, cara ini hampir sama dengan cara yang pertama yang
membedaka dengan cara yang pertama yaitu posisi dan identitas sang peneliti di
katahui oleh seluruh atau sebagian dari
anggota masyarakat yang sedang di teliti. Peneliti dengan cara atau strategi
tertentu menginformasikan kepada masyarakat tentang maksud dan tujuanya berada
di tengah tengah mereka. Yang ketiga yaitu moderate,
pada cara ini peneliti memposisikan dirinya sebagai anggota masyarakat pada
umumnya, akan tetapi pada masa/ waktu tertentu
bertindak sebagai peneliti yang agak terpisah dari masyarakat. Dan yang
terakhir adalah passive, dalam hal
ini seorang peneliti hanya bertindak sebagai seorang ’penonton’ dengan
mengamati seluruh aktivitas yang terjadi pada masyarakat yang diteliti tanpa
ikut terlibat di dalamnya. Pada metode ini peneliti hanya mencatat dan
mengamati seluruh peristiwa yang ada.
Bentuk Penelitian Model Etnografi
Bentuk-bentuk Penelitian
Perkembangan penelitian etnografi saat ini tidak saja berbentuk etnografi lengkap (comprehensive ethnography) dimana
mencatat way of life atau memberikan
deskripsi utuh, lengkap dan mendetail tentang sistem sosial dan sistem
kebudayaan suatu suku bangsa dan topic
oriented ethnography (monografi) yang terfokuskan pada aspek tertentu, akan tetapi sudah mulai beranjak ke arah hypothesis oriented
ethnography yang bertujuan untuk menguji hipotesa dan tidak sekedar
mendeskripsikan, padahal awalnya jenis ini dihindari. Jenis ini didasarkan oleh
konsep baru tentang etnografi yang dikemukakan oleh Roger M Keesing. Namun,
hanya sedikit antropolog melakukan itu dan bersifat eksploratif, seperti
Margaret Mead di Bali dan Coradu Bois di Alor (Marali, 1990: 8).
Pencapaian hasil ini tidak mungkin tercapai
bila tidak mempunyai kemampuan menterjemahkan, suatu kemampuan menterjemahkan
makna dari satu budaya ke dalam suatu bentuk yang tepat pada budaya yang lain.
Ini disebabkan karena pengetahuan budaya dikomunikasikan melalui bahasa dan
perilaku (Spradley, 1979: 19). Kemampuan menterjemahkan ini berpengaruh pada
hasil penelitian. Berkaitan dengan kemampuan menterjemahkan, etnografi menghasilkan enam
bentuk paparan, antara lain yaitu:
a)
Etnosentris .
Paparan etnosentris adalah studi yang
dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang ada.
Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikan secara stereotip.
b)
Ilmu sosial science
paparan ilmu sosial digunakan untuk studi
yang terfokus secara teoritis pada uji hipotesa. Studi ini mendasakan pada pengamatan, wawancara, kuiseioner, dan
uji psikologis yang merefleksikan pandangan penutur asli, namun tidak pada
pengetahuan strujturalnya. Peneliti tetap di luar dari budaya dan aspek
analitisnya tidak diusahakan dari informan-informannya.
c)
Etnografi standard
Paparan ini menggambarkan variasi luas yang ada pada
penutur asli dan menjelaskan konsep asli, studi ini juga menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain
d)
Etnografi satu bahasa
Dalam studi ini, seseorang anggota masyarakat
yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer secara
hati-hati membawa sistem semantik bahasanya dan menterjemahkan ke dalam
bahasanya.
e)
Riwayat hidup
Riwayat hidup adalah salah satu bentuk
deskriptif yang menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang mekaukan
studi ini akan mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang
menunjukkan bagian penting dari budaya tersebut. Semua itu dicatat dalam budaya
asli, kemudian diterjemahkan, lebih mudah lagi bila informan sebagai bilingual,
diedit dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai dengan pencatatan.
f)
Novel etnografi
Unit Analisis
Berbicara tentang unit analisis atau subyek
penelitian, hal pertama
yang harus dilihat adalah dari segi masalah dan kemudian dihubungkan dengan pijakan teoritisnya. Sejak awal
etnografi memiliki permasalahan yang khas, yaitu mempelajari etnis dan budaya dari suatu msyarakt. Persoalannya kemudian adalah etnis
(masyarakat) dan budaya bukan sesuatu yang statis. Persoalan kedua adalah tidak
ada budaya yang sangt sederhana dan terisolasi. Akibat budaya bangsa lain masuk, terjadilah difusi, kemudian akulturasi, maka budaya pun berubah, belum lagi
ditambah dengan kreativitas-kreativitas masyarakat pendukungnya. Meski memiliki
unsur-unsur universlnya, budaya pada etnis maupun dan dimanapun menjadi
kompleks. Lama tidaknya penelitian etnografi ini tergantung pada pada pemahaman
terhadap gejala yang diteliti. Penelitian ini bisa berlangsung dalam kurun
waktu yang singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti
tentang tata cara perkawinan adat Jawa daerah Surabaya.
Pemahaman teoritis pada akhirnya akan menentukan siapa yang menjadi subyek
penelitian atau informan. Bila menggunakan pendekatan interaksi simbolik, maka peristiwa atau
perilaku tersebut dipahami sebagai simbol simbol yang terbagi bersama. Artinya, dalam
situasi yang sama semua orang memiliki “budaya” tersebut akan bertukar pemakaian dan
kemudian membentuk pemahaman yang sama akan simbol-simbol itu. Semua orang bisa
diajak untuk berbicara tentang peristiwa yang diamati. Berbeda dengan fenomenologi termasuk di
dalamnya konstruksi sosial dan etnometodologi, pemaknaan-pemaknaan itu
berlangsung dalam kesadaran individu, sehingga mereka yang lebih sering
mengalami dalam keseharian akan memberi pemahaman yang lebih banyak dan
lengkap. Individu-individu yang kesehariannya berkecimpung dalam persoalan-persoalan
yang menjadi fokus peneliti itulah informan kunci.
Daftar Pustaka
1. http://divanusantara.wordpress.com/2008/12/05/model-analisis-etnografi-dalam-penelitian-kualitatif/
5. Faisal,
Sanapiah. 1990. Penelitian Kulaitatif:
Dasar-dasar dan Aplikasi.
Malang: YA3 Malang.
6. Idrus, Muhammad.
2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial:
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga.
7. Santana, Septiawan K.
2007. Menulis Ilmiah: Metode Penelitian
Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar