Kehidupan manusia akan selalu
mengalami perubahan perubahan, baik itu merupakan perubahan dalam lingkungan
mereka, maupun perubahan dalam pola pikir mereka. Perubahan tersebut salah
satunya terjadi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berkembangnya
teknologi dan ilmu pengetahuan, maka peradaban manusia semakin bergerak pada
era yang kita sebut sebagai era post modern. Hadirnya post modern dalam
perkembangan pemikiran manusia telah membuat era baru yang menarik untuk di
kaji. Kehadiran post moden tidak hanya membuat pengaruh yang cukup besar pada
dunia akademik, akan tetapi post modern juga membawa pesan pesan kritis yang
melakukan analisis ulang terhadap berbagai tradisi yang selama ini diyakini
kebenaranyya. Bagi gerakan post modern, manusia tidak akan mengatahui realitas
yang obyektif dan benar. Akan tetapi, yang di ketahui oleh manusia saat ini
hanyalah sebuah versi dan realitas, bukan keseluruhannya.
Arief Budiman,
menjelaskan bahwa ibarat terks bacaan, realitas yang diketahui manusia
merupakan teks yang sudah dibentuk oleh pengarang. Pada fase ini, postmodern
kemudian turun kea rah relativisme. Postmodern pada awalnya hanya berkembang
dalam bidang arsitektur, namun kemudian merambah ke seluruh bidang kehidupan
manusia. hal tersebut semakin diperkuat ketika Lyotard merusaha
mengintergrasikan ke dalam filsafat. Pengintergrasian gerakan postmodern ke
dalam filsafat memberika konsekuensi logis pada setiap dasar kehidupan manusia.
Hal ini karena filsafat merupakan pengetahuan dasar yang memberikan konstruksi
bagi munculnya setiap pemahaman pemahaman dalam masyarakat. post modern dalam
filsafat ini berujung pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk
kebenaran yang selama ini diterima apa adanya. Pada dasarnya gerakan postmodern
muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern dalam menciptakan kondisi
sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial.
Adanya perang, gejolak sosial, dan
revolusi menimbulkan anarkisme sosial. Keadaan tersebut kemudian melahirkan
sejumlah kegelisahan berkitan dengan masalah pengetahuan dasar manusia mengenai
modernism yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya. Rasio
manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom,
mengatasi kekuatan metafisis dan transcendental. Yang diyakini pula mengatasi
semua pengalaman yang bersifat particular dan khusus dan dianggap menghasilkan
kebenaran mutlak, universal dan tidak terikat waktu. Pada akhirnya asumsi
asumsi mutlak tersebut oleh postmodern mulai ditolak. Mereka berusaha
membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktik ilmu, filsafat, dan
kebudayaan modern. Jika dalam visi modernism penalaran dipercaya sebagai sumber
utama dari ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran kebenaran universal,
maka visi postmodernisme hal ini justru dipandang sebagai alat dominasi
terselubung yang kemudian tampail dalam bentuk imperialisme dan hegemoni
kapitalis.
Kaitannya
dengan dunia pendidikan, apakah pengaruh postmodern tersebut sudah memasuki
dunia pendidikan. Pengaruh postmodern dalam dunia pendidikan di Indonesia
memang sangatlah susah untuk di lihat secara sepintas. Namun di sisi lain,
kritik kritik yang telah ditampilkan oleh gerakan postmodern yang mengusung
tema dekonstruksi, pluralitas, anti kemapanan, diferensiasi dll, tampaknya
secara tidak langsung menunjukkan bahwa masalah masalah pendidikan dapat di
kaji dengan bentuk keterpengaruhan tersebut. sebagai gerakan sosial pemikiran,
postmodern telah berhasil dalam menawarkan opini, melontarkan apresiasi dan
menikamkan kritik yang tajam terhadap wacana moderenitas dan kapitalisme
global.
Suatu hal yang menarik, ketika masyarakat postmodern dihadapkan dengan
banyak tawaran (alternatif) akan kebenaran pengetahuan yang dikuinya sebagai
pilihan. Konsekuensi logisnya kebenaran pengetahuan tidak lagi bersifat homology (kesatuan) melainkan paralogy (keragaman). Keadaan yang
demikian tentunya sesuai dengan semangat pengetahuan dasar untuk mengakui
adanya pluralitas dalam masyarakat. dengan demikian dapatlah ditelusuri bahwa
postmodern lebih berkaitan dengan suatu sikap kritis atas segala bentuk
kemapanan yang diciptakan oleh proyek modernisasi.
Menurut
Lyotard, prinsip homology sudah tidak
lagi relevan dengan realitas konstemporer. Prinsip tersebut akan bergeser
seiring dengan pengaruh dasyatnya teknologi informasi. Dalam hal ini, Lyotard
berusaha mengenalkan suatu pemahaman bahwa postmodern merupakan suatu era atau
periode di mana segala sesuatu itu dilegitimasikan.
Deligitimasi tersebut
merupakan akibat logis dari perubahan mendasar dari teknologi informasi yang
memberikan berbagai informasi pada masyarakat manapun dan kapanpun. Ketika
posisi pengetahuan di legitimiasikan oleh narasi narasi besar (grand narrative)
seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, dsb, maka kini, narasi narasi besar
tersebut telah mengalami nasib yang sama dengan narasi narasi besar sebelumnya
seperti religi, dialektika, roh, subjektivitas, yaitu kehilangan kekuatannya
dan menjadi sulit untuk dipercaya. Artinya dalam era ini, narasi narasi besar
menjadi tidak mungkin, nilhilisme, dan pluralism permainan bahasa menjadi
merajalela. Kondisi ini tentunya menunjukkan bahwa munculnya suatu kepekaan
baru terhadap perbedaan perbedaan dan keberanian melawan segala bentuk
totalitarisme.
Berdasarkan
ulasan di atas, yang tentunya menjadi cirri khas dari postmodern maka dapat
diketahui di mana letak keterpengaruhan antara dasar dasar pemikiran postmodern
terhadap pendidikan di Indonesia. Pedidikan di Indonesia saat ini secara
langsung maupun tidak lagsung menunjukkan bahwa dunia pendidikan tidak lagi
dipahami sebagai penguatan proses transformasi pengetahuan yang hanya di
hegemoni oleh sekolah (pendidikan formal). Dengan demikian, guru tidak lagi
dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemapuannya untuk melakukan proses
pencerdasan masyarakat. gudang daripada ilmu pengetahuan tidak lagi berpusat
pada guru.
Di samping itu, ruang ruang pendidikan tidak lagi berada pada ruang
ruang sempit yang kita sebut sebagai sekolah, melainkan masyarakat juga harus
menjadi bagian yang penting di dalamnya. Postmodern, dengan mengusung tema tema
seerti pluralism, heterogen, adalah bukti bagaimana seharusnya pendidikan
tersebut harus di salurkan melalui berbagai kerja dan kegiatan yang tidak hanya
di bebankan pada sekolah dan pendidikan formal. Di tambah lagi dengan adanya
bukti bahwa tidak jarang sekolah justru memainkan peran dogmatis dan dominannya
dalam melakukan transfer of value (transfer nilai), dan stransfer of knowledge
(transfer pengetahuan).
Peran
guru dan para pendidik sering kali menampilkan diri dalam batas batasnya
sebagai pembelenggu kreativitas anak didik seperti pengajarang dengan lebih
menekankan verbalisme, pola Sistem Kredit Semester, bahkan yang lebih parah
mengenai ujian akhir yang menjadi ukuran terakhir dari kemampuan seorang anak
sekaligus sebagai representasi bagi penindasan yang dilakukan oleh institusi
tersebut terhadap perkembangan kreativitas anak didik. Hal lain yang perlu di
cermati adalah mengenai beban dari pelajaran yang semakin berat, sehingga
meminimalisasikan kemampuan anak didik untuk melakukan eksperimentasi sesuai
kemampuannya secara professional, karena disibukkan dengan beban beban yang cukup
membelenggu.
Seperti yang kita ketahui bahwa pendidikan di Indonesia seolah
olah hanya di orientasikan pada pembentukan kemampuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga beban pengajaran seringkali diarahkan pada
penguasaan pada bidang bidang tersebut. padahal jika kita menengkok kembali,
bahwa perspektif postmodern menganggap masyarakat postmodern justru mengalami
degradasi, krisis moral, krisis sosial, yang dimulai dari dominasi IPTEK dengan
cara penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya. Rasio manusia tidak
lagi dapat diharapkan untuk memberikan jawaban atas berbagai masalah yang
muncul dalam masyarakat modern. Sehingga proses pendidikan yang hanya di
arahkan pada kepentingan rasio justru akan mendatangkan bencana dan masalah
pada nilai kemanusiaan.
Harkat dan martabat dari manusia tidak hanya dapat
dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi juga harus intergratif antara nalar
rasioanl dan nalar spiritual. Dalam hal ini tidak berlebihan jika dalam konteks
pendidikan nasional pengembangan kemapuan anak didik juga diarakhan pada tiga
kemampuan dasar yaitu kognitif, efektif dan psikomotorik.
Di
sisi lain, terdapat hal lain yang mcukup menjadi perhatian, yaitu wacana
tentang desentralisasi pendidikan. Kita tentunya sadar bahwa aturan aturan yang
ada saat ini adalah buah dari orde baru yang di nilai kurang demokrasi. Oleh
sebab itu memudian di buatlah undang undang yang mengatur sistem pendidikan
nasional agar lebih demokratis, yaitu UU No 20 Tahun 2003. Di samping itu,
pemerintah juga membuat UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Undang
Undang tersebut pada intinya menjelaskan adanya kewenangan penuh bagi daerah
untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Pendidikan di berbagai belahan dunia
selalu dipakai sebagai modal dasar pengembangan dan pemilihan kebijakan
pembangunan.
Hampir di semua negara selalu menggunakan pendidikan sebagai
proses pencapaian pembentukan kualitas sumber daya manusia sebagai subyek
sekaligus obyek pembangunn. Melalui pendidikan proses pemenuhan kualitas sumber
daya manusia dan penggalian potensi nasional maupun lokal sebagai pendukung
utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Sebagai bagian atau aspek
yang tidak terpusatkan dalam proses pembangunan sosial, maka pendidikan
selayaknya harus di kedepankan. Selama ini pendidikan di Indonesia terkesan
bahwa pendidikan nasional bukan menjadi agenda atau prioritas utama di samping
agenda pembangunan di bidang ekonomi maupun politik.
Padahal
perlu di garis bawahi, bahwa kedua agenda tersebut tidak akab berjalan dengan
baik tanpa di topang dengan pendidikan yang baik pula. Sedangkan, yang terjadi
saat ini adalah bahwa proses pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda
pembangunan lokal. Proses pendidikan formal sebenarnya perfungsi untuk memenuhi
akan kebutuhan kebutuhan mendasar seperti sumber daya yang sanggup
menyelesaikan persoalan lokal yang ada.
Namun, bagaimana mungkinhal tersebut
dapat tercapai ketika proses belajarnya tidak pernah bersentuhan dengan
kebutuhan kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat. beberapa proses
pendidikan kerap kali keluar dari akar permasalahan yang ada di masyarakat.
misalnya saja, kita ketahui bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di
pedesaan yang tidak lain adalah masyarakat agraris, tetapi dalam pratik
pendidikanya hampir tidak berorientasi pada masalah masalah yang ada dalam
masyarakat desa. Praktik pendidikan yang seperti itu pada akhirnya telah
mengasingkan anak didik dari lingkungan sekitarnya. Bahkan tak jarang, produk
produk pendidikan melecehkan kehdupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya
sebagai petani. Hal tersebut terjadi karena anak didik lebih banyak di
intervensi dan di doktrin oleh praktik pendidikan model perkotaan dengan cirri
khas masyarakat industrialnya, sehingga kemudian muncul rasa tidak percaya diri
anak didik terhadap profesi petani dan memilih gaya hidup sebagai priyayi
dengan fenomena keluaran pendidikan sebagai pegawai negeri sipil atau minimal
pekerja kantoran.
Di
sisi lain, ada fakta yang sangat kontradiksi dengan keadaan di atas. Di
beberapa daerah pedalaman di Indonesia kita dapat menemui anak anak yang
melakukan aktivitas bekerja seperti mencari ikan, berburu, membantu orang tua
di ladang dll. Memang, secara sepintas jika melihat hal seperti itu, kita akan
berpendapat bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah representasi dari kurang
mendukung pembangunan pendidikan. Padahal jika kita menyadari, mereka (anak
anak) yang sedang belajar menanam, belajar mencari ikan, ataupun berburu
sebenarnya sedang berusaha belajar tentang persoalan riil yang seharusnya
dihadapi, bukan persoalan global yang seringkali jauh dari pikirannya.
Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal
sebenarnya seringkali menghambat keberhasilan agenda pembangunan daerah yang
sudah dirancang. Hal tersebut terjadi karena proses pendidikan tidak langsung
bersentuhan dengan persoalan kehidupan yang dihadapi oleh anak didik dan
masyarakat sekitar. Dengan adanya persoalan persoalan seperti itu, maka
desentralisasi menjadi salah satu alternatif untuk mengatasinya.
Desentralisasi
pendidikan mengisyaratkan bahwa suatu sistem pendidikan harus bersifat
indigenous (pribumisasi) karena di dasarkan pada aspek aspek dasar dari
lokalitas masyarakat. hal ini dilakukan agar masyarakat tidak keluar dari akar
kebudayaannya. Sistem ini jelas memberikan peluang terjadi pendidikan yang
lebih demokratis karena tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan kurikulum
bahkan soal pengangkatan guru.
Desentralisasi pendidikan merupakan langkah stategis untuk menguatkan
daerah dan memberika kebebasan dalam menyusun kurikulum sesuai kompetensi
wilayah. Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah bertujuan agar setiap daerah
mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan pendidikan nasional yang
disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan daerah.
Dari
uraian di atas, tampak jelas betapa pentingnya desentralisasi pendidikan (local
narrative) untuk menggantikan sentralisasi pendidikan (grand narrative) yang
selama ini menghegemoni sistem pendidikan di Indonesia. Peralihan wacana dari
grand narrative ke local narrative ditandai dengan pergeseran peran yang semula
sentralistik menuju desentralistik.
Daftar Pustaka
Rahmat,
Ainun Hidayat. 2006. Implikasi Postmodern
Dalam Dunia Pendidikan Vol 1. Jurnal Sosiologi.
0 komentar:
Posting Komentar