Blogger templates

Pages

Labels

Sabtu, 12 April 2014

Etnografi




Dalam peneliatian kualitatif, terdapat beberepa tipe atau perspektif yang dapat digunakan untuk mengaplikasikan dan mendalami obyek yang sedang kita teliti antara lain yaitu,  penelitian dengan metode fenomenologi, penelitian grounded, penelitian etnografi, penelitian historis, penelitian kasus, penelitian filosofis, dan penelitian kritik sosial. Jenis jenis penelitian tersebut dapat digunakan dalam berbagai kasus yang berbeda beda. Salah satu perspektif yang akan saya bahas pada kali ini adalah mengenai perspektif etnografi. 


Bagi seorang etnografer, istilah etnografi sendiri tentunya tidak asing lagi bagi mereka. Secara sekilas, etnografi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah tulisan tentang etnis atau bangsa tertentu yang di tulis oleh seorang antropolog. Etnografi juga dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan untuk mempelajari tentang kehidupan sosial dan budaya sebuah masyarakat, lembaga dan setting lain secara ilmiah, dengan menggunakan sejumlah metode penelitian dan teknik pengumpulan data untuk menghindari bias dan memperoleh akurasi data yang meyakinkan. Dalam penulisan atau pembuatannya, seorang etnigrafer memerlukan waktu berbulan bulan bahkan bertahun tahun dalam menyelesaikan sebuah tulisannya. Dalam dunia antropologi, penulisan etnografi merupakan suatu gaya yang khas, sehingga dalam perkembangannnya saat ini etnografi juga menjadi sebuah metode dalam penelitian.  

Bicara etnografi tidak bisa dilepaskan dari permasalahan definisi kebudayaan, di mana dari proses berbagi (share) di dalamnya terbentuk suatu kelompok orang-orang, lembaga atau masyarakat. Penelitian etnografi tidak dapat dilepaskan dari permasalahan kebudayaan masyarakat di dalam setting tertentu. Etnografi itu sendiri juga menjadi sebuah cara untuk memperbicangkan teori-teori kebudayaan melalui fenomena yang diteliti di lapangan. Etnografi membangun teori kebudayaan atau penjelasan tentang bagaimana orang berpikir, percaya, dan berperilaku yang disituasikan dalam ruang dan waktu setempat. Tulisan - tulisan etnografi juga banyak yang terkenal antara lain yaitu seperti Malinowski yang menulis tentang masyarakat Trobiand, Evans Pritchard yang menulis tentang masyarakat Nuer, Geertz tentang Islam di Jawa, dll. Pada awalnya etnografi banyak digunakan oleh orang orang eropa dan amerika yang pada masa kolonial melakukan ekspedisi ke berbagai wilayah di benua asia dan afrika. Sehingga timbul suatu persepsi jika etnografi condong sebagaimana kaum colonial menggambarkan kaum kaum yang terjajah. Karakteristik dari metode ini adalah sifat analisisnya yang mendalam, kualitatif, dan holistik intergratif. 

Dengan sendirinya teknik utama dalam pengaplikasia metode ini adalah observasi partisipasi yang dilakukan dalam waktuyang relative lama serta dengan wawancara yang mendalam (depth interview) yang dilakukan secara terbuka. Oleh sebab itu seorang etnografer tidak hanya menggunakan paparan di atas akan tetapi mereka juga harus benar benar memahami pikiran, perilaku, dan kebudayaan sebuah masyarakat. Seorang etnografer tidak cukup hanya bertemu dengan subyek penelitian untuk satu atau dua kali sebagaimana tradisi penelitian kuantitatif yang identik dengan pertanyaan yang terstruktur. Etnografer adalah peneliti yang menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti, namun dia tetap berposisi sebagai seorang peneliti. Sebagai sebuah metode yang baru etnografi mengalami perkembangan bertahap. 

Jika pada awalnya etnografi banyk di susun oleh pada misionaris dan kolonialis yang memandang masyarakat Asia dan Afrika sebagai masyarakat yang terelakang, pada saat ini justru etnografi memandang masyrakat asia sebagai masyarakat yang hidup di alam dan sama seperti masyarakat yang disebut ‘modern’. Etnografi kemudian semakin berkembang dan menjadi salah satu metode penelitian yang modern. Sehingga etnografi tidak lagi di batasi studinya pada masyarakat tradisional, tetapi merambah ke persoalan persoalan modern seperti gaya hidup.
Dalam praktiknya, etnografi memiliki beberapa karakteristik, antara lain yaitu:
1.      Sangat menekankan pada penggalian alamiah fenomena sosial yang khusus dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis.
2.      Cenderung bekerja dengan data terstruktr dan rancangan penelitiannya bersifat terbuka.
3.      Peneliti bertindak sebagai instrument yang berupaya menggali data atau informasi yang dibutuhkan terkait dengan fokus pennelitian.
4.      Kasua yang diteliti cendrung sedikit atau bahkan hanya satu saja dan di kaji secara mendalam (depth analysis).
5.      Analisis data tentang makna dan fungsi perilaku manusia ditafsirkan secara eksplisit dalam bentuk deskripsi dan penjelasan verbal.
6.      Tidak menggunakan analisis statistic, namun tidak berarti menolak data yang berupa angka angka.



Persoalan nilai
Jika melihat secara sekilas bahwa etnografi merupakan metode yang di mana seorang etnografer di tuntut totalitas dan mendalam dalam melakukan studinya. Olh karena itu, hasil dari studi mereka juga diharapakan sangatlah bersifat obyektif. Namun di sisi lain, bahwa hasil dari studi etonografi tersebut juga sangat di pengaruhi oleh latarbelakang dari sang etnografer tersebut. Kita bisa mengambil contoh misalnya ada dua orang yang bertugas mendalami permasalahan mengenai fenomena waria. Kemudian dua orang tersebut di tanya, bagaimana tanggapan anda mengenai waria tersebut. Orang pertama menjawab”….saya benar benar tidak mengerti. 

Menagapa dia seperti itu, padahal sudah jelas bahwa agama sudah melarangnya”. Kemudian orang tersebut menunjjukkan dalil dalilnya bahwa perilaku tersebut sangat dilarang. Orang kedua kemudian menjawab:….saya sangat kasihan melihat orang itu, mereka di usir dari keluarga, di kucilkan dan di benci oleh masyarakat, dan tentunya hidup mereka tidak menentu karena tidak memiliki bekal pendidikan yang jelas”. Dari hal di atas, timbul pertanyaan, “mengapa dapat terjadi demikian”?. Terkadang obyektifitas dari sebuah hasil penelitian sangatlah bergantung bukan dari penelitian itu sendiri melainkan dari sang peneliti itu sendiri, terbukti dari contoh di atas dapat di ketahui bahwa orang pertama merupakan orang yang sangat taat dalam beragama dan sangat meyakini ajaran ajaran agama yang dianutnya serta berasal dari keluarga yang memiliki agama yang kuat, sedangkan orang kedua dapat diketahui jika dia adalah seseorang yang berasal dari orang biasa dan berasal dari latar belakang agama yang biasa pula. 

Dari contoh di atas pula dapat kita ambil kesimpulan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang sederhana, meskipun terlihat nyata. Perbedaan perspektif merupakan bagian dari sebuah perbincangan yang terus menerus di presentasikan, sehingga tidak pernah ada kebenaran mutlak, yang ada hanyalah kebenaran parsial. Setiap kelompok orang, yang biasa disebut reference group, seperti kelompok agama, politik, kelompok sebaya dan kelompok lain, tentu memiliki persepsi yang berbeda beda dalam melihat sebuah persoalan sosial dan budaya. Spradley (1997) menjelaskan bahwa cara pandang kita terhadap suatu persoalan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, karena seperti yang kita ketahui kebudayaan menetukan cara kita dalam berperilaku. 

Misalya saja, kebudayaan eropa mengenal rice untuk menyebut berbagai jenis olahan dari padi atau beras, berbeda dengan masyarakat jawa yang terdapat banyak istilah seperti gabah, beras, menir, sega, bubur, karag, dan intip untuk menyimbolkan berbagai olahan beras. Dalam hal ini kemudian di kenal dua pendekatan yaitu emik dan etik atau titik pandang ‘dari luar’ dan ‘ke luar’. Seorang peneliti dikatakan menggunakan etik, ketika ia mengelompokkan secara sistematis data yang dapat diperbandingkan, menggunakan criteria untuk mengklasifikasi unsure data, mengorganisasikan data ke dalam tipe tipe, dan mempelajari, menemukan serta menguraikan ke dalam kerangka yang dibuat sebelum mempelajari kebudayaan masyarakat yang sedang ia teliti. Sedangkan pendekatan emik yaitu merupakan esensi yang sahih untuk sebuah kebudayaan pada suatu waktu tertentu, sehingga pendekatan ini merupakan upaya untuk mengungkapkan dan menguraikan pola suatu kebudayaan tertentu dari cara unsure unsure budaya itu berkaitan satu dengan lainnya dalam melakukan fungsi sesuai pola yang ada.
Peneliti Sebagai Alat Untuk Mengumpulkan Data

Etnografi menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data dengan menggunakan indera penglihatan, pendengaran, dan perasa. Melalui kegiatan wawancara dan observasi peneliti mengumpulkan data untuk kemudian merumuskan permasalahan, dan mencari pemecahannya. Keberadaan peneliti sebagai alat pengumpul data ini juga menimbulkan perdebatan panjang berkenaan dengan validitas dan reliabilitas ketika etnografi dibandingkan dengan metode penelitian lainnya, terutama yang tidak menggunakan peneliti sebagai alat pengumpul data. “Ilmu pengetahuan yang obyektif” menjadi sesuatu yang memberatkan, ketika keberadaan peneliti, dan interaksinya dengan ‘yang diteliti’ di lapangan memungkinkan terjadinya ‘bias ’ dalam data yang dihasilkan.   

Sebagian peneliti percaya bahwa metode yang digunakannya dalam penelitian etnografi sebisa mungkin harus berisfat netral dan bebas nilai, meskipun mereka menyadari bahwa nilai-nilai peneliti (yang dibawa di dalam kepalanya) memainkan peranan penting dalam penyeleksian pertanyaan penelitian maupun hasil akhir dari penelitian itu sendiri. Para peneliti juga menyadari bahwa nilai dan kepentingan mempengaruhi bagaimana hasil penelitian akan digunakan. Mereka yang berpendapat demikian juga sepakat untuk menggunakan beberapa metode dan teknik pengumpulan data sekaligus untuk mengatasi permasalahan obyektivitas ini. Pada banyak kasus, peneliti diharuskan tinggal bersama dengan ‘yang diteliti’ (observasi partisipasi) di lapangan. Ketika itu pula dibangun suatu hubungan mutualisme di mana peneliti juga harus membantu ‘yang diteliti’ untuk menyelesaikan permasalahan mereka, yang mungkin menjadi permasalahan penelitiannya. 

Kedekatan yang dibangun selama berada di lapangan dalam rangka mendapatkan jawaban yang lebih mendalam, bisa jadi akan berpengaruh di dalamnya terutama bila peneliti harus bekerja sama dengan orang-orang yang berbeda pendapat, atau saling bertentangan. Kedekatan akan berpengaruh pada peneliti  dalam intepretasi data ketika menuliskan dan menggambarkan ‘yang lain’, juga ketika cara penyelesaian masalah ditentukan dalam kerangka membantu ‘yang lain’. Serangkaian teknik pengumpulan data digunakan seperti observasi, wawancara, survey dan sampel populasi, focus group interviews, metode audiovisual, pemetaan, penelitian jaringan. Dalam suatu penelitian etnografi bisa digunakan beberapa metode pengumpulan data sekaligus dengan tujuan saling melengkapi menghilangkan ‘bias’ menjadi salah satu alasan di dalamnya.

Metode pengumpulan data

Dalam mengumpulkan data, seorang peneliti biasanya menggunakan cara cara yang umum salah satunya yaitu dengan teknik wawancara. Namun pada kenyataanya teknik wawancara hanyalah sebagian proses kecil dari pengumpulan data itu sendiri. Seorang etnografer jika menggunakan teknik tersebut pastinya ia tidak akan pernah mendapatkan informasi yang mendalam dari seorang informan. Seorang etnografer tidak hanya menyajikan apa yang dikatakan oleh informan, akan tetapi ia juga harus menemukan apa yang menimbulkan perilaku masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan sebuah wawancara, seorang etnografer terlebih dahulu melakukan observasi. Selain dapat menyajikan informasi secara mendalam, onservasi juga dapat menentukan siapa yang harus menjadi seorang informan sehingga dapat menghindari adanya kesalahan dalam mendapatkan suatu informasi yang akurat. 

Teknik kedua yang digunakan dalam mengumpulkan data yaitu observasi partisipasi (participant observation). Observasi partisipasi dapat dikatakan sebagai suatu metode penelitian yang ilmiah, dapat juga disebut sebagai sebuah seni atau kereativitas peneliti, dan merupakan metode paling penting dalam pendekatan etnografi. Di sisi lain, metode ini ternyata bukan merupakan tahap tahap penelitian yang linier atau mekanis. Sehingga dalam praktiknya, metode ini menuntut seorang peneliti aktif dalam menerapkan keahlian, melakukan penilaian serta yang tak kalah penting peka terhadap lingkungan yang sedang diteliti, memahami konsep budaya setempat, dan mampu beradaptasi untuk menjembatani masalah yang muncul di lapangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam observasi partisipasi yaitu keahlian dalam mencerna bahasa. Bahasa lokal yang digunakan oleh masyarakat yang diteliti merupakan sebuah ekspresi kebudayaan dan memegang peranan penting dalam mendapatkan sebuah informasi. 

Tanpa memahami bahasa lokal, mustahil seorang peneliti dapat masuk ke dalam kehidupan masyarakat yang lebih mendalam. Selain itu, tanpa menguasai bahasa, akan selalu terjadi kesenjangan yantara peneliti dengan subjek yang diteliti. Dalam observasi partisipasi, seorang peneliti dapat berpartisipasi dalam rutinitas subyek yang dteliti, dengan mengamati apa yang dilakukan, mendengarkan apa yang dikatakan dan menajadi pembicaraan lokal, serta melakukan interaksi dengan orang orang di sekitar obyek pada jangka wktu tertentu. Dalam pelaknsaannya, observasi partisipasi di bagi menjadi empat bagian. 

Cara pertama yaitu complete, dengan cara ini peneliti secara penuh dan totalitas berada dalam lingkungan masyarakat yang diteliti tanpa membuka identitas sedikitpun sebagai serorang peneliti. Subyek yang sedang di teliti sama sekali tidak mengetahui bahwa ia sedang diteliti, sedangkan sang peneliti menjadi bagian dari msyarakat yang tidak terpish secara natural, mengikuti segala aturan yang berlaku, dan melakukan aktivitas sebagaimana anggota masyarakat tersebut. Cara kedua yaitu active, cara ini hampir sama dengan cara yang pertama yang membedaka dengan cara yang pertama yaitu posisi dan identitas sang peneliti di katahui oleh seluruh atau  sebagian dari anggota masyarakat yang sedang di teliti. Peneliti dengan cara atau strategi tertentu menginformasikan kepada masyarakat tentang maksud dan tujuanya berada di tengah tengah mereka. Yang ketiga yaitu moderate, pada cara ini peneliti memposisikan dirinya sebagai anggota masyarakat pada umumnya, akan tetapi pada masa/ waktu tertentu  bertindak sebagai peneliti yang agak terpisah dari masyarakat. Dan yang terakhir adalah passive, dalam hal ini seorang peneliti hanya bertindak sebagai seorang ’penonton’ dengan mengamati seluruh aktivitas yang terjadi pada masyarakat yang diteliti tanpa ikut terlibat di dalamnya. Pada metode ini peneliti hanya mencatat dan mengamati seluruh peristiwa yang ada. 
Bentuk Penelitian Model Etnografi
Bentuk-bentuk Penelitian
Perkembangan penelitian etnografi saat ini tidak saja berbentuk etnografi lengkap (comprehensive ethnography) dimana mencatat way of life atau memberikan deskripsi utuh, lengkap dan mendetail tentang sistem sosial dan sistem kebudayaan suatu suku bangsa dan topic oriented ethnography (monografi) yang terfokuskan pada aspek tertentu, akan tetapi sudah mulai beranjak ke arah hypothesis oriented ethnography yang bertujuan untuk menguji hipotesa dan tidak sekedar mendeskripsikan, padahal awalnya jenis ini dihindari. Jenis ini didasarkan oleh konsep baru tentang etnografi yang dikemukakan oleh Roger M Keesing. Namun, hanya sedikit antropolog melakukan itu dan bersifat eksploratif, seperti Margaret Mead di Bali dan Coradu Bois di Alor (Marali, 1990: 8).  

Pencapaian hasil ini tidak mungkin tercapai bila tidak mempunyai kemampuan menterjemahkan, suatu kemampuan menterjemahkan makna dari satu budaya ke dalam suatu bentuk yang tepat pada budaya yang lain. Ini disebabkan karena pengetahuan budaya dikomunikasikan melalui bahasa dan perilaku (Spradley, 1979: 19). Kemampuan menterjemahkan ini berpengaruh pada hasil penelitian. Berkaitan dengan kemampuan menterjemahkan, etnografi menghasilkan enam bentuk paparan, antara lain yaitu:
a)      Etnosentris .
Paparan etnosentris adalah studi yang dibentuk dengan tidak menggunakan bahasa asli dan mengabaikan makna yang ada. Masyarakat dan cara berperilaku dikarakteristikan secara stereotip.
b)     Ilmu sosial science
paparan ilmu sosial digunakan untuk studi yang terfokus secara teoritis pada uji hipotesa. Studi ini mendasakan pada pengamatan, wawancara, kuiseioner, dan uji psikologis yang merefleksikan pandangan penutur asli, namun tidak pada pengetahuan strujturalnya. Peneliti tetap di luar dari budaya dan aspek analitisnya tidak diusahakan dari informan-informannya.
c)      Etnografi standard
Paparan ini menggambarkan variasi luas yang ada pada penutur asli dan menjelaskan konsep asli, studi ini juga menyesuaikan kategori analitisnya pada budaya lain
d)     Etnografi satu bahasa
Dalam studi ini, seseorang anggota masyarakat yang dibudayakan menulis etnografi dalam bahasa aslinya. Etnografer secara hati-hati membawa sistem semantik bahasanya dan menterjemahkan ke dalam bahasanya.
e)      Riwayat hidup
Riwayat hidup adalah salah satu bentuk deskriptif yang menawarkan pemahaman terhadap budaya lain. Mereka yang mekaukan studi ini akan mengamati secara mendetail kehidupan seseorang dan proses yang menunjukkan bagian penting dari budaya tersebut. Semua itu dicatat dalam budaya asli, kemudian diterjemahkan, lebih mudah lagi bila informan sebagai bilingual, diedit dan disajikan dalam bentuk yang sama sesuai dengan pencatatan.
f)       Novel etnografi

Unit Analisis
Berbicara tentang unit analisis atau subyek penelitian, hal pertama yang harus dilihat adalah dari segi masalah dan kemudian dihubungkan dengan pijakan teoritisnya. Sejak awal etnografi memiliki permasalahan yang khas, yaitu mempelajari etnis dan budaya dari suatu msyarakt. Persoalannya kemudian adalah etnis (masyarakat) dan budaya bukan sesuatu yang statis. Persoalan kedua adalah tidak ada budaya yang sangt sederhana dan terisolasi. Akibat budaya bangsa lain masuk, terjadilah difusi, kemudian akulturasi, maka budaya pun berubah, belum lagi ditambah dengan kreativitas-kreativitas masyarakat pendukungnya. Meski memiliki unsur-unsur universlnya, budaya pada etnis maupun dan dimanapun menjadi kompleks. Lama tidaknya penelitian etnografi ini tergantung pada pada pemahaman terhadap gejala yang diteliti. Penelitian ini bisa berlangsung dalam kurun waktu yang singkat bila hanya meliputi satu peristiwa, misalnya meneliti tentang tata cara perkawinan adat Jawa daerah Surabaya. 

Pemahaman teoritis pada akhirnya akan menentukan siapa yang menjadi subyek penelitian atau informan. Bila menggunakan pendekatan interaksi simbolik, maka peristiwa atau perilaku tersebut dipahami sebagai simbol simbol yang terbagi bersama. Artinya, dalam situasi yang sama semua orang memiliki “budaya tersebut akan bertukar pemakaian dan kemudian membentuk pemahaman yang sama akan simbol-simbol itu. Semua orang bisa diajak untuk berbicara tentang peristiwa yang diamati. Berbeda dengan fenomenologi termasuk di dalamnya konstruksi sosial dan etnometodologi, pemaknaan-pemaknaan itu berlangsung dalam kesadaran individu, sehingga mereka yang lebih sering mengalami dalam keseharian akan memberi pemahaman yang lebih banyak dan lengkap. Individu-individu yang kesehariannya berkecimpung dalam persoalan-persoalan yang menjadi fokus peneliti itulah informan kunci.








Daftar Pustaka
5.      Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kulaitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: YA3 Malang.
6.      Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Erlangga.
7.      Santana, Septiawan K. 2007. Menulis Ilmiah: Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar